Pidato Nota Keuangan RAPBN 2026 yang akan disampaikan Presiden Prabowo Subianto bukan hanya ritual tahunan, melainkan momentum penting untuk membaca arah ekonomi nasional. RAPBN ini menargetkan pertumbuhan 5,2–5,8%, dengan defisit dijaga pada 2,53% Produk Domestik Bruto (PDB). Kombinasi antara ekspansi belanja dan disiplin fiskal mencerminkan strategi jalan tengah: mengejar pertumbuhan tanpa mengorbankan keberlanjutan.
Optimisme Pertumbuhan dan Realisme Asumsi
Asumsi dasar makro RAPBN 2026 menunjukkan upaya pemerintah menjaga optimisme di tengah ketidakpastian global. Inflasi diproyeksikan terkendali di kisaran 1,5–3,5%, nilai tukar dipatok pada Rp16.500–16.900 per dolar AS, dan harga minyak berada dalam rentang realistis US$60–80 per barel. Dengan landasan ini, pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp3.094–3.114 triliun, naik dari prognosis APBN 2025 sebesar Rp2.865,5 triliun.
Sementara itu, belanja negara dipatok Rp3.800–3.820 triliun, meningkat cukup signifikan dari 2025 yang hanya sekitar Rp3.527,5 triliun. Peningkatan belanja diarahkan pada infrastruktur, ketahanan pangan, energi, serta pertahanan. Strategi ini sejalan dengan pandangan Keynesian bahwa belanja publik dapat menciptakan multiplier effect terhadap konsumsi dan investasi. Dengan demikian, RAPBN 2026 ingin memastikan bahwa belanja bukan sekadar angka, tetapi alat akselerasi pertumbuhan.
Dilema Defisit dan Disiplin Fiskal
Namun, optimisme belanja selalu berdampingan dengan risiko defisit. RAPBN 2026 memperkirakan defisit Rp706 triliun. Meski nominalnya besar, persentasenya terhadap PDB lebih rendah dibanding 2025 (2,78%). Ini menunjukkan pemerintah berupaya menjaga disiplin fiskal meski ekspansi belanja dilakukan.
Kuncinya adalah efektivitas belanja. Bila belanja publik benar-benar produktif, maka setiap rupiah akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan beban fiskal yang ditanggung. Sebaliknya, belanja yang tidak efektif akan menjadikan defisit sebagai beban jangka panjang. RAPBN 2026, dengan demikian, adalah ujian apakah pemerintah mampu membedakan antara belanja produktif dan belanja politis.
Lebih jauh, keseimbangan antara pendapatan dan belanja juga menjadi faktor penentu. Pendapatan yang kuat dapat menjadi balancing loop untuk mengurangi tekanan defisit. Oleh sebab itu, reformasi perpajakan harus menjadi agenda serius agar target pendapatan tidak sekadar optimisme di atas kertas.
Bayangan Tarif Trump dan Risiko Global
Di luar negeri, tantangan semakin kompleks. Presiden Donald Trump kembali menghidupkan proteksionisme dengan tarif 19% terhadap banyak produk impor. Kebijakan ini bukan sekadar instrumen perdagangan, tetapi senjata politik-ekonomi yang mengguncang rantai pasok global. Bagi Indonesia, dampaknya bisa signifikan: ekspor melemah, rupiah tertekan, dan inflasi meningkat.
RAPBN 2026, yang dirancang sebelum efek penuh tarif terasa, bisa menghadapi tekanan berat bila asumsi makro terganggu. Dunia usaha dipaksa beradaptasi lebih cepat, mencari pasar alternatif, dan meningkatkan substitusi impor. Pemerintah juga perlu memperkuat insentif fiskal dan strategi diversifikasi ekspor agar daya saing tetap terjaga.
Dalam konteks ini, koordinasi fiskal–moneter menjadi syarat mutlak. Kementerian Keuangan harus memastikan belanja produktif dan basis pajak kuat, sementara Bank Indonesia menjaga stabilitas rupiah, likuiditas, dan inflasi. Tanpa sinergi, APBN akan rapuh menghadapi guncangan eksternal.
APBN sebagai Peta Jalan Ekonomi
APBN tidak boleh dilihat sebagai dokumen administratif semata. Ia adalah peta jalan ekonomi Indonesia. Dalam RAPBN 2026, peta ini menunjukkan dua arah: ekspansi belanja untuk memperkuat pertumbuhan, dan disiplin defisit untuk menjaga keberlanjutan fiskal.
Namun, tantangan sebenarnya bukan pada desain, melainkan pada eksekusi. Seberapa jauh belanja mampu menghasilkan output nyata? Seberapa efektif pemerintah menutup celah perpajakan? Seberapa kuat koordinasi fiskal dan moneter menghadapi tarif Trump serta ketidakpastian global? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah RAPBN 2026 benar-benar menjadi instrumen pembangunan atau sekadar rutinitas tahunan.
Kesimpulan
RAPBN era Prabowo membawa optimisme yang layak diapresiasi: pertumbuhan tinggi, inflasi rendah, rupiah stabil, dan defisit terkendali. Tetapi, optimisme ini hanya akan berarti bila dibarengi realisme dalam pelaksanaan. Bayangan tarif Trump mengingatkan bahwa dunia luar bisa dengan cepat mengguncang asumsi makro dalam negeri.
APBN 2026 adalah ujian keseimbangan. Bila pendapatan, belanja, dan pertumbuhan bergerak harmonis, maka Indonesia bisa memanfaatkan momentum global dengan percaya diri. Tetapi bila belanja tidak produktif dan pendapatan melemah, defisit bisa berubah menjadi bom waktu.
Optimisme memang penting, tetapi realisme menjaga disiplin fiskal adalah pondasi utama. Hanya dengan kombinasi keduanya, APBN era Prabowo bisa menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar catatan angka di atas kertas.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)