Antara Persatuan dan Persatean, Polemik Perjuangan Sukarno-Hatta

Antara Persatuan dan Persatean, Polemik Perjuangan Sukarno-Hatta

Poster Proklamator Sukarno - Mohammad Hatta di Bandara Sukarno Hatta. (Foto: Hendra)

Langgam.id - Hubungan dua proklamator Bung Karno dan Bung Hatta sejak zaman pergerakan kemerdekaan, selalu naik-turun. Ada masanya, Sukarno-Hatta saling dukung. Ada kalanya pula, kedua tokoh berpolemik keras melalui tulisan, ada pula saat saling mengkritik.

Salah satu topik polemik antara Bung Hatta dan Bung Karno adalah tentang persatuan. "Hatta melontarkan kritik terhadap PPPKI, dengan artikelnya, "Persatuan Dicari, Per-Sate-an yang Dapat", Daulat Ra'yat, 20 April 1932," tulis Guru Besar Universitas Indonesia Sri Edi Swasono dalam tulisannya "Pancasila dan Tanggung Jawab Intelektual Kita" yang termuat dalam Prosiding Kongres Pancasila V (2013). Tulisan Bung Hatta itu terbit, tepat 87 tahun yang lalu dari hari ini, Sabtu (20/4/2019).

Daulat Ra'yat adalah majalah yang diterbitkan Bung Hatta bersama Golongan Merdeka. Kelompok ini merupakan para mantan aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dibubarkan saat Bung Karno dan empat rekannya ditahan pada 1930.

Kelompok yang membubarkan PNI kemudian mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Golongan Merdeka adalah mereka yang menolak pembubaran PNI dan tak bersedia bergabung dengan Partindo. "Aku dari jauh membantu mereka," tulis Bung Hatta dalam 'Mohammad Hatta Memoir' (1979). Bung Hatta saat itu memang masih di Belanda, disibukkan berbagai ujian sebagai syarat lulus dari studinya.

Bung Karno hanya setahun dipenjara (9 Desember 1930-31 Dsember 1931). Saat keluar dari penjara, ia kemudian bergabung ke Partindo dan menjadi ketua. Sebelumnya, saat masih di bawah PNI, kelompok ini bergabung ke dalam Persatuan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

PPPKI berdiri pada 1927. Perhimpunan ini didukung oleh PNI, Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo dan Studie Club Surabaya. Tujuan lembaga ini adalah membentuk kesatuan politik di Hindia. "Akan tetapi, persatuan yang diharapkan tidak pernah tercapai, antara lain karena ideologi berbeda," tulis Rushdy Hoesein dalam Buku "Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati" mengutip MC Ricklefs.

PPPKI inilah yang dikritik Bung Hatta dalam tulisannya tersebut. "Lewat artikel ini, secara tak langsung Bung Hatta menyerang metode Bung Karno dalam menghidupkan PPPKI," tulis Sri Edi.

Dalam majalah Daulat Ra'yat itu, Bung Hatta menilai PPPKI bukanlah persatuan. "Apa yang dikatakan persatuan, sebenarnya tidak lain dari 'persatean'. Daging kerbau, daging sapi, dan daging kambing dapat disate jadi satu," tulisnya

Bung Hatta menegaskan, pihaknya juga berkehendak akan persatuan. "Akan tetapi, persatuan yang kita amalkan berlainan benar dengan per-sate-an yang dipahamkan orang di dalam lingkungan PPPKI

Persatuan segala golongan ini, menurut Bung Hatta sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing. "Sebab itu kaum Daulat Rakyat tidak dapat dipadu jadi satu dengan kaum cultuurnationalisme, dengan tidak mengorbankan asas masing-masing,' ujarnya.

Cita-cita kedaulatan rakyat susah disatukan dengan cultuurnationalisme, selagi kultuur Indonesia memakai cap kaum di atas dan bukan semangat kaum marhaen. "Bagi kita lebih besar harga asas yang jernih dari popularitas yang tidak tentu rumpunnya, sekalipun kita akan ditimpa hujan sumpah dari segala pihak," tulis Bung Hatta.

"Dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’."

Menurut Sri Edi Swasono yang juga menantu Bung Hatta tersebut, yang dimaksud Mohammad Hatta sebagai persatuan adalah adanya "persatuan hati", yang membuat kita "berdiri sebaris".

Lemahnya PPPKI, menurut Bung Hatta, terlihat saat Bung Karno disidangkan di Bandung pada 1930 itu. "Tidak ada protes yang tegas datang dari PPPKI, Persatuan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia. Hanya Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) yang mengadakan rapat umum yang menentang tindakan pemerintah kolonial itu. PNI sendiri tidak berbuat apa-apa," tulis Bung Hatta dalam Mohammad Hatta Memoir.

"Pengurus Besar PNI, kemudian menurut Hatta, jadinya menyatukan pergerakan nasionalis berhaluan nonkoopeerasi dan kooperasi yang akan dpimpin dr. Soetomo."

Bung Karno sendiri, kemudian bergabung dengan Partindo begitu keluar dari penjara. "Pada tanggal 28 Juli 1932, aku bergabung dengan Partindo dan dengan suara bulat terpilih sebagai ketua. Dunia pergerakan hidup kembali," kata Bung Karno, sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam 'Bung Kano Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' (1966).

"Sudut pandang Bung Hatta terhadap persatuan yang dicita-citakan oleh Bung Karno itu berdasarkan pendekatan sosial-ekonomi. Sedangkan tinjauan Bung Karno soal persatuan lebih dilihat dari kacamata sosial-politik. Karenanya polemik kedua tokoh ini tak mencapai titik temu," tulis Wawan Tunggul Alam dalam Buku 'Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta'.

Sukarno sendiri mengakui perbedaan tajam antara dirinya dengan Hatta dan juga Sjahrir. "Aku sama sekali tidak pernah mengerti perkara tetek bengek intelektual yang khayal begini. Hatta dan Sjahrir tidak pernah membangun kekuatan. Apa yang mereka kerjakan hanya bicara," kritik Sukarno dalam Buku Cindy Adams.

Bung Karno dan Bung Hatta kemudian juga terlibat polemik tentang topik 'non-kooperasi'. Dalam artikelnya, Bung Karno menegaskan bahwa non-kooperasi bukan hanya suatu asas perjuangan, tetapi juga prinsip hidup untuk melakukan perjuangan yang tak kenal damai dengan kaum pertuanan.

Bung Hatta tak sependapat. Ia menuduh Bung Karno telah membelokkan arti non-kooperasi menjadi dogma, agama politik dan tidak lagi asas perjuangan. Padahal, baginya non-kooperasi itu adalah senjata perjuangan.

"Pada tahun-tahun 20-an, di antara kami telah terjadi keretakan ketika aku menjadi eksponen utama dari non-kooperasi, sedang dia sebagai eksponen utama dari kelompok yang berpendirian kerja sama dengan pemerintah jajahan tidak apa-apa," kata Bung Karno.

Jadi, yang dipolemikkan adalah cara perjuangan. Toh, kemudian keduanya disamakan saja oleh Belanda.
Karena aktivitas politiknya, Bung Karno dibuang ke Ende kemudian pindah ke Bengkulu. Bung Hatta dan Sutan Sjahrir dibuang ke Digoel kemudian dipindahkan Banda Neira. Keduanya baru sama-sama dibebaskan menjelang Jepang masuk ke Indonesia.

Bung Karno menceritakan kesepakatannya bersama Hatta dan Sjahrir pada 1942 setelah sama-sama bebas dari pembuangan. "Bung dan aku pernah terlibat perselisihan yang dalam," kataku. "Meski di satu waktu kita pernah tidak saling menyukai, sekarang kita menghadapi satu tugas yang jauh lebih besar daripada tugas yang pernah kita lakukan masing-masing. Berbagai perbedaan menyangkut masalah partai atau strategi tak perlu ada lagi. Sekarang kita satu. Bersatu di dalam perjuangan bersama," kata Bung Karno.

"Setuju," kata Hatta. Keduanya kemudian berjabat tangan sungguh-sungguh. (HM)

Baca Juga

Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Tanjung Barulak Menolak Pajak
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas