Anak Buya Kini di PSI

Berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Mantan Mendagri, Gamawan Fauzi menilai Yaqut Cholil Qoumas tak bijaksana sebagai Menteri Agama.

Gamawan Fauzi dalam Talkshow 1 Tahun Mahyeldi-Audy yang digelar Langgam.id. (Foto: Dok. Langgam.id)

Dunia politik Sumatera Barat berdengung. Suara berisik itu muncul setelah anak Buya Mahyeldi Ansharullah, yang merupakan Ketua Dewan Pembina Partai Keadilan Sejahtera (PKS), diangkat menjadi Plt. Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sumatera Barat.

Macam-macam komentar kemudian muncul. Umumnya terkesan negatif. Ada yang menyorot dengan menuduh sebagai sikap pragmatis, ada yang mengatakan politik dua kaki, ada yang menyebut melanggar kepatutan, dan sebagainya.

Apa yang salah ketika Taufik, anak Buya, menyeberang ke PSI? Taufik adalah orang dewasa dan cakap, juga seorang sarjana, bukan di bawah pengampuan (onbekwaamheid). Ia sudah berkeluarga dan mandiri.

Soal berbeda partai dengan Buya, apakah itu pelanggaran moral? Adat? Kepatutan? Kepantasan?
Jika bagi Buya tak masalah, maka sebenarnya itu sebuah terobosan baru: anak dan bapak beda partai.

Bila dikaitkan dengan ideologi partai, karena Taufik pindah ke lain hati, maka pertanyaannya adalah, berapa banyak tokoh-tokoh politik atau politisi sekarang yang loncat sana loncat sini, baik di tingkat nasional ataupun daerah, bahkan ada yang hingga empat kali pindah partai.

Mohon maaf. Jangan bandingkan politisi masa lalu seperti Bung Karno, Sutan Syahrir, Pak Natsir dan lainnya berpolitik dengan kita berpolitik sekarang.

Walaupun pengertian partai politik sejak dulu hingga kini tak banyak berubah, seperti dimuat dalam UU No. 2 Tahun 2011, yaitu organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela berdasarkan kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik masyarakat, bangsa, dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun perbedaan nyata identitas dan ideologi partai dengan segala kekhususannya hampir tak tampak.

Dulu, perbedaan ideologi partai politik benar-benar dirasakan perbedaannya, perbedaan garis perjuangannya. Walaupun bermiskin-miskin dan bersulit-sulit, mereka benar-benar teguh dengan keyakinan ideologi dan jalan perjuangannya.

Garis kebijakan partai terasa cirinya, terasa jiwanya, dan mereka teguh memegang ideologi partainya. Jelas mana yang cabe, garam, kunyit, serai, jahe, lengkuas. Bercampurnya hanya di parlemen saja, menjadi sebuah kekuatan legislatif yang “beraroma” dan penuh cita rasa.

Seperti Masyumi, misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa ideologi kami Islam, sebagaimana ditulis dalam buku Pak Natsir yang berjudul Ideologi Islam.

Sekarang beda. Ketika partai lebur dalam sebuah koalisi besar, maka ibarat sebuah orkestra, nyaris tak terdengar lagi bunyi perbedaan alat musik yang satu dengan lainnya. Yang ada hanyalah setuju untuk semua yang dikatakan pimpinan eksekutif yang didukung koalisi partai, atau tidak setuju bila pimpinan koalisi emoh.

Sebab bila nadanya berbeda, bisa-bisa dikeluarkan dari koalisi besar karena dinilai pengganggu keutuhan kelompok. Dan itu akan merugikan partai dalam banyak hal.

Lihatlah, sebuah partai besar yang pernah “maju tak gentar” membela kabinet Presiden Indonesia ketujuh, kemudian berbalik arah dan berhadap-hadapan secara diametral dengan mantan Presiden ketujuh, setelah pecah kongsi.

Saat kemesraan masih terjalin, apa pun yang dikatakan Presiden hampir semuanya benar dan dibela habis-habisan dengan segenap jiwa raga. Sekarang justru banyak menyalahkan.

Apakah itu ideologis? Bukan. Itu transaksi politik. Itu politik praktis yang berorientasi kekuasaan. Tapi politik, di sisi lain, memang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, menjalankan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan.

Kini, sepertinya pemilih juga tak memilih partai atas dasar kesamaan ideologi atau perjuangan; pilihannya lebih kepada kenalan, saudara, atau idola. Makanya para artis laku untuk “dijual” guna mendulang suara. Karena partai, apa pun lambangnya, apa pun namanya, mau pakai Islam-Islaman, mau nasionalis-nasionalisan, atau apalah namanya, semuanya sama saja. Merek banyak, tapi rasa tak beda.

Setelah masuk dalam koalisi, maka warna partai meleleh semua. Yang penting “dapat jatah” sebagai bagian kekuasaan, apakah itu menteri, badan, komisaris, atau apa punlah.

Karena itu, bagi saya tak masalah kalau kemudian Taufiqur Rahman, anak keempat Buya Mahyeldi, berlabuh di PSI dan mendapat posisi sebagai Plt. Dewan Pimpinan Wilayah.

Masalahnya cuma beda jalur perjuangan untuk mendapatkan suara partai masing-masing. Buya sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah PKS wajib hukumnya membuat PKS unggul di Sumbar, dan Taufik juga berjuang membesarkan PSI.

Nanti di atas toh akan menyatu juga untuk memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, bangsa, dan negara, bukan memperjuangkan sesuatu karena kesamaan kehendak dan cita-cita partai, apalagi ideologi partai yang kini tak lagi dikenal.

Mencontoh kepada yang sudah, toh tak ada yang salah. Seorang politisi bisa berpindah partai hingga empat kali, dan kini menjadi kelaziman saja seorang politisi lompat-lompat dan pindah-pindah dari satu partai ke partai lain, karena samarnya batas kehendak, batas cita-cita, apalagi ideologi yang diperjuangkan.

Pindah-pindah partai bukanlah aib, bukan melanggar adat, apalagi dosa. Hanya sekadar berganti selera. Kalau dulu suka goreng ayam, sekarang rasanya lebih enak dendeng balado atau ikan bakar.
Karena itu, apa salah Taufik?

Sebagai politisi muda, jika ia masih dalam wadah PKS, masih perlu waktu lama untuk mendapat posisi sebagai Ketua DPW PKS, karena tak mungkin menyalip seniornya yang banyak. Apalagi Buya bukanlah Jokowi yang bisa melakukan lompat jauh, lompat tinggi, salto, tiger sprong untuk mendongkrak anaknya langsung jadi ketua wilayah seperti halnya Kaesang yang sehari jadi anggota partai, besoknya bisa langsung menjadi ketua umum.

Kalaupun Taufiqur Rahman yang baru masuk PSI langsung jadi Plt. Ketua Wilayah partai, itu jelas bukan karena peran Buya Mahyeldi. Itu hanya semacam “mencontoh ka nan sudah” dari pengalaman Ketua Umum PSI, yaitu Tuan Kaesang Pangarep.

Jadi, apa yang salah dari Taufik?

Kalau kemudian pikirannya berubah dan batal menjadi kader PSI, lalu kembali basisuruik (mundur kembali) ke PKS, itu pun tak masalah. Mungkin saja ada proses diskusi yang sarat timbang-menimbang, tenggang-menenggang, atau ingat-mengingat.

Tapi yang pasti, informasi yang membuncah bahwa anak keempat dari Buya Mahyeldi, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Wilayah PKS Sumatera Barat, pindah ke PSI, bukanlah sesuatu yang salah, melanggar aturan, atau moral. Mungkin hanya sekadar ‘cando’, kata orang Minang.

Biar sajalah, banyak yang lain sudah melakukannya.

Jakarta, 22 Oktober 2025
Dr. Gamawan Fauzi, S.H., M.M.

Baca Juga

Gubernur Sumbar Mahyeldi sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah PKS Sumbar. Foto/PKS.ID
Anaknya Gabung PSI, Mahyeldi: Itu Urusan Dia 
Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi
Mahyeldi Irit Bicara Soal Anaknya Jadi Ketua DPW PSI Sumbar
Ketika Anak Buya Memilih PSI: Antara Darah, Pikiran, dan Tafsir Baru
Ketika Anak Buya Memilih PSI: Antara Darah, Pikiran, dan Tafsir Baru
Jadi Ketua DPW PSI, PKS Sumbar Cek Keanggotaan Taufiqur Rahman
Jadi Ketua DPW PSI, PKS Sumbar Cek Keanggotaan Taufiqur Rahman
Taufiqur Rahman, anak Gubernur Sumatra Barat (Sumbar), Mahyeldi, resmi menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) atau PSI.
Kaesang Tunjuk Taufiqur Rahman Jadi Ketua PSI Sumbar, Pengamat Politik Ungkap Strategi Keluarga Mahyeldi
PSI menunjuk Taufiqur Rahman anak dari Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah atau DPW PSI Sumbar. 
Kaesang Tunjuk Taufiqur Rahman Anak Gubernur Mahyeldi Jadi Ketua DPW PSI Sumbar