Oleh: Habibur Rahman
"Indak karambia amak ang ko do..!" Ungkapan dalam bahasa Minang itu pernah terlontar dari Bapak Republik ini kepada kolonial Belanda yang saat itu sedang menjarah hasil bumi kampungnya.
Ya, Bapak Republik itu adalah Tan Malaka, seorang tokoh penting dalam sejarah pra kemerdekaan Indonesia yang memiliki kontribusi yang luar biasa, terutama melalui tulisan-tulisannya yang berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia. Ir Sukarno juga merupakan sosok yang terinspirasi oleh gagasan-gagasannya, begitu pula W.R. Supratman.
Ketika W.R. Supratman selesai membaca karya Tan Malaka yang berjudul Massa Actie, ia memasukkan kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" dalam lagu Indonesia Raya setelah terinspirasi dari bagian akhir buku tersebut, khususnya bab berjudul Khayal Seorang Revolusioner.
Di bagian itu, Tan menulis dengan lantang, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri… Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.” Pesan kuat dari Tan Malaka tersebut berhasil menyalakan semangat revolusi pada diri Supratman dan memberi bentuk pada lirik yang hingga kini menjadi simbol nasionalisme masyarakat Indonesia.
Menariknya, nama Tan Malaka sendiri bukanlah nama lahirnya, melainkan gelar adat yang diberikan kepadanya di Kelarasan Bungo Satangkai sebelum ia berangkat menuntut ilmu ke Belanda pada tahun 1913.
Nama aslinya adalah Ibrahim, sebagaimana dicatat oleh Heru Joni Putra dalam bukunya Suara yang Lebih Keras, Catatan dari Makam Tan Malaka. Bahwa dengan gelar Tan Malaka itulah, yang membuat Ibrahim muda kala itu bertransformasi menjadi sosok yang dikenal dunia sebagai pejuang revolusioner yang penuh semangat melawan kolonialisme.
Dalam perjalanan beberapa waktu lalu, saya mendapat kesempatan menapaki jejak sejarah ke pedalaman Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat, untuk mengunjungi almarhum Syekh Khatib Ilyas yang kala itu telah berusia 100 tahun, yang kediamannya tak jauh dari letak kediaman Tan Malaka.
Syekh Khatib Ilyas adalah seorang mursyid dari tarekat Naqsyabandiyah, dihormati sebagai pemimpin spiritual di wilayahnya, terutama di Titian Dalam, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota. Melalui diskusi yang mendalam, beliau banyak mengisahkan sosok Tan Malaka, terutama karakter kerasnya terhadap kolonial Belanda sejak muda.
Syekh Khatib Ilyas menceritakan salah satu peristiwa, yang kala itu ketika Tan diusir oleh Belanda karena mendekati daerah pertambangan emas di Manggani. Tempat itu merupakan pusat pertambangan terkenal pada masa itu di Sumatra Barat dan tidak jauh dari tempat tinggal Tan Malaka.
Tan, dengan keingintahuan dan keberanian yang sudah tampak sejak dini, ingin menyaksikan proses pertambangan yang dilakukan oleh pihak kolonial di tanah kelahirannya. Namun, pihak kolonial tampak jengkel dengan keberadaannya, merasa terganggu oleh sosok pemuda yang dianggap sebagai ancaman, bahkan sejak mudanya itu.
Keberanian Tan Malaka tak hanya terlihat dalam aksinya, tapi juga dalam ucapannya yang lantang menentang kolonial. Pada suatu hari, saat ia menyaksikan para serdadu Belanda mengambil buah kelapa atau karambia dalam bahasa Minang, milik warga setempat tanpa izin, Tan tak tahan lagi.
Dalam bahasa Minang, ia berteriak penuh amarah, “Indak karambia amak ang ko do!” yang kira-kira memiliki arti dalam bahasa Indonesia “Bukan kelapa ibumu ini!” Umpatan tersebut, walaupun tak dipahami maksudnya oleh penjajah karena dilontarkan dalam bahasa Minang, menjadi ungkapan spontan dari rasa frustrasi dan kemarahan seorang pribumi terhadap ketidakadilan yang kerap terjadi.
Keteguhan Tan Malaka dalam melawan kolonialisme memang sudah tertanam sejak dini. Semangat perlawanan itu seolah telah mendarah daging di dalam dirinya, dan hal tersebut tercermin dalam gerakan politik serta ideologi yang ia bawa sepanjang hidupnya.
Dan kita bisa simpulkan bahwa sikap tegas Tan Malaka tidaklah hanya soal keberpihakan pada kalangan kiri seperti yang sering diasosiasikan padanya, melainkan juga wujud dari rasa cinta dan tanggung jawabnya terhadap tanah air. Tan Malaka bukan sekadar aktivis kiri, namun ia adalah sosok yang siap menantang siapa pun yang dianggapnya berusaha merampas kedaulatan bangsanya.
Bahkan hingga kini, nama Tan Malaka masih lekat dengan pergerakan yang melawan ketidakadilan, menolak segala bentuk penindasan, dan memperjuangkan suara kaum tertindas. Ia tidak hanya membakar semangat kebangsaan lewat tulisan, tetapi juga melalui pengorbanan dan keberanian di lapangan.
Warisan Tan tak hanya ada dalam buku-bukunya, tetapi juga dalam ingatan kolektif bangsa yang menghargai perlawanan serta keberanian melawan tirani. Sebuah keberanian yang diperlihatkan oleh seorang Ibrahim dari Tanah Minang yang berdiri di hadapan kolonial ketika masa mudanya dengan tidak gentar sedikitpun.
Kisah tentang umpatan kekesalannya dengan narasi “Indak karambia amak ang ko do” adalah salah satu dari banyak cerita yang menunjukkan betapa besar keteguhan hati Tan Malaka. Tan tidak pernah gentar untuk melawan ketidakadilan, baik dalam bentuk tindakan maupun kata-kata.
Ketika kolonial Belanda menginjak-injak harga diri bangsa, Tan Malaka adalah orang berdiri paling tegak, bahkan dalam kesunyian pun ia berusaha meraba-raba bentuk Republik ini jauh sebelum Sukarno - Hatta, dan dengan lantang menyatakan bahwa “Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya."
Melalui perjalanan waktu, Tan Malaka terus dikenang sebagai sosok revolusioner yang membangkitkan kesadaran nasionalisme di hati banyak orang, terutama para pejuang kemerdekaan. Sumbangsihnya dalam memperjuangkan kemerdekaan bukan hanya tercatat dalam buku-buku sejarah, tetapi juga menyatu dengan setiap napas perjuangan rakyat yang ingin bebas dari segala bentuk penindasan.
Umpatan ketika dirinya muda dengan narasi “Indak karambia amak ang ko do” yang terlontar penuh amarah dan kesal adalah cerminan dari semangat perlawanan yang tak lekang oleh waktu.
Namun dibalik itu semua kita harus paham, bahwa titik peribadatan tertinggi yang bisa dicapai oleh Tan Malaka adalah melalui membela ciptaan-Nya, dengan membela kaum lemah, dan menyokong kaum tertindas. Atau bisa kita sebut dengan mengabdi untuk kemanusiaan. (*)
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.