Di tanah Minangkabau yang elok, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menjadi pegangan. Akhir-akhir ini alam yang damai itu seakan “marah” dan “memuntahkan” energi yang lama disimpannya. Mungkin, ia sudah jenuh melihat perilaku hipokrit yang dimainkan para dalang dan para pengikutnya selama ini.
Maka, alam pun “mengamuk” dan memperlihatkan kuasanya di mana-mana. Barangkali bukan karena benci pada penghuninya, melainkan karena telah terlalu lama “diperkosa” dan dikhianati oleh tangan-tangan serakah yang bersembunyi di balik jargon eksplorasi dan hilirisasi.
Banjir bandang dan longsor yang baru saja melanda sebagian besar wilayah bukanlah air bah biasa. Secara kasat mata, semuanya tampak jelas. Ini bukan sekadar lumpur tanah bercampur batu atau ranting kering, melainkan gelondongan kayu dan “tunggue-tunggue” (tunggul kayu) besar. Potongan batang pohon dan tunggul itu melesat dengan kecepatan tinggi, menghantam rumah-rumah penduduk, meruntuhkan dinding harapan, dan meninggalkan tangis pilu.
Potongan kayu itu mustahil dihasilkan oleh hujan yang “memotongnya” dengan rapi. Begitu pula tunggue besar yang tercerabut begitu saja. Pasti sudah lama penebangan itu terjadi sehingga akar tunggang dan serabutnya tak lagi punya daya cengkeram.
Secara forensik lingkungan, kehadiran kayu-kayu besar dengan potongan rapi serta tunggul yang tercerabut itu adalah corpus delicti, bukti kejahatan yang telanjang. Kayu-kayu itu bukan tumbang karena angin puting beliung.
Begitu pula tunggul itu tak akan tercerabut mudah jika akar-akarnya masih hidup. Semuanya adalah korban pembabatan hutan yang sistematis. Belum lagi lubang-lubang besar yang menganga dengan kedalaman fantastis. Pengerukan dan terowongan menjelma eksploitasi masif yang dibiarkan tanpa batas.
Ketika hutan di hulu digunduli dan tanah dipenuhi lubang-lubang yang merenggut daya cengkeramnya, fungsi akar untuk mengintersepsi air pun hilang. Hutan yang sejatinya berperan sebagai spons raksasa kehilangan kemampuannya. Secara hidrologis, koefisien run-off melonjak drastis. Air hujan tak lagi meresap ke dalam akuifer, melainkan langsung menggelontor ke sungai sambil membawa material destruktif. Semua itu berubah menjadi “luncuran kiamat”. Nyawa dan raga hilang diseret penderitaan. Ekonomi porak-poranda. Usaha musnah sekejap mata. Nagari dan perkampungan luluh-lantak menjadi puing-puing kehilangan.
Ini adalah hukum fisika yang tak bisa didustai, dan bukan pula takdir. Namun, hukum alam ini sering diingkari; mata ditutup, telinga dibungkam. Kebijakan dan keputusan otoritas kerap mengikuti arah para dalang eksploitasi. Akibatnya, keseimbangan alam pun rusak. Gelondongan dan tunggul kayu kini tampak gamblang di berbagai titik pusat air. Danau, laut, dan sungai-sungai yang dilalui banjir bandang dan longsor menjadi saksi “amukan alam”. Di mana-mana, kayu dan tunggul berserakan tanpa sanggahan.
Teologi Ekologis: Peringatan Tuhan yang Didustai
Jauh sebelum ilmu lingkungan modern muncul, Al-Qur’an telah memberi peringatan keras tentang hubungan kausalitas antara perilaku manusia dan kerusakan alam. Allah swt dalam QS. Ar-Rum: 41 mengingatkan agar manusia mengelola sumber daya alam dengan bijaksana, tanpa merusak atau mengeksploitasi secara berlebihan. Bencana yang disebutkan secara tegas ini adalah bencana antropogenik—bencana buatan manusia.
Menyalahkan curah hujan yang tinggi atau debit air berlebih hanyalah pelarian dari tanggung jawab. Hujan adalah rahmat. Ketidakmampuan tanah menampung rahmat itulah yang berubah menjadi “laknat” akibat ulah kita. Dosa pembiaran dan “perselingkuhan” regulasi menjadi salah satu akar masalah yang harus ditinjau ulang. Bencana ini tidak terjadi dalam ruang hampa; ia adalah akumulasi pembiaran (omission) dan mungkin juga dukungan diam-diam terhadap aktivitas destruktif.
Praktik pembalakan dan pertambangan menjamur bak cendawan di musim hujan, mustahil tak tercium oleh para pemegang otoritas. Ketika alat berat meraung di hutan lindung, ketika jalan di tengah hutan sudah “pasa” dilalui ekskavator, dan ketika sungai mengeruh pekat akibat sedimentasi tambang, para pemegang otoritas tetap bersikap acuh. Suara lantang pemerhati dan aktivis lingkungan tak digubris. Apalagi ditindaklanjuti. Antar lembaga pun saling lempar bola dan kabur dari tanggung jawab.
Kini, ekosistem sungai nyaris sekarat. Sedimentasi akibat pertambangan telah mendangkalkan dasar sungai. Kapasitas sungai menampung debit air menurun drastis. Ditambah hilangnya tutupan hutan di hulu, banjir bandang menjadi keniscayaan matematika — bukan nasib buruk, apalagi takdir. Jika pemerintah terus menutup mata, atau terus “bermain mata” dengan para perusak lingkungan demi setoran retribusi atau kepentingan oligarki sesaat, maka pemerintah sebenarnya sedang menggali kuburan massal bagi rakyatnya sendiri.
Pertobatan Ekologis
Rumah-rumah yang hancur dihantam gelondongan kayu dan tunggul adalah monumen kegagalan kita menjaga amanah bumi. Kayu-kayu itu seharusnya menjadi “paku bumi” yang menahan tanah, bukan peluru kendali yang menghancurkan peradaban. Kondisi ini menuntut kesadaran bersama, terutama dari pemegang otoritas negara. Diharapkan tidak lagi ada aktivitas pertambangan dan penebangan, baik yang dilakukan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, yang meluluhlantakkan bentang alam. Evaluasi ulang semua izin tambang (AMDAL). Hentikan retorika “pembangunan ekonomi” jika bayarnya adalah nyawa dan masa depan rakyat.
Kampung dan negeri yang dibanggakan selama ini hilang ditelan lumpur, luluh lantak tanpa menyisakan banyak harapan. Sawah dan ladang berubah gersang, tak lagi mampu ditanami. Anak negeri kehilangan arah, kehilangan masa depan. Semoga bencana ini menjadi teguran yang kuat, agar Allah tidak mencabut berkah-Nya secara total dari negeri ini. Tentu saja dengan menghentikan keserakahan dan pengingkaran terhadap hukum kauniyah. (*)
Penulis adalah Dr. Bakhtiar, M.Ag (Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat)






