Akhir Hindia Belanda, Sukarno dan Suasana Padang Jelang Jepang Datang

Akhir Hindia Belanda, Sukarno dan Suasana Padang Jelang Jepang Datang

Suasana kawasan Pondok pada 1930, sekitar 12 tahun sebelum berakhir kekuasaan Hindia Belanda. (Foto: KITLV- leidenuniv.nl)

Langgam.id - Tjarda van Starkenborgh Stachouwer barangkali tak pernah bermimpi akan jadi gubernur jenderal terakhir Hindia Belanda. Tapi kenyataan tersebut sedang di depan mata gubernur jenderal ke-64 itu.

Bersama Panglima KNIL Jenderal Hein ter Poorten yang  membawahi 40 ribu tentara Hindia Belanda, ia harus menemui komandan pasukan yang telah memenuhi Nusantara dengan 140 ribu serdadu berani mati. Para prajurit berkendara mesin perang terbaru zaman itu, siap menyalakan api di seluruh wilayah koloni Belanda.

Hanya dua bulan sejak datang ke Tarakan, seluruh Kalimantan, Sumatra dan wilayah Indonesia Timur sudah di dalam kendali Kaisar, Perdana Menteri Jepang dan Panglima Milter Jepang.

Lebih kilat, di bawah komando Letnan Jenderal Hitoshi Immamura, para serdadu itu menginvasi Pulau Jawa hanya dalam sepekan. Mereka membuat elit militer dan sipil Hindia Belanda terkepung di Bandung.

Immamura adalah komandan pasukan ke-16 Angkatan Darat Jepang. Atas ultimatumnya pada 7 Maret 1942, Starkenborgh dan Poorten harus datang menghadap ke pangkalan udara Kalijati, Subang, Jawa Barat yang telah dalam kuasa negeri matahari terbit itu.

Bak ujian pilihan ganda, soal dari Immamura hanya punya dua jawaban: lanjutkan perang atau total menyerah.

Jenderal AH Nasution dalam biografinya 'Memenuhi Panggilan Tugas' menulis, Gubernur Jenderal Starkenborgh dan Panglima Ter Poorten memilih alternatif kedua: menyerah tanpa syarat kepada
Immamura.

Kejadian itu terjadi pada 8 Maret 1942, tepat 77 tahun yang lalu dari hari ini, Jumat (8/3/2019).

Dengan demikian, hari itu, Hindia Belanda resmi mengakhiri pendudukan di Nusantara. Wilayah koloni yang sebagiannya sudah mulai mereka kuasai sejak lebih tiga abad silam.

Dalam suasana seperti itu, pejuang pergerakan kemerdekaan terdepan Ir. Sukarno sampai di Padang dengan kawalan polisi Hindia Belanda dalam perjalanan dari Bengkulu. (Baca: Ultimatum Jepang dan Gerobak Sapi Bung Karno Menuju Padang).

Bung Karno memang ada di Bengkulu sejak 1938, menjadi tahanan Pemerintah Hindia Belanda. Sebelumnya, bersama Ibu Inggit dan anak angkatnya Ratna Djuami yang mendampingi, ia dibuang ke Ende Flores sejak 1934.

Suasana Kota Padang dan Sumatra Barat saat itu, diceritakan Bung Karno kepada Cindy Adams, dalam biografinya, 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia'.

"Kota Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanya dalam satu hal orang tidak ragu lagi, yaitu bahwa Belanda penakluk yang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para pedagang meninggalkan tokonya. Terjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup," katanya.

Karena Belanda gagal membawa Bung Karno ke Australia dengan kapal dan pesawat terbang, meski sudah dibawa dari Bengkulu, Bung Karno akhirnya mereka tinggalkan di Padang. "Negeri Belanda membiarkanku tinggal. Ini adalah kesalahan yang besar dari mereka," ujarnya.

Cara Belanda melarikan diri tersebut disindirnya dengan tajam. "Mereka seperti pengecut. Mereka lari pontang-panting. Belanda membiarkan kepulauan ini dan rakyat Indonesia jadi umpan tanpa pertahanan."

Sukarno lantas mencari teman lamanya, Waworuntu yang tinggal di Padang. Temannya tersebut ternyata tinggal sendiri di rumah besar, karena keluarganya mengungsi. Ia meminta Bung Karno serta keluarga yang tinggal di hotel untuk pindah ke sana.

"Ini terjadi beberapa hari sebelum Balatentara Kerajaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku berjalan-jalan, di sepanjang jalan aku menyadari, bahwa saudara-saudaraku yang terlantar, lemah, patuh dan tidak mendapat perlindungan perlu dikumpulkan," katanya.

Sukarno lalu mendatangi sebuah organisasi dagang yang tak ia sebutkan namanya. "Aku menemui ketuanya dan dia berusaha mengumpulkan orang-orangnya. Kemudian aku menyuruh Waworuntu ke satu jurusan dan Riwu ke jurusan lain untuk mengumpulkan yang lain."

Kemudian, menurut Bung Karno, diadakan rapat umum di lapangan pasar. "Di sana aku membentuk Komando Rakyat yang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk menjaga ketertiban," ujarnya.

Dalam pertemuan itu, Sukarno kemudian berpidato dengan bergelora. Pidato pertamanya setelah sembilan tahun menjadi tahanan Pemerintah Hindia Belanda.

"Saudara-saudara, saya minta kepada saudara-saudara untuk mematuhi tentara yang akan datang. Jepang mempunyai tentara yang kuat. Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas saudara-saudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihancurleburkan, jikalau kita mencoba-coba untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan," katanya.

Orang yang tidak bersenjata, kata Sukarno, tidak mungkin melawan puluhan ribu prajurit terlatih.

"Akan tetapi sebaliknya, ingatlah saudara-saudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri di seluruh jagad ini digabung menjadi satu, tidak akan mampu untuk membelenggu satu jiwa yang tunggal, karena ia telah bertekad untuk tetap merdeka. Saudara-saudara, saya bertanya kepada saudara-saudara semua, Siapakah yang dapat membelenggu suatu rakyat jikalau semangat rakyat itu sendiri tidak mau dibelenggu?" serunya.

Sukarno mengingatkan, bangsa Indonesia harus mencari kemenangan yang sebesar-besarnya. "Maka dari itu, saudara-saudara, hati-hatilah. Rakyat kita harus diperingatkan supaya jangan mengadakan perlawanan."

Pertumpahan darah, menurutnya, harus dihindari. "Hindarkanlah pertumpahan darah di saat-saat permulaan. Jangan panik. Saya ulangi: jangan panik. Ketentuan pertama yang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk menaati orang Jepang. Dan percaya. Percaya kepada Allah Subhanahuwata'ala, bahwa Ia akan membebaskan kita."

Demikian motivasi Sukarno dalam rapat yang kemudian diakhiri dengan doa bersama yang juga ia pimpin.

"Doa itu berakhir, rakyat bubar. Aku kembali ke rumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak perlu lama menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu jam empat pagi. Mungkin juga jam lima," ujarnya kemudian.

Ketika tentara Jepang datang, menurutnya, Padang mengibarkan bendera Merah-Putih. "Rakyat menyangka mereka dibebaskan. Setelah berabad-abad larangan, sungguh menggetarkan hati menyaksikan bendera kami Sang Merah-Putih yang suci itu melambai-lambai dengan megahnya," kata Bung Karno.

Tetapi, kebebasan itu tidak lama. "Segera keluar pengumuman yang ditempelkan di pohon-pohon dan di depan toko-toko. Bahwa, hanyalah bendera matahari terbit yang boleh dikibarkan. Serentak dengan kejadian ini, terasa sebagai suatu tamparan, 'Pembebasan' kota Padang tidak lama umurnya," tutur Sukarno.

Selama lebih kurang lima bulan berikutnya, Bung Karno berada di Sumatra Barat dan berkomunikasi dengan tentara Jepang yang memusatkan markas di Bukittinggi. (HM)

Baca Juga

Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Tanjung Barulak Menolak Pajak
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
UNESCO Tetapkan Arsip Pidato Bung Karno Menjadi Warisan Dunia
UNESCO Tetapkan Arsip Pidato Bung Karno Menjadi Warisan Dunia