Ad Hominem: Cara Favorit Netizen Saat Kehabisan Stok Logika

Ad Hominem: Cara Favorit Netizen Saat Kehabisan Stok Logika

Ilustrasi: debat. (Gambar: pixabay.com)

Oleh: Habibur Rahman

Belakangan ini saya merasakan eskalasi yang cukup signifikan ketika saya mengakses ruang publik, selalu saja dihadapkan melihat orang yang jika beradu argumentasi dan dia kewalahan, justru akan menyerang personal lawan bicaranya dari sudut manapun entahkah itu masa lalunya, bahkan latar belakangnya sekalipun, kayaknya tidak hanya belakangan ini tapi itu adalah fenomena yang sudah berlangsung lama, dan terus menjadi-jadi. Harusnya kita menyadari bahwa dalam percakapan publik, debat politik, maupun diskursus ilmiah, argumen menjadi tulang punggung penalaran rasional ketika bagi siapapun itu untuk bicara.

Akan tetapi, tak jarang argumen yang dibangun justru dibumbui oleh kekeliruan berpikir (logical fallacy), yang secara sistematis menyesatkan logika dan melemahkan kualitas dialog. Salah satu kekeliruan paling umum dan bahkansudahdiangg umum untuk terjadi yaitu, dalam retorika kontemporer adalah “ad hominem”. Istilah ini berasal dari bahasa Latin yang berarti “kepada manusia” atau “menyerang pribadi”, bukan substansi argumen. Kekeliruan ini terjadi ketika seseorang tidak menjawab argumen lawannya secara substansial, tetapi justru menyerang karakter, motif, atau identitas personal dari si pembuat argumen.

Menurut Copi, Cohen, dan McMahon, dalam Introduction to Logic, “ad hominem” merupakan serangan terhadap pribadi lawan dengan harapan melemahkan keabsahan argumennya. Padahal, harusnya kualitas sebuah argumen haruslah diukur dari kekuatan logika dan evidensinya, bukan dari siapa yang mengucapkannya. “To attack a person instead of their argument is to commit a fallacy that distracts from the issue at hand,” harusnya kan begitu. Hal ini menunjukkan bahwa ad hominem tidak hanya keliru, tetapi juga “tidak etis” dalam forum intelektual yang sehat.

Terdapat beberapa bentuk varian dari kekeliruan ad hominem. Yang paling umum adalah “abusive ad hominem”, yaitu serangan langsung terhadap kepribadian atau karakter lawan, misalnya dengan menyebutnya bodoh, tidak berpendidikan, atau munafik, dan kalimat negatif-negatif lainnya yang merujuk pada personal. Contohnya: “Jangan dengarkan dia bicara soal etika bisnis, dia bahkan pernah dipecat dari kantornya.” Dalam contoh ini, keabsahan argumen tentang etika tidak dibahas, melainkan dialihkan dengan merendahkan pribadi pembicara, karena rekam jejakdia di masa lalu.

Varian lain adalah “circumstantial ad hominem”, yaitu dengan menunjuk pada kondisi atau kepentingan pribadi lawan seolah-olah itu membatalkan argumennya. Misalnya, "Tentu saja dia mendukung kebijakan pajak rendah, dia orang kaya." Pernyataan ini berusaha melemahkan argumen dengan menyiratkan adanya motif tersembunyi, bukannya malah membuktikan salahnya substansi.

Yang lebih halus dan sering luput disadari adalah “tu quoque” (kamu juga), di mana lawan dituduh munafik atau tidak konsisten, bukan menjawab argumennya. Misalnya, ”Kamu bilang jangan merokok, tapi kamu sendiri merokok”. Padahal, larangan merokok bisa saja benar dan berdasar medis, meskipun pembicaranya gagal mempraktikkannya. Konsistensi pribadi tidak menjadi ukuran kebenaran objektif suatu klaim, tapi ini ada dua sudut pandang ya jika anda penegak aturan tentu harus dimulai dari diri anda supaya anda diukur sebagai penegak aturan yang juga taat pada Turan tersebut.

Di samping itu, dalam praktik “komunikasi publik”, “ad hominem” kerap digunakan sebagai alat retoris untuk menjatuhkan kredibilitas lawan tanpa harus membantah argumennya secara ilmiah. Hal ini sering terlihat dalam kampanye politik, talk show, bahkan dalam ruang-ruang akademik sekalipun, yang semestinya menjunjung tinggi etika debat. Jika kita ambil pendapat Anthony Weston, dalam “A Rulebook for Arguments”, “Ad hominem arguments are among the most common fallacies, especially in political discourse, because they are emotionally compelling but intellectually vacuous.” Ini menunjukkan bahwa “ad hominem” menarik secara emosional, tetapi kosong secara logika.

Apalagi jika kita bicara pada era media sosial dan disinformasi digital hari ini, sebagai orang yang sering berkomentar di ruang publik, contoh kolom komentar Instagram saya pribadi melihat itu adalah sebagai hal yang umum untuk diadopsi netizen hari ini “ad hominem” bahkan menjadi senjata utama dalam menyerang kredibilitas individu, terutama di tengah polarisasi politik dan budaya, terlebih oleh Buzzer pemilik akun fake.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa kemampuan publik untuk mengenali dan menolak kekeliruan ini menjadi penting demi menjaga kualitas wacana dan literasi kritis demi menjaga kualitas dalam ruang dialog publik hari ini. Namun, di sisi lain Thomas Nilsen dan Judy Hoover, juga menggambarkan bahwa pentingnya “ethos” dan “logos” dalam berargumen, mereka melihat jikalau, mengabaikan argumen demi menyerang pembicara adalah cara tercepat untuk merusak ethos sendiri.

Harusnya, sebagai orang yang masih melek terhadap cara bernalar, kita tidak hanya bertanggung jawab untuk menghindari “ad hominem”, tetapi juga untuk menjelaskan kepada orang lain agar memahami perbedaannya. Kritik terhadap pendapat seseorang harus difokuskan pada klaim, bukti, dan logika di baliknya, bukan pada latar belakang pribadi si pembicara. Hal ini bukan berarti kita menolak pentingnya konteks sosial dan etika dari seorang komunikator, tetapi bahwa dalam kerangka berpikir logis, kualitas argumen lah yang harus diuji, bukan kualitas manusianya, ini harus dipisahkan.

Melalui cara dengan upaya mengenali dan menolak kekeliruan “ad hominem”, kita sedang menjaga warisan rasionalitas publik dan kualitas dialog dalam masyarakat yang hobi bercakap-cakap satu antra lain ini. Dan kita harus mulai menyadari bahwa era hari ini di mana suara begitu banyak, namun akal sehat begitu sering dibungkam oleh kebisingan emosi, memelihara kejernihan berpikir adalah bentuk tanggung jawab intelektual.

Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi.

Baca Juga

Langgam.id - Satpol PP Kota Padang mengamankan sepasang remaja yang diduga bermuat asusila atau mesum di ruang publik.
Satpol PP Padang Amankan Sepasang Remaja yang Diduga Mesum di Ruang Publik
Berita Padang - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Satpol PP menindak setiap warga yang gunakan ruang publik tidak pada tempatnya.
Satpol PP Padang Akan Tindak Warga yang Gunakan Ruang Publik Sembarangan
Universitas terbaik sumbar
Mundurnya Calon Dosen Kami
Kapolda Sumbar Irjen Pol Suharyono menyebutkan bahwa angka kecelakaan lalu lintas (lalin) menurun sepanjang tahun 2024. Kendati demikian, untuk jumlah korban dan kerugian justru
Yang Blong Bukan Cuma Remnya
UIN Imam Bonjol Padang berhasil meraih predikat sebagai salah satu kampus keagamaan Islam terbaik di Indonesia. Berdasarkan sistem admin
Sungai Bangek di Tengah Riuh Mahasiswa
act palestina
Saat Dunia Ramai Soal Gaza, Apa yang Bisa Aku Lakukan dari Kamar Kos?