Syekh Muhammad Saad: Ulama Besar Mungka, Mendebat Syekh Ahmad Khatib Lewat Buku

Syekh Muhammad Saad: Ulama Besar Mungka, Mendebat Syekh Ahmad Khatib Lewat Buku

Makam Syekh Muhammad Saad Mungka (Foto: Apria Putra/ surautuo.blogspot.com)

Langgam.id - Syekh Muhammad Saad Al-Khalidi adalah salah satu ulama yang mewarnai dinamika pemikiran Islam di Minangkabau pada abad ke-19 dan 20. Ulama besar ini lebih dikenal dengan panggilan Syekh Saad Mungka.

M. Sanusi Latief, penulis profil beliau dalam Buku "Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya" (2001) menulis, Syekh Saad Mungka lahir di Koto Tuo, Nagari Mungka, Kabupaten Limapuluh Kota pada 1857 M.

Di masa mudanya, Syekh Saad belajar agama pada Haji Abu Bakar di Tabing Pulai dan Syekh Muhammad Jamil Tungka. Dosen IAIN Bukittinggi Apria Putra dalam artikelnya di situs tarbiyahislamiyah.id menulis, Syekh Saad juga sempat belajar pada Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandih.

Menurut Sanusi, Syeikh Saad Mungka pertama kali berangkat ke Mekkah pada 1874. Ia kemudian bermukim di sana selama 26 tahun setelah berguru pada sejumlah ulama dari Mekkah, Madinah, Yaman dan Mesir.

"Di Tanah suci beliau sempat menimba ilmu kepada ulama-ulama terkemuka seumpama Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Hasbullah al- Makki dan Syekh Ahmad bin Zainuddin al-Fatani. Beliau dikabarkan juga pernah berguru kepada Mufti al-‘Allamah az-Zawawi, guru Sayyid Usman Betawi yang masyhur," tulis Apria Putra.

Di Tanah Suci, Syekh Mungka juga disebut bertemu dengan sejumlah ulama tarekat yang memiliki reputasi, seperti Syekh Abdul Karim Banten (Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah), Syekh Abdul ‘Azhim Maduri (Tarikat Naqsyabandiyah Muzhariyah) dan Syekh Abdul Qadir al-Fatani (Tarikat Syathariyah).

Setelah pulang ke kampung halaman, Syekh Mungka mengajar di Surau Baru, sebuah surau bertingkat dua yang dibangunkan masyarakat untuknya. Muridnya datang dari berbagai tempat. "Lantai atas (surau) digunakan untuk Shalat Jumat, sedangkan lantai bawah untuk pengajian," tulis Sanusi.

Karena banyaknya beliau dikunjungi berbagai ulama, Syekh Saad, menurut Apria, digelari sebagai Syaikhul Masyaikh (guru besar). "Lebih dari itu beliau merupakan pemuka tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidi terkemuka di pulau perca ini," sebutnya.

Kemasyhuran Syekh Ahmad Mungka, menurutnya, paling tidak terlihat dari bantahan beliau terhadap Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi lewat risalahnya yang begitu besar pengaruhnya di kalangan ulama-ulama masa itu.

Polemik antara Syekh Saad Mungka dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi bermula dari risalah yang ditulis imam besar Masjidil Haram itu. Risalah itu berjudul Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (menyatakan kebohongan orang-orang yang menyerupai orang yang benar).

"Di Padang, tulisan Syekh Ahmad Khatib tersebut dicetak kembali dan tersebar luas di Minangkabau. Risalah tersebut mempertanyakan keabsahan Tarekat Naqsyabandiyah dengan menggunakan sejumlah dalil," tulis Apria.

Kitab yang menyebut berbagai praktik ibadah tarekat Naqsyabandiyah sebagai bid'ah tersebut, kemudian memunculkan kehebohan di Minangkabau, sebagai salah satu pusat tarekat pada saat itu.

Syekh Saad Mungka membantah pendapat Syekh Ahmad Khatib dengan menulis buku pula, berjudul "Irgham Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithathal Washilin" (meremukkan hidung penantang, yaitu mereka yang mengingkari rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah). Kitab ini kemudian dikirim ke Mekkah lewat jamah haji.

"Syekh Sa’ad menjelaskan bahwa tarekat Naqsyabandiyah asalnya dari syara’ berdasarkan dalil-dalil yang sharih dan yang tersirat... ilmu tarekat ini ialah ilmu shudur (hati) bukan ilmu suthur (yang tersurat dalam kertas)," tulis Apria.

Polemik belum berhenti. Pada 1907, Syekh Ahmad Khatib membantah dalil Syekh Saad Mungka dalam kitab berjudul "al-Ayatul Bayyinat fi Izalati Khurafat Ba’dhil Muta’assibin" (bukti-bukti yang nyata untuk menghilangkan khurafat sebahagian orang-orang yang fanatik).

Kitab itu dibantah lagi oleh Syekh Saad Mungka dengan risalah berjudul "Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam" (peringatan bagi orang yang awam akan tipuan sebahagian orang-orang).

"Dalam kedua bukunya itu, terlihat keterampilan Syekh Mungka dalam berdebat dan berpolemik lewat tulisannya yang tajam, kritis tetapi juga kocak," tulis Sanusi.

Perdebatan kedua ulama ini, kemudian memunculkan polemik yang cukup panjang, antara ulama "kaum muda" dan "kaum tua". Kaum muda adalah para ulama pembaharu yang rata-rata adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangakabawi. Sementara, ulama kaum tua adalah yang dekat dengan kalangan tarekat. Perbedaan pendapat para ulama (kilafiyah) tersebut antara lain terkait soal-soal fiqih.

Bersama sejumlah ulama "kaum tua" Syekh Saad Mungka kemudian ikut memelopori berdirinya organisasi "Ittihad Ulama Sumatera" di Bukittinggi pada 1912. Sedangkan ulama kaum muda mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang pada 1920.

Di luar polemik melalui buku, hubungan Syekh Saad Mungka dan Syekh Ahmad Khatib tak ada persoalan, Menurut Apria, setelah perdebatan tersebut Syekh Saad sempat bertemu dengan Syekh Ahmad Khatib dalam satu acara jamuan makan di Mekkah.

Mengutip keterangan Syekh Arifin Batu Hampar yang merupakan murid Syekh Ahmad Khatib, menurut Apria, Imam Besar Masjidil Haram tersebut mempersilahkan Syekh Saad duduk di sampingnya. "Setelah usai makan minum, Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Mungka tampak berbicara panjang lebar dalam suasana ramah-tamah. Seakan-akan di antara beliau berdua tidak pernah terjadi perdebatan sengit lewat kitab-kitabnya," tulisnya.

Syekh Saad Mungka wafat pada 1922 di Mungka. Ia dimakamkan di samping Masjid Surau Baru. Setelah wafat, ia digantikan putranya Syekh Muhammad Jamil yang juga memberikan pelajaran agama dan tarekat di Surau Baru. Di sini pula, ia kemudian mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, setelah Perti berdiri.

Polemik ulama di Minangkabau, lambat laun kemudian mereda. Kekompakan tanpa melihat organisasi dan mazhab, terjadi pada 1941 saat pertemuan ulama dan pemimpin Islam di Padang yang menentang Ordonansi Sekolah Liar dari Pemerintah Hindia Belanda. Di zaman Jepang, persatuan para ulama di Sumatra Barat terwujud dengan terbentuklah Majelis Islam Tinggi (MIT). (HM)

Baca Juga

Debat publik pertama calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Limapuluh Kota tahun 2024 berlangsung di Gedung Lubuak Simato Convention Center
Debat Publik Calon Bupati Limapuluh Kota Sigi Kepentingan Negara dan Masyarakat Adat yang Sering Berbenturan
M. FAJAR RILLAH VESKY
Kado Mahkamah Agung untuk DPRD: Dari Lumpsump Kembali  At Cost
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
Ramly Syarif Dt. Gindak Simano, warga Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat (Sumbar) kecewa dan
Truk Dirampas Debt Collector Tanpa Prosedur, Warga Limapuluh Kota Lapor Polisi
Aku berjalan kaki sepanjang jalan Koto Gadang, Nagari Maek, suatu pagi ketika udara terasa sejuk di kulit dan wajah Bukik Posuak masih
Rumah Gadang Terakhir di Maek: Sepasang Tingkap Menanti Anak-anak Pulang
Bupati Limapuluh Kota Salurkan Bantuan Rp100 Juta untuk Korban Galodo Tanah Datar
Bupati Limapuluh Kota Salurkan Bantuan Rp100 Juta untuk Korban Galodo Tanah Datar