Langgam.id - "Magma" yang diproduksi di Bandung, Jawa Barat merupakan salah satu merek produk pakaian yang cukup terkenal di Indonesia. Selain mengisi berbagai distro pakaian, produk ini menyebar ke seluruh wilayah Tanah Air melalui pemasaran online yang masif.
Pemilik merek pakaian ini adalah Adrilsyah Adnan, putra kelahiran Nagari Magek, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Pilihan nama magma sendiri yang dalam kamus Bahasa Indonesia berarti lelehan batu yang panas, punya makna tersendiri untuk produk Adril.
Magma, menurut ceritanya, merupakan akronim dari "Marabuo Gatah Magek". Ini merupakan kampung asal Adril, Marabuo, Jorong Gatah, Nagari Magek yang terletak di Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam, tak jauh dari Bukittinggi.
Mengusung Magma dan tiga merek lainnya, Adrilsyah menjadi salah satu produsen dalam negeri yang terbilang sukses. Ia memproduksi pakaian dengan desain sendiri sejak dari topi, kaos, kemeja, celana, jaket dan tas, khusus untuk anak muda.
Dengan produksi puluhan ribu pakaian perbulan, ia mengisi pasar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Capaian tersebut adalah hasil kerja keras dan kreativitas. Adrilsyah meraihnya dengan tidak mudah, dari modal awal hanya Rp150 ribu pada 1998.
Usahanya bermula saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun itu. Saat itu, Adrilsyah baru saja tamat dari sekolah kedinasan PT. Pindad. Ia masuk ke sekolah tersebut setelah gagal masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1995, selepas tamat dari SMA 1 Tilatang Kamang, Agam.
Semula, seluruh mahasiswa yang menamatkan sekolah kedinasan di bawah PT. Pindad akan bekerja di perusahaan industri pertahanan nasional tersebut. Namun, akibat krisis ekonomi pada 1998, PT. Pindad malah mengurangi karyawan. Adrilsyah yang tamat sekolah kedinasan pada tahun itu, jelas tak bisa bekerja di PT. Pindad seperti rencana semula.
Tentu saja Adril kecewa. Ia kemudian mencoba melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan rekayasa industri. Hasilnya, nihil. Tak ada lowongan untuk bidang keahliannya sebagai "tools maker".
Selama tiga bulan, ia mencoba untuk memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan. Adril kemudian memutuskan banting stir berdagang. "Saya berdagang karena tidak sengaja," kata Adril, saat berbincang dengan Langgam.id di Bandung, Februari 2021 lalu.
Ia kemudian memutuskan berjualan sweater rajut ke Jakarta. Ia membeli di Bandung dan menjualnya di Jakarta. Dari Jakarta, ia membawa topi dan menjualnya di Bandung. "Ternyata sambutannya lumayan bagus," tutur Adril.
Pada akhir 1990-an itu, menurutnya, fashion dengan memakai topi sedang tren. Topi jadi bagian penting dari fashion. "Saat itu juga belum terlalu banyak gaya rambut. Masih banyak yang berambut gondrong dan memakai topi," katanya.
Tak puas dengan model yang tersedia, Adril Syah akhirnya memutuskan membuat merancang topi sendiri. Dengan modal awal Rp150 ribu, ia kemudian mendesain rancangan topi dan kemudian memesan pada penjahit. "Ketiadaan memicu kreativitas," ujarnya.
Adril jadi lebih banyak mengamati perkembangan mode yang digemari anak muda. Berbagai hal jadi inspirasinya. Meningkatnya penggemar skateboard hingga sinetron yang sedang digemari di televisi, menjadi sumber inspirasinya. Penjualan pun meningkat. Topi rancangannya laris.
Namun, seiring berkembangnya usaha, Adril mendapat kabar dari kampung halaman, ayahnya Adnan di kampung halaman mulai terganggu kesehatan. Tak ada yang merawat sang ayah, karena Ibundanya Jusmanidar sudah almarhumah sejak Adril berusia 9 tahun.
Ia kemudian membawa sang ayah ke Bandung. "Ayah tinggal kos dengan saya. Tidur di antara topi-topi, barang dagangan saya," kata Adri, anak keempat dari enam bersaudara itu.
Pada awal 2000, Adril memutuskan membuka gerai di Parahyangan Plaza. "Saat itu, di sana masih sepi. Saya termasuk yang awal membuka gerai di sana," tuturnya.
Penjualan pun berkembang. Namun, kondisi kesehatan sang ayah memburuk setelah terkena stroke pada September 2000. Konsentrasi Adril terpecah. Ia memutuskan, untuk mengurus ayahanda. Gerai ia percayakan pada seorang karyawan, sementara Adril merawat dan mendampingi sang ayah di rumah sakit, hingga kemudian ayahandanya meninggal pada Desember 2000.
"(Almarhum) ayah dimakamkan di Bandung. Setelah itu, saya kembali berkonsentrasi pada usaha," ujarnya.
Setelah itu, usahanya berkembang makin pesat. Adril percaya, selain upayanya untuk kreatif mengembangkan desain, usahanya berkembang karena doa orang tua. "Setelah itu, malah tidak disangka, pemesan dan pembeli makin ramai. Saya percaya ini berkat doa orang tua saya," katanya.
Tak hanya topi, Adril kemudian mengembangkan produk pada sweater, kaos, jaket, celana dan kemeja pada 2001. Adril tak mendirikan konveksi untuk memproduksi, ia tetap menempuh jalan kerja sama.
"Saya konsentrasi membuat disain dan penjualan saja. Untuk memproduksi, saya bekerja sama dengan kawan yang memang pandai menjahit. Tempatnya, kita pakai rumah seorang kawan lainnya yang memang luas. Biar berbagi, rezeki harus dinikmati bersama," tuturnya.
Sejak saat itu, bisnis pakaian Adril makin berkembang hingga kini. Sesuai perkembangan harga, topi kini ia banderol sekitar Rp100 ribu dan kaus Rp125 ribu. Juga terdapat produk kemeja, celana, jaket, sandal dan tas. Seluruhnya dengan sasaran pasar anak muda.
Pasarnya hampir di seluruh kota Indonesia. Pada 2005, "Magma" ia luncurkan sebagai merek andalan. "Memakai merek itu, jadi semangat untuk saya, untuk bisa berarti bagi kampung halaman," katanya.
Setelah menuai hasil dari kerja keras dan kreativitas selama lebih 20 tahun hingga kini, Adrilsyah memang lebih punya waktu untuk mengurus kampung halamannya, Nagari Magek.
Perantau asal Magek sepakat mengangkatnya sebagai ketua harian "Magek Saondoh". Ini merupakan perkumpulan perantau Nagari Magek yang tersebari di berbagai wilayah Indonesia dan luar negeri, seperti di Malaysia, Jepang, Amerika dan Eropa.
Kerja keras, kreativitas, kerja sama, kecintaan pada kampung halaman serta ibadah dan doa orang tua, menurutnya, menjadi kunci semangat untuk memperjuangkan kehidupan di perantauan. (HM)