Anjing Mati

Peristiwa ini terjadi saat kecilku di Tanjung Barulak, sebuah nagari yg terletak di ujung utara Danau Singkarak. Aku tidak ingat pada umur berapa persisnya. Yang jelas, saat itu aku masih belum sekolah.

Badanku masih bisa masuk di antara kaki kursi rotan yg lebarnya kurang dari 50 cm. Kutaksir umurku belum 3 tahun.

Malam itu aku terbangun mendengar ada gedebag-gedebug di kamar tamu, yg letaknya persis di depan kamar tidur. Bapak dan Ibu yang seranjang denganku tidak mau kubangunkan. Bapak kelihatannya masih letih.

Paginya Bapak kudengar berangkat ke Padang. Aku tidak paham, mengapa tiba-tiba dia sudah ada di tempat tidur. Kapan pulangnya? Ibu tidak bergeming membelakangiku.

Rasa ingin tahu bercampur ngeri mendorongku turun dari tempat tidur. Lampu togok di meja kubesarkan, tapi anehnya malah makin redup. Pintu kamar kubuka perlahan. Dan tiba-tiba satu tangan berbulu menarikku keluar.

Dalam remang cahaya lampu togok, kulihat 5-6 makhluk berbulu coklat dan bertaring menyambutku. Mereka menyetetku ke tengah. Dan ritual seram itu dimulailah. Mereka tidak hentinya menari dan meneriakkan kata-kata itu, "Anjing Mati". Tidak kulihat seekor anjing pun di sana.

Aku teriak sekuat tenaga. Tapi bapak dan Ibu tidak mendengar. Aku pun lemas. Menangis tidak bisa. Dalam keputus-asaan akupun ikut irama mereka, menari dan menyanyikan "anjing mati".

Tiba-tiba, aku sudah berada dalam baskom berisi air kembang. Tuo, ayah dari Ibu, terlihat komat-kamit sambil sekali-sekali menyemburkan air ramuan dari mulutnya. Bapak, ibu dan Nenek berdiri khawatir. Bau menyan, bawang putih dan kembang mawar membuatku pusing. Setelah itu gelap gulita.

Tidak ada satu orang pun yg menjelaskan kejadian ini padaku setelah itu. Aku sendiri juga tidak bercerita. Takut. Saat kutanya beberapa tahun kemudian, bahkan, Bapak dan Ibu pun tidak ingat kalau kejadian itu ada.

Bahwa itu hanya mimpi dan halusinasi, sangat mungkin.

Tapi, kok sampai mandi air kembang begitu. Itu artinya aku dalam keadaan sakit, dan tidak ada obat yang manjur saat itu, kecuali disembur dan mandi kembang. Cuma sakit apa?

Begitu covid-19 melanda dunia, terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan waktu itu aku terserang wabah. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah diserang wabah kolera mematikan tahun 60-an. Dari tante, adik Bapak, aku dapat informasi, saat kecil aku sering diare dan BAB ku "menembak" ke mana-mana. Persis seperti ciri kolera.

Bila itu benar, aku sangat bersyukur bisa bertahan hidup. Seperti covid-19 sekarang, tidak ada obat yg manjur saat itu, kecuali daya tahan tubuh serta ikhtiar dan do'a Bapak, Ibu, Tuo dan Nenek.

Saat ini, rumah masa kecilku itu masih ada. Teman-teman berbuluku mungkin sudah tidak di sana. Tapi aku masih takut tidur sendirian.

Paris, 5 April 2021

*Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO

Baca Juga

Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Nofel Nofiadri
Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Langgam.id - Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia.
Bahasa Minang dalam Tafsir Ulang Keminangkabauan
Nofel Nofiadri
Tafsir Ulang Keminangkabauan