Langgam.id – Jelang bulan Ramadan, beberapa daerah di Sumatra Barat (Sumbar) biasanya memiliki tradisi balimaunya masing-masing. Hanya saja, nama dan pelaksanaannya akan berbeda di tiap daerah.
Salah satu daerah yang memiliki tradisi balimau jelang Ramadan adalah Nagari Inderapura di Kabupaten Pesisir Selatan.
Jika biasanya tradisi ini dilakukan dengan kegiatan mandi-mandi di sungai, lain halnya dengan tradisi balimau di Inderapura. Dalam
upacara adat ini sama sekali tidak ada kegiatan mandi bersama di tempat pemandian atau sungai.
Upacara adat balimau di Inderapura diawali dengan mengumpulkan "limau" dari Ninik Mamak Nan 20 di Masjid Agung Inderapura. Ramuan limau terdiri dari air bercampur potongan jeruk nipis, daun pandan, beragam bunga, bedak dan juga minyak wangi.
Setelah prosesi shalawat dan upacara di masjid, ramuan limau kemudian diarak ke menuju lapangan di pinggiran Muaro Sakai, sekitar dua kilometer dari masjid.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat Indrapura dan nagari tetangga ditambah tamu dan undangan beramai-ramai mengarak limau di jalan. Tak hanya itu, arak-arakan juga diiringi lantunan shalawat dengan rebana, suling dan gendang kulit.
Baca juga: Tradisi Makan Dekat Air Sambut Ramadan di Tanah Datar
Ninik Mamak Nan 20, pejabat pemerintahan, dan masyarakat selanjutnya di lapangan pinggir Muaro Sakai. Kemudian ramuan limau diletakkan berjejer di atas meja panjang di tengah lapangan.
Setelah sambutan dari berbagai pihak, puncak acara balimau pun dimulai. Didahului oleh petinggi adat, para pejabat dan masyarakat. Secara bergiliran, masing-masing mengusapkan ramuan limau yang berjejer di atas meja di kening dan kepala.
Setelah selesai, semua saling bersalaman dan bermaaf-maafan, sebagai kewajiban jelang masuk Ramadan. Tak ada prosesi mandi. Tak ada berendam bersama di pemandian. Mandi dilakukan di rumah masing-masing usai balimau.
Pewaris Kerajaan Kesultanan Indrapura Sutan Heriyardi menyebutkan, tradisi balimau Inderapura merupakan adat para raja dan sultan sejak masa jaya Kerajaan Kesultanan Indrapura pada abad ke-17.
“Tradisi ini sudah ada sejak 1604, pada masa Tuanku Berdarah Putih gelar Sultan Gagar Alamsyah,” katanya dalam Film Dokumenter Kampuang Ramadan oleh Dispar Sumbar
Ia menyebut, makna prosesi balimau tersebut adalah mensucikan diri sebelum puasa. Mensucikan diri itu berikutnya juga terwujud dengan dengan saling bermaafan setelah prosesi balimau.
“Selain juga untuk menyambung silaturahim, karena pada momen ini pimpinan adat dan masyarakat berkumpul bersama,” ujar Sutan Heriyardi yang juga Pucuk Adat Melayu Tinggi Kampung Dalam, itu.(*/Ela)