Langgam.id - Perjalanan waktu, membawa pengaruh pada perubahan arsitektur masjid di Minangkabau. Budaya, ketersediaan bahan dan semangat yang hadir saat masjid dibangun tergambar pada setiap periode masa, ketika struktur didirikan.
Sudarman dalam buku 'Arsitektur Masjid di Minangkabau dari Masa ke Masa' (2014) mengelompokkan gaya arsitektur masjid di Minangkabau ke dalam tiga periode. Yakni, klasik, transisi dan modern.
Pediode klasik adalah masa untuk masjid yang dibangun sebelum abad ke-20. Sedangkan, periode transisi untuk yang dibangun sejak awal hingga pertengahan abad ke-20. Sementara, periode modern adalah masjid yang dibangun setelah pertengahan abad ke-20.
Masjid Rao Rao bisa dikategorikan ke dalam masa periode kedua atau transisi, melihat tahun bangunan ini didirikan. Searah dengan namanya, masjid ini terletak di Jorong Rao Rao, Nagari Rao Rao, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar).
Berada persis di pinggir jalan raya yang menghubungkan Batusangkar dengan Bukittinggi, Masjid Rao Rao berdiri pada lahan seluas 20x20 atau 400 meterpersegi dengan luas bangunan 16x16 meter atau 256 meter persegi. sementara itu, tinggi bangunan masjid adalah 28 meter.
Menurut Sudarman, masjid ini didirikan pada 1918, dipelopori oleh Abdurrahman Dt. Maharajo Indo. Akan tetapi cikal bakal berdirinya masjid ini sudah ada sejak tahun 1907. Pada tahun itu, sudah berdiri sebuah masjid yang diberi nama Masjid Usang, terletak di daerah Koto Kaciak dan jauh dari pemukiman. Kondisi ini kemudian membuat seluruh pemuka adat dan agama mengadakan rapat untuk membicarakan kemungkinan dibangunnya masjid baru.
Dt. Maharajo Indo yang merupakan Penghulu Kepala Rao Rao dari suku Koto Piliang mengusulkan agar masjid didirikan dekat dengan pusat nagari tepatnya di Tobek Sikobua.
Selain Dt. Maharajo Indo, beberapa tokoh lain juga ikut berperan dalam pendirian masjid ini. Seperti, Kajo Inan Parmato Lelo yang saat itu menjabat sebagai sebagai Lareh Rao Rao. Bisa disebut, pembangunan Masjid Rao Rao merupakan kesepakatan dari seluruh perangkat adat dan nagari yang ada saat itu.
Karena itu, saat semangat gotong royong kental mewarnai episode pembangunannya. Bukan saja warga yang ada di kampung, tetapi juga perantau asal Rao-Rao yang menyebar ke berbagai wilayah, hingga Malaysia dan Singapura. Para perantau ini juga ikut terlibat dalam mengumpulkan dana guna membiayai pembangunan masjid.
Masjid selesai dibangun pada tahun 1918 dengan arsitektur yang sifatnya vernekular. Dibangun dengan bahan tembok yang tebal, masjid ini berbentuk bujur sangkar. Atapnya bersusun tiga dengan bagian atas difungsikan sebagai menara yang mengadopsi bentuk gonjong rumah gadang.
Layaknya masjid yang dibangun di periode transisi, unsur yang berasal dari periode modern dan periode klasik bercampur dalam satu bangunan. Dari periode klasik, ada pengaruh gaya khas arsitektur Minangkabau dengan atap yang berbentuk undakan serta ornamen ukiran. Sementara, juga pengaruh kebudayaan luar yang berakulturasi dengan langgam lokal.
Secara garis besar, bangunan masjid sudah tidak menggunakan kayu sebagai bahan utama. Kayu hanya dipakai di bagian atas bangunan masjid, tepatnya rangka atap hingga menara. Sementara, bagian badan bangunan sudah mengunakan bata maupun kapur atau beton sebagai bahan konstruksi.
Makhfuz Idris Datuak Rajo Nan Paik, tokoh masyarakat Nagari Rao Rao yang diWawancarai pada Januari 2018 menyebutkan, pada bagian atap gonjong tersebut terdapat kemuncak dengan ornamen bulan bintang.
Hal tersebut merupakan wujud dari mamangan 'adat basisampiang, syarak batilanjang'. Yang berarti, penyampaian adat dengan kiasan, sementara agama harus disampaikan secara jelas tanpa kias. Hal tersebut diwujudkan dengan empat buah gonjong sebagai perlambangan adat yang mengelilingi ornamen bulan bintang yang menjadi perlambangan syarak atau agama Islam.
Pada bagian depan masjid, ada tambahan atap gabel dengan hiasan parapet. Gabel ialah atap pelana yang di bagian depannya terdapat dinding. Sementara, parapet merupakan tembok bergerigi di tepi atap.
Satu gabel berbentuk mahkota terletak di bagian tengah. Sementara dua lainnya adalah gabel bertingkat yang terletak di sisi kiri dan kanan gabel berbentuk mahkota itu.
Gabel merupakan salah satu ciri bangunan Belanda. Pada beberapa bagunan Belanda yang tersebar di kawasan Hindia Belanda gabel dipasang pada bagian depan bangunan dengan berbagai bentuk. Gabel terbuat dari bahan beton yang berfungsi untuk menahan angin dan bagian belakangnya disambung dengan atap.
Selain itu ornamen kemuncak yang terdapat pada sisi kiri dan kanan bangunan merupakan salah satu bentuk pengaruh dari kebudayaan dan arsitektur Cina.
Menara masjid ini berada di atas atap masjid. Selain menara yang berada di atas puncak masjid, pada masjid ini juga terdapat menara lain yang lebih rendah. Posisinya berada persis di atas serambi, tepatnya di bagian timur atap.
Atap menara kedua ini mengadopsi model India. Gaya arsitektur ini ialah beratap kubah kecil berbentuk bawang dengan tritisan berdenah segi delapan.
Pada bagian bawah, terdapat 41 tiang dari bahan batu atau beton. Dari 41 buah tiang tersebut, empat diantaranya adalah tiang besar yang menjadi penyangga tiang utama atau biasa disebut dengan soko guru. Sementara tiang macu masjid ini berada pada bagian atap atau loteng hinga ke puncak.
Setidaknya ada akulturasi lima budaya yang mempengaruhi arsitektur Masjid Rao Rao. Mulai dari arsitektur tradisional, Hindu Budha, Eropa, Islam dan Cina.
Gaya arsitektur lokal pada Masjid Rao Rao dapat dilihat pada bentuk atap masjid yang memiliki gonjong serupa rumah gadang. Selain itu beberapa pemaknaan terhadap bangunan juga berkaitan erat dengan adat setempat, seperti adanya pemaknaan terhadap keberadaan suku hingga aturan adat.
Pengaruh gaya arsitektur Hindu Budha dapat dilihat dari atap masjid. Dharmawati Dewi Pamungkas dalam tesisnya 'Seni Rupa Islam Pada Gaya Arsitektur dan Interior Masjid Agung' (UGM, 1996) menyebutkan, atap yang bertingkat merupakan merupakan pengaruh dari kebudayaan Hindu Budha.
Sementara itu gaya arsitektur Islam terlihat dari lengkungan yang menghubungkan tiang-tiang di bagian luar masjid. lengkungan ini merupakan gaya arsitektur Islam yang telah digunakan pada bangunan Islam di kawasan Arab sejak abad ke-8 Masehi.
Selanjutnya, penggunaan bahan berupa beton atau semen, marmer lantai, pintu berukuran besar merupakan pengaruh yang diberikan oleh kebudayaan Eropa.
Kebudayaan Cina terlihat pada penguanaan keramik mimbar. Mimbar masjid hampir keseluruhan permukaannya dilapisi dengan kaca keramik. Pelapisan tersebut mengunakan kaca keramik yang sudah pecah dan ditempelkan dengan jarak yang cukup rapat. Penggunaan keramik dengan warna-warninya yang mencolok pada mimbar, merupakan pengaruh gaya dari Cina.
Arsitektur Masjid Rao Rao menjadi bukti kekayaan referensi para pendiri dan perancangnya. Sekaligus, selera yang dinamis dan terbuka pada ragam budaya dunia. Meski, tetap tak meninggalkan dasar arsitektur lokal Minangkabau. Sebuah akulturasi yang padu. (Syahrul Rahmat/HM)
Artikel ini disarikan dari tesis Syahrul Rahmat, berjudul 'Masjid Rao Rao Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat (Akulturasi dalam Arsitektur Masjid Awal Abad XX), Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang, 2018.