Ketika Maradona mengangkat Piala Dunia 1986, saya tahu itulah cinta pertama saya pada sepak bola.
Yang saya tonton hanyalah sepak bola. Jika ditanya, siapakah pemain favorit atau klub favorit, saya menggeleng. Toh, ketika Maradona di Napoli, saya tidak terlalu menyukai keduanya. Waktu itu saya tergila-gila dengan AC Milan. Mantan Tukang Sol Sepatu bernama Arrigo Sacchi membuat wajah bola Negeri Pizza berubah dengan ‘membincang ruang’ di Sistem Grendel Italia.
Jika ingin digeser; sedikit, ya, sedikiiit, hanya Timnas Indonesia dan PSP Padang yang selalu ingin saya saksikan. Namun, tak pernah terwujud sepenuhnya seperti para fans yang mendatangi dan menongkrongi setiap pertandingan tim atau klub favoritnya. Timnas kadang-kadang main saat saya pentas. PSP Padang, sejak bertahun-tahun lalu, wallahualam bishawab keberadaaanya.
Cinta bisa mengubah fokus. Sesuatu yang sebelumnya biasa saja, bisa berubah luar biasa karenanya. Sesuatu yang sepele, berubah jadi Pele saat memainkan bola. Dan itu tiba-tiba saja. Seketika.
Kalaupun dicari alasan kenapa baru 1986, karena 1982 adalah momen buruk sepak bola. Cattenacio terlalu meraja. Saya tidak suka. Padahal sebagai orang yang mempelajari silek (silat), mestinya saya mencintai keadaan diserang terlebih dahulu. Itu pun alasan post-factum. Setelah bertahun-tahun saya mempelajari bola dengan otodidak. Kenapa pula bukan 1978? Waktu itu umur saya baru 4 tahun.
Di 1986, dalam rongga mata saya, baru saja melihat orang meliuk-liuk melewati lima orang dan mencetak gol. Gol sejenis disalintempel pesepakbola selanjutnya. Akan tetapi tak pernah seindah yang dilakukan ‘Si Boncel’.
Momen teknis yang diubah menjadi artistik. Seluruh kemampuan sepak bola menemukan tempo paling baik; waktu di lapangan dan aktornya. Momen penghasil gempa setara kalau tidaklah melebihi, yang diterima Meksiko waktu itu.
Gempa jadi gempar. Karena Maradona menciptakannya dua kali. Sebelum itu ia menciptakan Gol ‘Tangan Tuhan’. Buah kelicinan (atau kelicikan?) dan terbatasnya pandangan manusia. Gol ini malah digadang-gadang lebih terkenal dibanding yang pertama. Waktu itu, saya melihat gol itu dengan pertanyaan, “Bagaimana seorang pesepakbola bertinggi 165 cm mengalahkan kejangkungan Peter Shilton dalam duel udara?”
Dua momen itu mengubah wajah dunia. Sepak bola tak hanya sekadar permainan tapi juga kesembuhan. Atau level permainan yang dibawa sepakbola selama ini mengalami peningkatan karena ulah dua momen itu. Sepak bola menjadi permainan-hiburan-dan lain-lain. Sebelum dan sesudah itu, kapan sepakbola dalam helat Piala Dunia mendapat dan lain-lain sebesar Meksiko?
Masyarakat Meksiko tersembuhkan dari duka lara lanun. Warga tak hanya dihibur, juga di mediasi oleh seorang menuju Keilahian dalam momen duel udara itu, David vs Goliath. Tak heran, jika sesudah helat ada aliran agama bernama Maradona.
Momen tertanam jadi memori. Jadi DNA. Diproduksi terus-menerus sebagai sebuah kebenaran atau jualan. Siapa peduli.
Cinta pada Maradona jadi tiba-tiba. Seketika. Mereka menyebut Maradona, ‘Dewa’. entah orang Meksiko atau Argentina.
Begitu juga setelah saya menerjuni dunia pararel sepakbola, kesenian. Banyak istilah yang diproduksi dari kesenian menjadi bahasa sepak bola. Memetik Bola di udara, pesepak bola disebut aktor, pelatihnya dibilang sutradara, orkestrasi permainan, spektakuler, dramatisnya sebuah permainan, Thomas Mueller menyebut dirinya Si Penafsir Ruang (istilah yang diambilnya dari Desain Grafis), dll. Satu kamus akan tercipta kalau ada yang rajin mengumpulkan.
Tentu saya tergelitik untuk ‘meminjam’ pula sepakbola ke dalam seni. Saya membaca bagaimana sebelum final 1998 ada orkestrasi berbau Brazil-Prancis. Atau mural, patung, kerajinan tangan, dll.
Sewaktu Barcelona sedang jaya-jayanya dengan Tiki-Taka, saya mempelajari video operan-operan pemain Blaugrana di youtube. Bagaimana sebuah gol diciptakan setelah melewati puluhan operan atau adegan beberapa menit tak sekalipun lawan Barca bisa mengambil bola dari kaki Messi dkk.
Dalam proses ‘Dua Senja’ (2014), pergerakan pemain Barca, saya ubah menjadi blocking aktor. Ternyata berhasil. Saya kaget sendiri. Walau cuma satu adegan. Sayang, adegan itu hilang karena ada dialog yang dipotong dan aktor yang berhenti latihan. Komposisi diubah. Tak ada lagi Tiki-Taka dalam adegan itu. Saya sempat stres. Pemain sempat bingung, kenapa beberapa kali latihan hanya adegan itu yang diulang. Namun, akhirnya saya menyerah. Tidak mungkin mempertahankan Tiki-Taka di atas panggung karena akan terkena hukum logika dan cita rasa.
Meski begitu, saya tak patah arang pada sepak bola. Seperti Maradona tak pernah lari dari takdir bola yang memeluknya. Sejak menyentuh si kulit bundar pertama kali di Villa Florito, Argentina, ia berada dalam lingkaran bola. Baik atau buruk.
Itu pula yang menjelaskan, kenapa ia terlihat jelas dan tegas hari ini. Maradona tidak memisahkan lapangan hijau dengan dunia di luarnya. Bermain trengginas serta berteman dengan mafia pelabuhan. Berkarir cemerlang sekaligus menghisap narkoba dan pesta liar. Bersorak-sorak kegilaan saat Argentina menang dramatis atas Nigeria di Piala Dunia 2018 sembari mengajung jari tengah pada fans Nigeria. Ia bermain di acara amal agar labanya bisa diserahkan pada rakyat Kuba. Negara yang dianggap hitam oleh Amerika Serikat. Dan Maradona percaya, terlemparnya ia di edisi 1994 di AS adalah konspirasi negara adikuasa itu karena terlalu dekat dengan Fidel Castro.
Ia melakukan semua itu seperti Bryon Butler berkomentar di BBC Radio, tentu tanpa gegap gempita, "Maradona, turns like a little eel and comes away from trouble, little squat man… Comes inside Butcher and leaves him for dead, outside Fenwick and leaves him for dead, and puts the ball away… And that is why Maradona is the greatest player in the world.”
Soal pemain terbaik di dunia, ia sudah tak mempermasalahkan. FIFA sudah membagi dengan Pele. Dalam sebuah pertemuan, keduanya bersayangan serta saling memuji.
Baginya, yang bisa membawa ke-Ilahi-an hanya bola. Begitu pula saya. (*)
*S Metron Masdison (Sutradara Ranah PAC dan Penikmat Sepak Bola)