Hampir setiap tahun, -sejak tahun 1959, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada orang-orang yang berjasa besar terhadap bangsa Indonesia. Dasar penganugerahan itu adalah karena keterlibatannya dalam perjuangan bersenjata, politik atau bidang lain dalam rangka mencapai, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Tahun ini penerima gelar pahlawan nasional adalah Sultan Baabullah (1528-1583), Raja Machmud Sinngirei Rumagesa (1885-1964), Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (1908-1993), Arnold Mononutu (1896-1983), MR. Sutan Muhammad Amin Nasution (1904-1993) dan Raden Mattaher Bin Pangeran Kusen bin Adi (1871-1907).
Selain nama-nama itu, sejak 2016 nama Syekh Sulaiman Ar- Rasuli muncul sebagai salah satu tokoh Islam yang juga diusulkan menjadi pahlawan nasional. Pendiri Perti, -ormas Islam dengan basis massa di Sumatera, itu dianggap layak sebagai pahlawan nasional karena jasa-jasanya terhadap bangsa Indonesia.
Dalam rangka pengusulan sebagai pahlawan nasional itu, beberapa kali seminar telah dilaksanakan. Seminar dengan tema Riwayat dan Perjuangan Sulaiman Arrasuli terakhir dilaksanakan secara daring pada 31 Oktober 2020.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar itu antara lain adalah Prof. Abdul Somad atau lebih populer dengan Ustad Abdul Somad alias UAS, Prof. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, Prof. Alaidin Koto dan beberapa pembicara lain.
Sebagai pembicara pertama, Asvi Warman Adam bercerita mengenai pengalamannya mengikuti banyak seminar terkait dengan pengusulan pahlawan nasional. Dalam kesempatan itu ia mengatakan bahwa calon pahlawan nasional dari Sumatera Barat sebagian ditolak karena keterlibatannya dengan PRRI, -Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia.
PRRI dalam pandangan pemerintah, -TNI, adalah gerakan pemberontakan. Dan pemberontak negara tidak layak dijadikan pahlawan nasional Republik Indonesia. Meski begitu dua tokoh PRRI yakni Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara pernah lolos sebagai pahlawan nasional, masing-masing 2008 dan 2011.
Faktor penting lolosnya dua tokoh PRRI sebagai pahlawan nasional, demikian Asvi Warman, hingga akhirnya disetujui oleh perwakilan tentara adalah karena jasanya dalam mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Natsir melalui mosi integralnya yang dipidatokan di parlemen pada 3 April 1950 dianggap berjasa mempersatukan kembali bangsa Indonesia. Sementara Sjafruddin Prawiranegara dianggap berjasa besar pada Indonesia salah satunya sebagai penyelamat negara kesatuan Indonesia melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Desember 1948-Juli 1949.
Atas jasanya yang besar itu, keduanya dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Lantas bagaimana dengan Syekh Sulaiman Arrasuli yang juga terlibat namanya adanya dalam daftar pelaku PRRI? Keterlibatannya dalam PRRI tentu saja akan menghambat Syekh Sulaiman Arrasuli dianugerahi sebagai gelar pahlawan nasional.
Syekh Sulaiman Arrasuli Dimanfaatkan PRRI
Keterlibatan Syekh Sulaiman Arrasuli dalam PRRI pertama kali diketahui dari adanya nama salah satu pendiri Perti itu dalam surat keputusan PRRI. Syekh Sulaiman Arrasuli terdaftar sebagai anggota Dewan Penasehat.
Di satu kesempatan ia diberi surat pengangkatan sebagai anggota penasehat PRRI dan tidak menolak surat itu karena Gubernur Dt. Rangkayo Basa mengatakan bahwa gerakan PRRI adalah gerakan yang baik-baik saja. Terlebih lagi Gubernur itu terlibat di dalamnya.
Syekh Sulaiman Arrasuli mengakui bahwa ia menerima surat pengangkatan dirinya sebagai dewan penasehat itu namun juga mengatakan bahwa ia tidak pernah dilibatkan dalam rapat-rapat guna mengambil keputusan. Ia hanya dilibatkan dalam acara seremonial, upacara dan resepsi, tidak lebih.
Syekh Sulaiman Arrasuli menulis sebagai berikut;
Setelah timbul gerakan Dewan Banteng, Saya ditunjuk jadi anggota Badan Penasehat dengan memberikan selembar surat (surat pengangkatan) kepada saya. Jabatan dan Surat itu tidak saya tolak sebab saya dapat keterangan dari sdr. Dt. Rangkayo Basa, Gubernur Sumatera Barat sekarang, bahwa gerakan tersebut baik-baik saja, yaitu bertujuan memperjuangkan hak-hak daerah. Apalagi saudara tersebut ikut dalam gerakan Dewan Banteng tersebut.
Ketika suatu kali, Syekh Sulaiman Arrasuli datang menemui Dt. Rangkayo Basa dan bertanya tentang keterlibatannya dalam Dewan Banteng, ia diberitahu bahwa Dewan Banteng berubah haluan. Gerakan yang awalnya merupakan tuntutan hak daerah telah berubah menjadi gerakan politik melawan pemerintah pusat. Sejak saat itu Syekh Sulaiman Arrasuli tidak lagi bersimpati pada PRRI.
Setelah itu anggota partai Masyumi dua kali datang menemui dan menawarinya sebagai menteri agama, Syekh Sulaiman Arrasuli menolak. Ia mulai curiga kenapa ia ditawari sebagai menteri padahal kabinet tidak bubar. Syekh Sulaiman Arrasuli merasa dibohongi oleh PRRI.
Terlepas dari apapun sebab yang melatarinya, satu tahun setelah PRRI diproklamirkan oleh Ahmad Husen, Syekh Sulaiman Arrasuli mengklarifikasi keterlibatan dan memberi dukungan terhadap gerakan PRRI. Syekh Sulaiman Arrasuli juga merasa difitnah telah mengeluarkan fatwa jihad sebagaimana perang sabil untuk melawan pemerintah pusat.
Klarifikasi itu ditulis oleh Syekh Sulaiman Arrasuli pada 5 April 1959 dan disiarkan oleh Majalah Angkatan Darat, terbit Mei 1959. Bantahan itu diberi judul “Syekh Sulaiman Arrasuli Tanjung, Penasehat Perti memberi keterangan tentang kebohongan Gembong-Gembong Pemberontak PRRI”. Penolakan Syekh Sulaiman Arrasuli untuk menjadi menteri dan klarifikasinya di media tentara ini dapat dipahami sebagai bentuk bantahan bahwa ia terlibat dalam PRRI.
Dalam surat bantahan yang diterbitkan secara utuh itu, Syekh Sulaiman Arrasuli bercerita bahwa namanya dicatut belaka sebagai anggota dewan penasehat PRRI dan ia dicegat oleh tentara PRRI lalu dipaksa datang ke Padang untuk sekadar menyaksikan pelantikan menteri-menteri pemerintahan PRRI.
Syekh Sulaiman menceritakan bahwa penculikan dirinya terjadi pada 27 Rajab 1377 H, bertepatan dengan 16 Februari 1958, oleh masyarakat Pariaman dalam rangka peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. Ketika Syekh Sulaiman akan berangkat ke Pariaman dengan mobil jemputannya, datang satu mobil berisi tentara.
Salah seorang tentara bernama H. Mhd. Rusin mengatakan bahwa Ahmad Husen memerintahkan mereka menjemput Inyik Candung untuk sebuah keperluan mulai pukul 7 malam sampai pukul 9. Awalnya Syekh Sulaiman menolak sebab ia harus memenuhi undangan untuk acara perayaan Isra’ dan Mi’raj di Pariaman. Tetapi H. Mhd Rusin memaksa. Acara di Pariaman harus ditunda. Dan Syekh Sulaiman harus ada di Padang sampai pukul 9 malam dan setelah itu boleh pergi ke Pariaman.
Syekh Sulaiman Arrasuli lalu menyerah. Dan mengikuti permintaan itu. Maka mereka berangkat dari Candung lalu ke Bukittinggi dengan membawa serta Syekh Ibrahim Musa Parabek. Sampai di Padang pukul 6 sore dan shalat maghrib di tempat Mohammad Natsir.
Setelah maghrib Syekh Sulaiman Arrasuli dibawa ke Gubernuran. Ia sendiri masih belum mengerti apa yang terjadi. Melihat banyak orang di halaman Gubernuran, ia mengira sedang diadakan perayaan Isra’ dan Mi’raj. Dugaannya salah. Ia dijemput untuk memberi sumpah pada menteri PRRI. Karena perbedaan pendapat antara Dahlan Djambek dengan Ahmad Husen, akhirnya Syekh Sulaiman Arrasuli hanya mendengar dan menyimak acara pelantikan menteri PRRI itu.
Setelah pelantikan itu, tepatnya bulan Mei 1958, beredar fitnah bahwa Syekh Sulaiman Arrasuli menfatwakan bahwa perang tentara daerah melawan tentara pusat dapat disebut sebagai perang sabil. Padahal ia tidak pernah menyampaikan fatwa itu.
Terkait dengan fatwa itu Syekh Sulaiman Arrasuli menulis;
Kalau orang masih bersikeras menuduh saya, beranikah orang itu menunjukkan buktinya, tanggal dan tempat saya berfatwa itu. Kalau dalam surat kabar, dimana dan bila saya diinterviewnya?Beranikah orang itu mengistbatkan sebagai keberanian saya menafikan.
Para pemuka PRRI aganya sadar bahwa Syekh Sulaiman Arrasuli punya nama besar dan sebagai ulama fatwanya didengar oleh masyarakat Sumatera Tengah. Namun adanya keterangan tertulis dari Syekh Sulaiman Arrasuli itu, menjadi jelas bahwa keterlibatannya dalam PRRI bukanlah karena keinginannya sendiri dan dilakukan dengan kesadaran politik tertentu melainkan hanya karena namanya dimanfaatkan sebagai siasat politik belaka oleh penggerak PRRI.
Dengan demikian halangan Syekh Sulaiman Arrasuli untuk menjadi pahlawan nasional karena tersangkut oleh persoalan PRRI dapat dianggap selesai. Semoga.
Muhammad Yusuf el-Badri (Intelektual Muda Perti, Mahasiswa Doktor Islamic Studies UIN Jakarta, Pengkaji Islam dan Kebudayaan di Simak Institute Jakarta)