Langgam.id - Situasi sama dihadapi Semen Padang Football Club (SPFC) musim ini dengan tim 2010/2011; sama-sama kembali dari jurang degradasi. Tapi, hanya itu kesamaan yang terjadi. Selebihnya Syafrianto Rusli menghadapi kondisi yang berbeda dengan tim asuhan Nil Maizar.
Pertama, tentu kita mesti menyebut nama Arcan Iurie sebagai aktor kesuksesan Kabau Sirah kembali ke kasta tertinggi. Musim itu, ia membawa SPFC peringat 1 di Wilayah Barat, runner-up 8 besar dan peringkat ketiga yang memastikan satu tempat di Liga Super Indonesia musim berikutnya.
Pergantiannya ke Nil Maizar adalah cerita mengejutkan. Seorang wartawan menceritakan betapa kagetnya ia, saat manajemen mengumumkan pelatih Semen Padang FC untuk mengarungi kompetisi 2010/2011.
Nil duduk di sampingnya. Ngobrol tentang sepakbola. “Nil tak bercerita sedikit pun bahwa ia yang diangkat manajemen untuk menukangi tim,” cerita Sang Wartawan. Ketika ia maju ke meja, wartawan itu hanya bisa geleng-geleng kepala.
Tak hanya wartawan itu yang terkejut, seluruh suporter Kabau Sirah mengernyitkan kepala. Nil memang asisten Arcan Iurie, tapi menjadikannya pelatih kepala? Banyak yang tidak yakin.
Waktu berkompetisi, Arcan menjalani 21 pertandingan. Mencatat 11 kemenangan 3 kekalahan (termasuk kalah adu pinalti dengan Deltras Sidioarjo) dan 7 seri. Melesakkan rata-rata 1,4 gol per pertandingan dan kemasukkan 0,7.
Dengan pola 3-5-2, Arcan menjadikan Edward Wilson Junior menjadi top skor dengan 15 gol. Bersama Edward, Marco Souza dan Antonio Claudio menjadi trio asing yang tampil saling melengkapi.
Komparasinya saat Syafrianto membawa SPFC menjuarai Wilayah Barat di Liga 2. Jumlah kemenangan yang diraih mencapai 54 persen. Mencetak 1,54 gol per pertandingan. Bersama 6 tim lainnya, SPFC ala Syafrianto menjadi tim yang paling sedikit mengalami kekalahan. Dan tidak ada satu pun pemain yang masuk 5 besar top skor.
Masuk ke babak 8 besar, terjadi perubahan. Dari enam pertandingan, SPFC mencetak rasio 50 persen kemenangan dengan mencetak 2 gol per pertandingan. Masuk ke semi final dan final, jumlah kemenangan menurun menjadi 33 persen. Begitu juga jumlah gol hanya 1 per pertandingan.
Total, SPFC melakukan 31 pertandingan dengan membukukan 44 gol dengan kemasukan 37 gol. Rata-rata 1,19 kemasukan per pertandingan dan memasukkan 1,4 gol per pertandingan. Keikutsertaan di Piala Presiden dan Tur Sumbar tidak bisa dimasukkan karena bukan kompetisi resmi.
**
Jika Syafrianto ingin mengalahkan Nil, ini catatan yang mesti dilewatinya. Statistik menunjukkan, Nil sukses meraih 12 kemenangan dari 28 pertandingan. Itu artinya, rasio kemenangan mencapai 43%. Musim itu, Semen Padang sukses mencetak 41 gol. Atau rata-rata 1,5 gol per pertandingan. Edward Wilson Junior, penyerang andalan Nil menjadi pencetak gol terbanyak kedua LSI 2011 –di bawah Boaz Solossa–. Wilson sukses mencetak 16 gol.
Tidak hanya itu, Nil juga menjadikan Semen Padang sebagai tim dengan jumlah kekalahan tersedikit nomor dua di bawah sang juara, Persipura; hanya menderita empat kali kekalahan.
Sebagai mantan pemain belakang, Nil pun juga memberikan pengaruh yang baik bagi pertahanan Dubalang Bukit Karang Putih. Total selama satu musim, Semen Padang hanya dibobol 27 kali oleh lawan, atau rata-rata Semen Padang kebobolan 0,96 gol per pertandingan.
Memang, tanpa basa-basi, Nil langsung mengubah pola permainan yang diusung Arcan Iurie dari 3-5-2 menjadi 4-4-2. Bagi Nil, pola itu adalah bertahan. Ia memiliki 'tonggak rumah gadang' pada diri David Pagbe. Di tengah ada Yu Hyun Koo dan Vendry Mofu. Sayap diisi, Esteban dan Elie Aiboy. Di depan, ia cukup meletakkan Edward Wilson Junior yang bisa mengkonversi umpan terobosan dan lambung jadi gol.
SPFC dibawa pelatih kelahiran 1970 sebagai tim dengan serangan balik terdahsyat. Kecepatan sayap, umpan tusukan jadi senjata tak henti dilontarkan ke pertahanan lawan. Sejak saat itu, Tim yang bermarkas di Indarung Padang ini, selalu menjadi perhatian lawan.
Masa ini, tidak 100 tahun untuk perusahaan semen tertua di Indonesia. Beda dengan tim asuhan Arcan. Mereka memiliki legiun asing agar kado untuk seabad PT Semen Padang tercapai. Syafrianto mesti berpandai-pandai mengatur strategi dengan pemain lokal. Secara skuad, Nil mendapat keuntungan dengan tim yang sudah bersatu sejak Divisi Utama.
Memasuki Liga 1, manajemen menghentikan kontrak 9 pemain Liga 2 dan mencari ‘kepingan yang hilang’ untuk padu padan di setiap posisi. Kabar terakhir, Jose Sardon asal Argentina menjadi pemain asing terakhir yang diikat kontrak menyusul Juffo yang mengalami cidera. Dan dalam 15 daftar pemain termahal di Liga 1 musim ini, dua di antaranya berseragam SPFC.
Dari segi taktik, Syafrianto terlihat sekali sebagai pelatih ‘hari ini’. Sejak Liga 2 hingga Tur Sumbar ia memakai beberapa pola. Yang terbanyak adalah 3-4-3, 4-2-3-1 dan 4-3-3. Pola terakhir mengerucut di Piala Presiden dan Tur Sumbar.
Karl Max, Irsyad Maulana dan Dedi Hartono jadi trisula di depan. Kemudian Barcia diapit Manda Cingi dan Rudi. Sementara Pulatov, Agung Prasetyo, Leo Guntara dan Syaiful Indra Cahya jadi kuartet di lini belakang.
Agaknya pola menyerang menjadi filosofi Syafrianto. Terbukti jumlah gol yang dilesakkan. Meski saat yang sama, pertahanan menjadi bagian yang amat penting diperhatikan. Maka, keseimbangan tim akan menjadi pencarian mantan Gelandang SPFC era 80-an ini selama mengarungi kompetisi.
Kemudian, kekhawatiran lain adalah soal lapis kedua. Kesenjangan terbentang. Belum lagi soal regulasi 7 pemain U-23 yang harus dipunyai tapi tidak wajib dimainkan. Namun, tentu Syafrianto tidak akan membiarkan para pemain menghangatkan bangku cadangan. Persoalan ini tentu akan mewarnai taktik Syafrianto musim ini. Menarik untuk ditunggu, apakah ramuan taktiknya akan membuat SPFC menjadi tim yang ditakuti lagi karena pola menyerangnya atau justru malah terbenam. (***)