Pemilihan kepala daerah akan diselenggarakan secara serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota pada tanggal 9 Desember 2020 nanti. Menariknya, Pilkada tahun ini dilaksanakan ditengah pandemi covid-19 yang masih belum menunjukkan angka penurunan. Pandemi yang merupakan masalah kesehatan, menimbulkan efek domino pada sektor-sektor lain di masyarakat, salah satunya adalah pada sektor ekonomi. Namun hal ini tidak menyurutkan niat pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada disaat pandemi masih terus menunjukkan angka kenaikan, tentu dengan mengoptimalkan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah sebagai upaya proteksi terhadap kemungkinan penularan Covid-19.
Diselenggarakannya Pilkada ditengah pandemi yang berdampak terhadap perekonomian masyarakat ini tentunya kembali membuka ruang untuk tumbuh suburnya praktik politik uang, atau yang kerap dikenal sebagai money politic. Perlu diketahui bersama, bahwa tindak pidana politik uang diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibagi ke dalam tiga kategori yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat pemungutan suara. Setidaknya kekhawatiran mengenai tumbuh suburnya praktik politik uang di masa pandemi ini merupakan hal yang wajar, ini diakibatkan karena pandemi covid-19 juga berimbas pada sektor perekonomian untuk segala kalangan.
Kemudian beriringan dengan melemahnya perekonomian masyarakat di saat pandemi masih berlangsung, tentunya praktik politik uang akan sangat terasa terhadap preferensi politik masyarakat. Politik uang akan menjadi senjata bagi kandidat yang bertarung di dalam kontestasi pilkada, ditambah lagi sudah masuk pada masa kampanye, dimana pada masa inilah praktik-praktik seperti ini kerap terjadi. Masa kampanye yang seharusnya merupakan ajang para kandidat untuk saling beradu visi dan misi, ataupun program yang ditawarkan seketika berubah menjadi ajang bagi-bagi materi, baik itu dalam bentuk uang maupun sembako untuk membeli suara rakyat.
Oligarki dan Ongkos Politik
Secara sederhana politik diartikan sebagai seni untuk berkuasa, cara-cara yang dilakukan oleh masing-masing kandidat tentunya berbeda-beda pula. Secara teori, apapun bentuk kekuasaannya maka sudah pasti akan melahirkan oligarki. Oligarki politik disini tentunya merujuk pada pihak-pihak kepentingan yang dekat dengan kekuasaan. Sederhananya, oligarki dapat dikatakan sebagai kekuasaan yang diselenggarakan oleh segelintir orang, bahwa kemudian orang-orang yang berada disekitar kekuasaan inilah yang akan memengaruhi setiap kebijakan pemerintah yang berkuasa.
Salah satu pertimbangan peralihan mekanisme pilkada oleh DPRD menjadi pilkada langsung adalah untuk memangkas politik uang, logikanya calon tidak punya kemampuan untuk membeli suara rakyat yang jumlahnya banyak. Namun fakta menunjukkan bahwa dalam pilkada langsung pun politik uang tetap ada meski dengan ongkos yang semakin mahal karena melibatkan pemilih dalam satu daerah pemilihan. Banyak calon yang tidak memiliki cukup dana. Maka dari itu, calon kepala daerah seringkali mencari para pengusaha untuk bergabung sebagai investor politik untuk memodali mereka dalam kontestasi politik.
Secara logika, mereka yang berhutang untuk biaya pilkada akan membalas jasa melalui berbagai konsensi kepada pihak yang membiayainya pascapilkada, dan pada akhirnya meminggirkan aspirasi masyarakat luas. Situasi semacam inilah yang kemudian menimbulkan tindakan korup dari para oknum kepala daerah, dengan tujuan untuk mengembalikan modal materi yang telah dikeluarkan disaat pencalonannya sebagai kepala daerah. Ongkos politik yang dikeluarkan ini kemudian diganti dengan uang-uang rakyat di dalam APBD melalui proses bagi-bagi kue kekuasaan, ataupun juga berbagai kebijakan penguasa yang bertujuan untuk menguntungkan investor politik tadi.
Kesadaran Masyarakat
Suburnya praktik politik uang juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu sendiri. Pada proses demokrasi di Indonesia, praktik politik uang dapat tumbuh dengan subur karena dianggap sebagai kewajaran oleh masyarakat. Masyarakat tidak menyadari bahwa sebenarnya praktik seperti inilah yang kemudian dapat menggerus nilai-nilai demokrasi dan bahkan sebagian masyarakat justru menilai bahwa adanya kontestasi politik adalah sebagai ladang pemasukan dari para kandidat, dalam bentuk praktik-praktik yang merusak nilai-nilai demokrasi.
Sosialisasi politik perlu dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk mengajak masyarakat agar menolak politik uang. Walau memang pada dasarnya pandemi covid-19 yang menggerus perekonomian masyarakat juga sulit terbendung,hal ini kemudian semakin menyuburkan praktik gelap bagi demokrasi. Politik uang bukanlah hal baru dalam proses berdemokrasi, apalagi pada masa-masa kontestasi politik seperti saat ini. Pemerintah melalui penyelenggara ataupun pengawas pemilu harus selalu bersikap awas atas potensi terjadinya politik uang. Upaya tersebut dilakukan bersama-sama dengan masyarakat sipil, perguruan tinggi, tokoh agama, dan partai politik untuk membangun pilkada berintegritas.
Tidak cukup hanya bersikap awas untuk menjaga pilkada yang berintegritas, tentunya juga diperlukan sanksi tegas dari pemerintah ataupun pengawas pemilu melalui regulasi pemilu yang ada. Sanksi inilah yang kemudian dapat mengakomodir keluhan-keluhan mengenai politik uang, dan juga kedewasaan masyarakat dalam memahami bagaimana praktik politik praktis yang akrab dengan politik uang adalah mutlak diperlukan. Bagaimanapun juga masyarakatlah yang akan menjadi sasaran praktik-praktik kelam semacam ini, selain itu pemerintah maupun penyelenggara dan pengawas pemilu juga perlu secara sadar dan berkala untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Persepsi semacam ini tentunya keliru, masyarakat perlu diajak untuk rasional dan mawas diri bahwa pilkada adalah ajang untuk mencari pemimpin lima tahun kedepan dan bukan mencari sosok dermawan yang muncul hanya saat kontestasi berlangsung. Pada akhirnya, sebagai masyarakat yang baik haruslah dapat membaca situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Pandemi yang terjadi juga tidak membenarkan praktik politik uang harus diterima dengan baik, yang kemudian berimbas pada aktivitas politik dan bermasyarakat di lima tahun ke depan. Masyarakat perlu bersikap kritis atas segala dinamika yang terjadi hari ini.
*Wira Dika Orizha Piliang (Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas)