Langgam.id - Jurnalis dan komunitas pers di seluruh dunia merayakan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day-WPFD) tiap tanggal 3 Mei. Perayaan WPFD pada 2019 ini, dipusatkan di Ethiopia. Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi tuan rumah serupa pada 2017.
Peringatan WPFD resmi ditetapkan dalam Sidang Majelis Umum PBB pada 1993. Penetapan itu menindaklanjuti rekomendasi konferensi umum ke-26, UNESCO yang menghasilkan Deklarasi Windhoek pada 3 Mei 1991 atau tepat 28 tahun yang lalu dari hari ini, Jumat (3/5/2019).
Pers dan jurnalisme sudah ada dalam peradaban dunia sejak lama. Termasuk di Indonesia, pers sudah ada sejak Nusantara berada dalam koloni Belanda. Selain beberapa daerah di Pulau Jawa, salah satu daerah pertama yang menjadi perintis pers di Indonesia adalah Sumatra Barat (Sumbar). Geliat penerbitan pers di Sumbar pada masa itu, disebutkan para peneliti, bahkan hanya bisa ditandingi oleh Batavia.
Surat kabar pertama di Sumatra Barat terbit pada 1864. Sejarawan Ahmat Adam dalam Buku 'The Vernacular Press and The Emergence of Modern Indonesian Consciousness 1855-1913' (1995) menulis, korban itu terbit di Padang.
Van Zadelhoff dan Fabritius, masing-masing pemilik toko buku dan pengusaha percetakan, mendirikan surat kabar berbahasa Melayu pertama, yang mereka beri nama Bintang Timor. Nama koran ini sama dengan Bintang Timor lainnya yang lebih dahulu terbit di Surabaya.
Surat kabar ini, menurut Adam, terbit pada 7 Desember 1864, sebagai yang pertama di Sumatra. Setelah edisi perkenalan itu, Bintang Timor rutin terbit sejak 4 Januari 1865.
Dalam editorial edisi percobaannya, menurut Adam, penerbit menyatakan bahwa mereka telah lama ingin membuat surat kabar berbahasa Melayu di Sumatra. Sebelumnya, semua koran hanya berbahasa Belanda.
"... (Penerbitan) ini terpicu pula oleh penerbitan surat kabar berbahasa Melayu sebelumnya yang sudah terbit di Pulau Jawa," tulis Sastri Sunarti dalam Buku 'Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an)' (2013)
Dua surat kabar berbahasa Melayu yang sudah lebih dahulu terbit adalah Selompret Melajoe di Semarang (1860) dan Bientang Timoor di Jawa Timur (1862).
Sayangnya, menurut Sastri, Bintang Timor di Padang yang mengikuti dua media itu tidak terbit lama. Surat kabar itu menghilang setelah Juni 1865.
Mengutip Rusli Amran, Satri menulis, media kedua adalah Bentara Melayu (1877). Surat kabar yang dijalankan oleh seorang keturunan Indo bernama Arnold Snackey ini hanya terbit kurang dari setahun.
Masih menurut Sastri, setelah itu, di Padang terbit pula Pelita Ketjil (1882) yang dipimpin seorang Belanda bernama Moss. Ia kemudian digantikan oleh Dosseau dan dilanjutkan oleh Datuk Sutan Maharadja. "Surat kabar ini dicetak oleh percetakan Edward van Muijen," tulis Peneliti Sastra di Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, itu.
Selanjutnya, Tjaja Soematera (1897) yang awalnya dipimpin Lim Soen Hian dan kemudian diserahkan kepada Sampono Radjo. Media ini dicetak oleh percetakan Sumatra Bode.
Pada 1890 terbit pula surat kabar Pertja Barat yang diterbitkan LNHA Chatelijn dan dicetak oleh LJW Stritzko, Sumatra Snelpersdrukkerij Padang. "Temuan saya di Perpustakaan Nasional Jakarta, Pertja Barat masih terbit hingga 1914," tulis Sastri.
Datuk Sutan Maharadja menjadi orang Minangkabau pertama yang menjadi penerbit surat kabar berbahasa Melayu pada 1894. Saat itu, ia menjadi pengelola Pelita Ketjil yang sudah terbit sejak 1882.
Tahun 1894, tulisnya, terbit pula surat kabar Sinar Minangkabau oleh penerbit Baharoeddin di Padang. Surat kabar ini terbit sampai 1906.
Pada 1901, Bintang Timor yang sebelumnya terbit dalam bentuk koran, kembali terbit dalam bentuk majalah. Namanya, Majalah Bintang Timoer. "Pada tahap ini, Majalah Bintang Timoer terbit dua kali sebulan sebagaimana yang tertera pada halaman depan majalah tersebut," tulis Sastri.
Menurutnya, dalam bentuk majalah, Bintang Timoer masih terbit sampai tahun 1914. Itu artinya, majalah itu masih eksis selama 14 tahun sejak diterbitkan pada 1901.
Kemudian, lanjut Sastri, pada tanggal 9 Januari 1904, terbit pula surat kabar milik orang Minangkabau di Padang, yakni Alam Minangkerbau. Koran ini menggunakan aksara Jawi (Arab Melayu) dan menggunakan ragam Bahasa Melayu tinggi.
Penggunaan aksara ini membatasi pembaca surat kabar ini, hanya orang Minangkabau, Muslim Mandailing dan Angkola. Redaksinya dikelola Haji Mohammad Salleh dan Haji Mohammad Amin yang dibantu Dja Endar Moeda sebagai editor. Koran yang terbit tiap Sabtu ini, menurut Sastri, berorientasi Timur Tengah, berpandangan Islam ortodoks dan hanya bertahan selama satu tahun.
Pada Oktober 1905, giliran Sinar Sumatra yang terbit, dua kali dalam seminggu. Koran ini dikelola oleh Liem Soen Hin yang memadukan selera pasar antara pembaca di kalangan keturunan Tionghoa dan Melayu. Hal yang menjadi penentu keberhasilannya.
Menggunakan Bahasa Melayu rendah serta memanfaatkan pantun dan syair dalam penyampaiannya menjadi daya pikat bagi pembaca media ini. Baik di kalangan orang Minangkabau maupun di kalangan Mandailing. Ini yang membuat surat kabar ini bertahan cukup lama hingga 1930.
Meski Pelita Ketjil dan Alam Minangkerbau sebagai surat kabar pertama yang dikelola orang Minangkabau, gagal, tidak menyurutkan minat orang Minang lainnya untuk mencoba kembali.
Maka, kemudian terbitlah surat-surat kabar yang mengusung tema keagamaan seperti Al-Moenir, Al-Itqan, Al-Bajan, Al-I'lam, Noeroel Jaqin, Iqbaloel Haq, Al-Islaah, Islam dan Al-Mizan.
Juga muncul surat kabar yang bertema adat dan kebudayaan, seperti Berito Adat, Berito Minangkabau, dan Oetoesan Minangkabau. Selain itu juga terbit yang mengusung tema perempuan. Seperti, Soenting Melajoe yang dikelola Rohana Koedoes, Soeara Perempoean, Soeara Kaoem Iboe, Asjraq dan Djouharah.
Di samping itu, menurut Sastri, juga muncul media yang membawa semangat kedaerahan. Seperti, Berito Koto Gadang, Soeara Matoer, Soeara Koto Gedang, Soeara Banoehampoe, Matoer saijo, Priaman, Soeara Kajoe Tanam dan sebagainya.
"Berdasar daftar majalah dan surat kabar yang berhasil saya catat di Perpustakaan Nasional Jakarta, setidaknya terdapat kurang lebih 167 terbitan di seluruh Minangkabau pada terbitan awal 1859-1940-an," tulisnya.
Lebih separoh dari jumlah itu, terbit di Padang. Sisanya, ada yang di Kayu Tanam, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Batusangkar dan Sawahlunto. Usaha media ini dimiliki oleh orang Belanda, Indo, Tionghoa dan Minangkabau.
Kehadiran surat kabar pada masa awal penerbitan di Minangkabau, menurut Sastri, sangat banyak dan dengan persaingan yang lebih tinggi dibanding di Pulau Jawa.
Di luar Pulau Jawa, menurutnya, hanya tiga provinsi yang memiliki penerbitan dengan jumlah besar, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Manado. "Bahkan menurut hasil penelitian Ahmat Adam (2003), hanya Batavia yang menyaingi besarnya jumlah penerbitan surat kabar yang ada di Minangkabau pada masa itu," tulis Sastri.
Gemerlapnya dunia percetakan dan penerbitan di Sumatra Barat pada masa itu, menurutnya, menjadi bukti, keberaksaraan orang Minang zaman itu sama kuatnya dengan kelisanannya yang terbiasa beradu argumen di depan khalayak ramai. (HM)