Langgam.id - Sebanyak 76 pangulu (penghulu adat) berkumpul di Bukittinggi. Mereka membahas rencana Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan keresidenan Sumatra Barat dengan Keresidenan Tapanuli menjadi satu gouvernement yang dipimpin gubernur.
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam tulisannya 'Regionalisme, Hitoriografi dan Pemetaan Wilayah' dalam Buku 'Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an' menulis, rapat yang digelar sejak 23 April 1926 itu, diadakan dua hari sampai ditutup tanggal 24 April 1926, atau tepat 93 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (24/4/2019).
Kesimpulan rapat, kaum adat menolak penggabungan dengan Tapanuli. Alasannya, tulis Gusti, karena hal itu dinilai akan menimbulkan kekacauan dalam negeri. Para pangulu tidak bersedia bila nanti ada orang Tapanuli yang akan menjadi demamg atau asisten demang di Sumatra Barat.
Dalam surat yang sama, kaum adat mengusulkan, "... daripada digabungkan dengan Tapanuli, lebih baik Minangkabau disatukan dengan Jambi dan Kuantan. Sebab, antara Minangkabau dengan kedua daerah itu sudah bertali darah dan berhubungan sejarah sejak waktu yang lama."
Gusti Asnan menyebut pertemuan tersebut dengan istilah 'Minangkabauisasi' Sumatra Barat. Salah satu yang menandainya, menurut Gusti, maraknya penerbitan buku tentang Minangkabau, termasuk sejarah dan wilayahnya setelah pertemuan itu.
Salah satu terbitan tersebut adalah tambo, historiografi tradisional Minangkabau dalam huruf Latin. "Tambo Minangkabau memang dibukukan (dilatinkan) pertama kali tidak lama setelah kongres adat di Bukittinggi. Tambo yang diberi judul Tambo Alam Minangkabau diterbitkan pertama kali tahun 1930 dan disusun oleh Jamaan Dt. Batuah," tulisnya.
Jamaan Dt Batuah adalah salah satu pangulu yang hadir dalam pertemuan 1926 dan ikut menandatangani permohonan pembatalan penggabungan Keresidenan Sumatra Barat dengan Tapanuli.
Di samping daerah yang saat itu menjadi wilayah Keresidenan Sumbar, masih menurut Gusti, tambo tersebut juga menyebut wilayah Minangkabau termasuk sebagian daerah di Riau dan Jambi, khususnya kawasan sekitar Kampar, Kuantan dan Batanghari.
Pada 1956, menurutnya, tambo tersebut disempurnakan oleh Datuak Batuah dan Datuak Madjoindo. Dalam tambo ini ditegaskan dengan rinci Alam Minangkabau itu meliputi daerah "... mulai dari Sikilang dan Air Bangis, sampai ke riak nan berdebur, pucuk Jambi Sembilan Lurah, sampai ke Tanjung Simalidu, Kuok dan Bangkinang, Siak, Indragiri, Kampar Kiri dan Kampar Kanan.
Dalam tambo 1956 itu, tulis Gusti, penulis melengkapi bukunya dengan sebuat peta tentang Alam Minangkabau, sebuah peta yang sebelumnya tidak pernah dibuat penulis lainnya. "Dalam peta itu terlihat, Alam Minangkabau memang hampir identik dengan daerah administratif Sumatra Tengah (daratan)," tulisnya.
Upaya mengindentikkan Sumatra Barat dengan wilayah Minangkabau, sebenarnya sudah dimulai Pemerintah Hindia sejak lebih satu abad sebelumnya, yakni pada 1823. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda belum berhasil memenangkan perang dengan Kaum Padri.
Namun, Letnan Kolonel Raaff yang baru saja diangkat menjadi residen menggantikan du Puy, membagi keresidenan menjadi dua. Gusti Asnan dalam Buku 'Pemerintahan Sumatera Barat, dari VOC Hingga Reformasi' menyebut, dua distrik itu adalah Padang dan Minangkabau.
"Distrik Padang meliputi daerah di sekitar Kota Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak dan Air Haji. Sedangkan Distrik Minangkabau, mencakup daerah Tanah Datar."
Ini kemudian menjadi dasar dari beberapa pergantian wilayah adminstratif dalam pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra Barat, sejak dari bentuk keresidenan sampai bentuk provinsi.
Kawasan Tapanuli sudah digabungkan oleh Belanda menjadi wilayah Sumatra Barat sejak 1841. Penggabungan itu dipertegas pada 1842, ketika Pemerintah Hindia Belanda membagi Gouvernement Sumatra's Weskust (Provinsi Sumatra Barat) menjadi tiga keresidenan, yakni Padangsche Benedenlanden, Padangsche Bovenlanden serta Tapanuli.
Padangsche Benedenlanden wilayahnya meliputi wilayah pesisir, sejak dari Pesisir Selatan sampai ke Pasaman Barat. Sementara, Padangsche Bovenlanden meliputi daerah pedalaman Minangkabau atau luhak nan tigo (Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota).
Pembagian tiga keresidenan tersebut, menurut Gusti, mencerminkan adanya pemisahan dua kelompok etnis atau suku utama yang mendiami daerah itu. "Keresidenan pertama dan kedua mencakup ruang lingkup budaya Minangkabau dan keresidenan ketiga merupakan wilayah budaya Batak."
Pada 1905, Keresidenan Tapanuli dipisahkan dari Gouvernement Sumatra Barat. Sehingga, wilayahnya tinggal dua keresidenan. Dua keresidenan ini kemudian dilebur jadi satu keresidenan Sumatra's Weskust pada 1913.
Pemisahan Tapanuli dengan dua keresidenan tersebut, menurut Gusti berawal dari ide P. Merkus, komisaris pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat pada 1839-1840. Untuk memudahkan pengawasan dan pembangunan, menurut Merkus, Tapanuli dan Minangkabau mesti dipisahkan dalam dua provinsi yang berbeda.
Usul yang baru terwujud 65 tahun kemudian, pada 1905. "Pengidentikan Gouvernement Sumatra's Westkust dengan daerah budaya Minangkabau pada tahun 1905 mendapat sambutan positif dari kalangan penghulu Minangkabau," tulis Gusti.
Para penghulu menyebutkan, ini merupakan perwujudan Minangkabau Raya di bawah Raja Belanda. Pascaperang Padri, kaum adat memang kembali bekerja sama dengan Belanda. "Kerja sama antara kaum adat dan pemerintah itu memang menggiring citra bahwa Sumatra Barat adalah daerah kaum adat."
Itu juga yang membuat, ketika pada 1918 diberi kesempatan membentuk dewan perwakilan rakyat, diberi nama Minangkabau Raad, bukan West-Sumatra Raad.
Karena itu, ketika ada ide untuk mengembalikan Provinsi Sumatra's Westkust yang lama dengan menggabungkan Tapanuli pada 1926, kaum adat menentangnya. Penggabungan ini memang akhirnya tak jadi diwujudkan Pemerintah Hindia Belanda.
Saat reorganisasi pada 1929, wilayah Sumatra's Westkust tetaplah sama dengan 1905. Hanya jumlah Afdeeling-nya saja yang dikurangi menjadi enam, yakni Padang, Kerinci-Painan, Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota dan Solok. Kemudian, dikurangi lagi menjadi lima Afdeeling pada 1935 dengan menggabungkan Kerinci-Painan ke dalam Afdeeling Padang.
Pembagian wilayah administratif inilah yang bertahan, hingga 1942 saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. (HM)