Langgam.id - Setelah menggelar pertemuan sejak 20 April 1946 di Bukittinggi, Persatuan Perjuangan se-Sumatra mengeluarkan resolusi pada 22 April 1946, atau tepat 73 tahun yang lalu dari hari ini, Senin (22/4/2019).
Buku 'Propinsi Sumatra Tengah' (1959) yang diterbitkan Kementerian Penerangan menulis, sesudah mengadakan beberapa kali rapat tertutup, maka Persatuan Perjuangan Sumatera mengeluarkan tiga resolusi.
Pertama, siap sedia mengorbankan segala-galanya mempertahankan Negara Republik Indonesia atas dasar kesatuan dan persatuan segala bagian-bagian Negara Republik Indonesia.
Kedua, setia dan patuh kepada Pemerintah dan menaruh kepercayaan sepenuh-penuhnya atas pimpinan Kabinet Sutan Sjahrir.
Dan ketiga, siap sedia memberantas, membasmi dan menghancurkan segala sesuatu yang berupa aliran-aliran, gerombolan-gerombolan dan golongan-golongan jang mencoba membelokkan dasar dan sikap Persatuan Perjuangan se-Sumatra.
Persatuan perjuangan merupakan organisasi berbagai komponen masyarakat dalam perjuangan Indonesia merdeka. Organisasi ini bermunculan setelah pada awal 1946 didirikan Tan Malaka di Pulau Jawa.
Meski terinspirasi hal tersebut, gerakan persatuan perjuangan di masing-masing daerah berbeda. Bila di Pulau Jawa, Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka beroposisi dengan keras pada Kabinet Sjahrir, di daerah bisa berbeda.
Di Sumatra Barat, misalnya, lembaga yang mirip persatuan perjuangan diberi nama Volksfront (Front Rakyat). Organisasi ini malah diberi kewenangan oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatra Barat di bidang perekonomian. Hal ini membuat, bentuknya bukan lagi organisasi, tetapi sudah melembaga. Berbeda pula di daerah lainnya.
Hal yang menyatukan persatuan perjuangan di Sumatra adalah konferensi di Bukittinggi. Sekaligus, membedakannya dengan persatuan perjuangan di Pulau Jawa.
Hal itu, setidaknya tergambar dari resolusi pada 22 April tersebut. Bila di Pulau Jawa beroposisi pada pemerintah, pertemuan front rakyat di Bukittinggi menegaskan dukungan pada pemerintah.
Acara yang dihadiri utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu dan Palembang dipimpin Sarwono dari Pusat Persatuan Perdjuangan Sumatera (Medan).
Pertemuan Persatuan Perjuangan se-Sumatra adalah satu dari tiga pertemuan yang digelar paralel di Bukittinggi pada April 1946.
Selain Konferensi Persatuan Perjuangan se-Sumatra pada 20-22 April 1946 itu, dua acara lainnya adalah konferensi residen-residen se-Sumatra 16-20 April 1946 dan sidang pleno Dewan Perwakilan Sumatra 17-20 April 1946.
Anthony Reid dalam Buku 'Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia' menyebutkan, pertemuan di Bukittinggi saat itu dihadiri oleh Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifuddin. "Delegasi pertama Pemerintah Pusat mengadakan perjalanan keliling pada April di seluruh pulau itu di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin," tulisnya.
Delapan bulan setelah proklamasi, pemerintahan di Pulau Sumatra masih belum terkonsolidasi. Kedatangan pemerintah pusat ke Sumatra adalah untuk memulai konsolidasi pemerintahan.
Buku 'Propinsi Sumatra Tengah' (1959) yang diterbitkan Kementerian Penerangan menulis, konferensi para residen dihadiri oleh seluruh para residen di Sumatra.
Mereka yakni, T. M. Daud Sjah (Aceh), Mr. Luat Siregar (Sumatera Timur), Dr. FL Tobing (Tapanuli), Abd. Malik (Riau), Dr. M. Djamil (Sumatra Barat), Dr AK Gani (Palembang), Mr. Dr. Hazairin (Bengkulu), Raden Basjit (Lampung).
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam Buku 'Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an' menulis, Provinsi Sumatra saat itu terdiri atas 10 keresidenan. Yakni, Aceh, Sumatra Timur, Tapanuli, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung.
"Luas wilayah kerja gubernur dianggap oleh para residen yang mengadakan rapat di Bukittinggi tanggal 17 April 1946 sebagai sebuah kendala yang mengakibatkan pelaksanaan tugas gubernur tidak efektif," tulisnya.
Alasan para petinggi keresidenan, tulis Gusti, gubernur mempunyai berbagai keterbatasan, sementara persoalan yang dihadapi sangat banyak.
Sebagai solusi, dalam pertemuan itu disepakati membangi Sumatra menjadi tiga daerh sub-provinsi yang masing-masing dipimpin gubernur muda. Sub-provinsi pertama adalah Sumatra Utara yang meliputi Aceh, Sumatra Timur dan Tapanuli. Sub-provinsi kedua Sumatra Tengah yang meliputi Keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Serta, Sub-Provinsi ketiga Sumatra Selatan yang meliputi Keresidenan Palembang, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung.
Gusti menulis, unit administrasi setingkat sub-provinsi ini tidak ada dalam susunan ketatanegaraan Indonesia. Hal ini yang membuat kemudian terjadi ketidakjelasan, karena tidak adanya acuan tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Hal ini terjadi hingga tahun 1948, ketika keluarnya UU No. 10 tahun 1948 yang membagi Sumatra menjadi tiga provinsi.
Selain itu, pada 17 April 1946 tersebut juga dilantik Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra (DPS). Muhammad Ibrahim dalam Mr. Teoekoe Moehammad Hasan: karya dan Pengabdiannya' (1983) menulis, DPS berjumlah 100 anggota. Komposisi DPS terdiri dari Aceh 10 orang, Sumatra Timur 20 orang, Tapanuli 11 orang, Sumatra Barat 20 orang, Riau 15 orang, Jambi 4 orang, Palembang 15 orang, Lampung 7 orang, Bengkulu 5 orang dan Bangka-Belitung sebanyak 3 orang.
Gubernur Sumatra Teuku Muhammad Hasan langsung menjadi ketua BPS dan wakil ketua Dr. Gindo Siregar. Untuk pelaksanaan tugas sehari-hari dibentuk juga Badan Pekerja DPS yang berkedudukan di Pematang Siantar
Gusti Asnan saat dihubungi Langgam.id mengatakan, pertemuan tiga unsur yang berjalan di Bukittinggi merupakan tonggak awal konsolidasi Sumatra setelah merdeka.
"Makanya, dikumpulkan semua sejak dari pemerintah, lembaga perwakilan dan organisasi perjuangan rakyat," katanya.
Konsolidasi di Bukittinggi ini, menurutnya, kemudian banyak menentukan pola perjuangan beberapa tahun ke depan, termasuk pembagian Sumatra ke dalam tiga provinsi pada 1948. (HM)