Ketika Komandan Militer Hindia Belanda Meninggal Mendadak di Padang

Ketika Komandan Militer Hindia Belanda Meninggal Mendadak di Padang

Plein van Rome (sekarang Lapangan Imam Bonjol) sekitar tahun 1930. Ke arah utara ini, tugu peringatan Raaff dipindahkan pada 1913. (Foto: KITLV/ leidenuniv.nl)

Langgam.id - Sejak abad ke-19 hingga tahun 1913, tak jauh dari Lapangan Dipo, Pantai Padang yang kini menjadi Taman Budaya Sumatra Barat, terdapat sebuah tugu. Tugu kecil ini berbentuk lancip ke atas dengan dasar segi empat.

Orang Belanda mneyebutnya 'naald' yang berarti jarum. "Tugu ini dibangun untuk mengenang jasa-jasa Letnan Kolonel Raaff yang tewas tanggal 17 April 1824 dalam masa Perang Padri," tulis Rusli Amran dalam Buku 'Padang Riwayatmu Dulu' (1988).

Letnan Kolonel Antoine Theodore Raaff adalah pahlawan bagi Pemerintah Hindia Belanda. Ia bukan saja dibuatkan tugu, menurut Amran, sebuah jalan di Padang juga diberi nama Jalan Raaff (Raaffweg). Jalan Raaff tersebut, kini diberi nama Jalan M. Yamin.

Pada 1913, menurut Amran, karena terancam ombak samudra, tugu Raaff ini dipindahkan ke sisi utara Plein van Rome atau yang sekarang dikenal sebagai Lapangan Imam Bonjol. "Yang dipindahkan tidak saja tugu tetapi juga tulang-belulangnya."

Raaff lahir di Hertogenbosch, Belanda pada 1 Desember 1794. Mengutip Buku 'Biographisch woordenboek der Nederlanden', dbnl.org menulis, Raaff menjalani sekolah militer di Hondscholredijk pada Juni 1807 dan kemudian pindah ke sekolah militer st. Cyr pada April 1811.

Ia menjadi letnan satu pada April 1813, setelah berpartisipasi dalam kampanye di Jerman. Pada Oktober 1813 ia adalah letnan pertama yang bergabung dengan pasukan oranye Belanda. "Baru pada November 1815 dia berangkat ke Jawa dan sampai pada tanggal 1 Mei 1817/."

Ia langsung bekerja pada Staf Umum Angkatan Darat Hindia Belanda sehingga dipromosikan menjadi mayor pada Januari 1818. Dan, pada 24 Agustus 1821, Raff naik pangkat lagi menjadi letnan kolonel.

Saat James Du Puy, residen Padang membuat perjanjian dengan kaum adat pada 1821, Belanda memutuskan ikut campur dalam dalam Perang Padri. Masuk ke pedalaman Minangkabau dengan dalih membantu kaum adat memerangi kaum Padri. Raaff dikirim ke Padang dari Batavia untuk memimpin operasi ini.

Dia tiba di Padang pada Desember 1821 dan mulai menyusun kekuatan. Pada bulan Maret 1822, ia memimpin 500 orang pasukan Belanda yang dibantu 13 ribu kaum adat menghadapi 20 ribu pasukan Padri di di Simawang. Ia membuat Tuanku Pasaman yang memimpin pasukan Padri kala itu mundur ke Lintau.

Sejarawan Christine E Dobbin dalam Buku ‘Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847’ (1992) menulis, pada tengah hari tanggal 4 Maret 1822, serdadu di bawah pimpinan Letkol Raaff menduduki Pagaruyung dan kemudian pusat-pusat lain di sebelah tenggara Tanah Datar. (Baca: Kisah Belanda Menyerbu Tanah Datar)

Joko Darmawan dalam Buku 'Sejarah Nasiona: Ketika Nusantara Berbicara' menulis, Raaff kemudian membangun Benteng 'Fort Van der Capellen' di Batusangkar. Padri kemudian menyerang balik pada 10 Juni.

Raaff dan pasukannya tak berhenti. Ia merencanakan penyerangan ke Lintau dan wilayah lainnya yang dikuasai Padri. Tapi, kemudian ada serangan Padri pada 14 Agustus 1822.

Dalam pertempuran di Baso, salah seorang perwira Belanda Kapten Goffinet menderita luka berat. Ia kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Karena serangan pasukan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh itu, Belanda mundur kembali ke Batusangkar.

Setelah mendapat bantuan pasukan, pada 13 April 1823, pasukan Raaff kembali menyerbu Lintau dengan menyerang benteng Marapalam terlebih dahulu. Serangan ini gagal karena perlawanan sengit Padri. Belanda kembali ke Batusangkar pada 16 April. (Baca: Memukul Serangan Belanda di Bukit Marapala)

Memperluas kekuasaan di wilayah pedalaman Minangkabau adalah obsesi Raaff. Setelah menguasai Pagaruyung dan Batusangkar sejak 1822, mereka tak pernah beranjak dari sana. Rencananya, bila Lintau dikuasai, mereka akan bergerak menyerang Limapuluh Kota.

Dobbin menulis, serangan ini gagal karena kuatnya kedudukan Padri di Bukit Marapalam yang merupakan jalan untuk mendekati Lintau. “Sejak tanggal ini, semangat Belanda untuk ekspansi di Minangkabau menurun,” tulisnya.

Menurut Muhammad Radjab dalam Bukunya 'Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838' (1964), setelah itu sempat terjadi penyerangan lagi ke Pandai Sikek. Namun, Padri kembali dapat mementahkan serangan tersebut.

Pada Desember 1823, menurutnya, Residen James du Puy harus pulang kenegeri Belanda karena kesehatannya menurun. Letkol Raaff kemudian diangkat menggantikannya sebagai residen pada 1 Januari 1824 (beberapa sumber lain menyebut tanggal 16 Desember 1823).

Ia kemudian membuat langkah perjanjian damai dengan Padri pada 22 Januari 1824, yang disebut Perjanjian Masang.

Tak sampai tiga bulan setelah itu, Raaff menderita sakit. Mengutip Buku 'Biographisch woordenboek der Nederlanden', dbnl.org menulis, Raaff sakit sampai 12 hari hingga akhirnya meninggal pada 17 April 1824, dalam usia belum genap 30 tahun. Ia disebutkan meninggal mendadak karena sakit panas.

"Setelah itu, tidak pernah lagi ada yang bisa menandingi keberhasilannya di daerah dataran tinggi (Sumatra Barat) sampai tahun 1830-an, ketika muncul situasi yang berbeda sekali," tulis Dobbin. (HM)

Baca Juga

HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu