Langgam.id - Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat mematok tahun 1948 sebagai perayaan hari jadi daerahnya. Yang jadi rujukan adalah penetapan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1948 tentang Pembagian Sumatra dalam Tiga Propinsi.
Undang-Undang tersebut ditetapkan Presiden Soekarno dan Menteri Dalam Negeri Soekiman pada tanggal 15 April 1948, atau tepat 71 tahun yang lalu dari hari ini, Senin (15/4/2019).
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan kepada Langgam.id mengatakan, sebenarnya lebih empat abad sebelum itu, nama sejumlah wilayah di Pesisir Selatan sudah dikenal dunia karena lada, emas dan beberapa peristiwa yang mengikuti potensi ekonomi, sosial dan politiknya.
Situs resmi Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan menyebut, penetapan hari jadi kabupaten dengan garis pantai memanjang sejauh 234 kilometer itu berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 1995 tentang penetapan hari Jadi Kabupaten daerah Tingkat II Pesisir Selatan.
Penetapan tanggal ini merujuk pada tanggal ditetapkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1948 tanggal 15 April 1948 dan Peraturan Komisaris Pemerintah Sumatera Tengah Nomor 81/KOM/U/1948.
UU No 10 tahun 1948 yang terdiri dari lima pasal, tak menyebut dan menetapkan wilayah Pesisir Selatan sebagai kabupaten. Tiga pasal dalam UU ini mengatur tentang pembagian wilayah Sumatra menjadi tiga provinsi. Yakni, Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan.
Pasal lain mengatur soal pembentukan dewan perwakilan rakyat propinsi dan badan eksekutif propinsi. Sementara, satu pasal akhir memuat waktu berlaku. Hal yang terkait dengan Pesisir Selatan sebagai bagian dari Propinsi Sumatra Tengah ada pada pasal keempat.
Pasal 4 mengatur, untuk mempersiapkan pembentukan pemerintahan Propinsi dan pembentukan daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkungan Propinsi, diadakan suatu Komisariat Pemerintah Pusat terdiri dari Komisaris-komisaris Negara, yang susunan dan tugas kewajibannya lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan lain.
Berdasar pasal ini, kemudian dibentuk Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatra yang diketuai Teuku Muhammad Hasan. Pada 30 November 1948, Komisaris Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Komisaris Pemerintah Pusat di Bukittinggi Nomor No. 81.Kom.U.
Sebagaimana ditulis dalam Buku 'Sumatra Tengah' (1953) yang diterbitkan Departemen Penerangan, aturan ini membagi Sumatra Tengah ke dalam 11 kabupaten. Yakni, Kabupaten Singgalang Pasaman, Sinamar, Talang, Samudra, Kerinci/Pesisir Selatan, Kampar, Indragiri, Bengkalis, Kepulauan Riau, Merangin dan Batanghari.
Dari 11 tersebut, lima kabupaten merupakan bekas daerah Keresidenan Sumatra Barat, empat kabupaten bekas daerah Keresidenan Riau dan dua kabupaten bekas wilayah Keresidenan Jambi.
Lima kabupaten yang di wilayah Sumbar, namanya terlihat unik. Berbeda dengan nama-nama afdeeling yang sudah ada sejak awal abad ke-19 di zaman Hindia Belanda.
Hal ini agaknya untuk mengakomodir penggabungan beberapa bekas afdeeling yang berbeda. Kabupaten Singgalang Pasaman dengan ibu kota Bukittinggi misalnya, melingkupi daerah Kewedanaan Agam Tua, Padang Pandjang, Maninjau, Lubuk Sikaping serta Talu (kecuali Nagari Sasak dan Latingan).
Kabupaten Sinamar dengan ibu kota Payakumbuh, melingkungi daerah Kewedanaan Payakumbuh, Suliki dan Batusangkar. Kabupaten Talang dengan ibu kota Solok meliputi daerah Kewedanaan Solok, Sawahlunto, Sijundjung, Alahan Panjang dan Muara Labuh.
Kabupaten Samudra dengan ibu kota Pariaman meliputi daerah Kewedanaan Air Bangis, Pariaman, Lubuk Alung, Padang Luar Kota, Mentawai dan nagari-nagari di Tiku, Sasak dan Latingan.
Sementara, Kabupaten Kerinci/Pesisir Selatan dengan ibu kota Sungai Penuh meliputi daerah Kewedanaan Kerinci Balai Selasa dan Painan. Kabupaten inilah yang menegaskan nama Pesisir Selatan sebagai salah satu kabupaten yang digabung dengan Kerinci.
Gusti Asnan dalam Buku 'Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC Hingga Reformasi' (2006) menulis, pembagian kabupaten tak bisa dilaksanakan. Penghalangnya adalah Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda pada 19 Desember 1948. Jaraknya tak sampai tiga pekan setelah Peraturan Komisaris Pemerintah Pusat di Bukittinggi dikeluarkan.
Pascaagresi, pemerintahan beralih ke tangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Provinsi Sumatra Tengah sementara dibekukan. Demi koordinasi dan kepentingan perjuangan, wilayah Sumatra dibagi ke dalam lima wilayah pemerintahan militer. Yakni Aceh, Sumatra Timur dan Tapanuli, Sumatra Barat, Riau serta Sumatra Selatan dan Jambi.
Masing-masing provinsi dipimpin oleh gubernur militer. Sumbar, saat itu dipimpin Gubernur Militer Mr. Sutan Mohammad Rasjid.
Gubernur Rasjid kemudian membagi wilayah Sumbar ke dalam delapan kabupaten militer yang dipimpin oleh bupati militer. Yakni, Kabupaten Padang/Pariaman, Agam, Limapuluh Kota, Tanah Datar, Solok, Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK), Pasaman dan Sawahlunto/Sijunjung.
Pesisir Selatan masih digabung dengan Kerinci. Meski masa darurat, pada masa inilah pemerintahan mulai dijalankan. Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci saat itu dipimpin Bupati Militer Aminuddin Sutan Syarif yang berkedudukan di Sungai Penuh sebagai ibu kota kabupaten.
Sejarawan Mestika Zed dalam Buku 'Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia' (1997) menyebut, Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci saat itu menjadi back up gerilya PDRI dan mendukung logistik pimpinan PDRI di Bidar Alam.
Usai perang kemerdekaan, pemerintahan kembali lagi ke Sumatra Tengah. Kemudian, melalui UU Darurat Nomor 19 tahun 1957, tanggal 9 Agustus 1957, Provinsi Sumatra Tengah dipecah tiga: Sumbar, Riau dan Jambi. Pada saat inilah, Kerinci dipisahkan dari Pesisir Selatan dan dimasukkan ke Provinsi Jambi.
Gusti Asnan mengatakan, jauh sebelum kemerdekaan sejarah sudah terekam panjang di Pesisir Selatan. Emas dan lada yang dihasilkan Pesisir Selatan adalah primadona produk perdagangan dunia kala itu. Hal yang menghasilkan uang, tapi juga membuat orang asing datang dan kemudian memicu konflik.
Indrapura merupakan salah satu daerah di Pesisr Selatan yang termasuk awal ada dalam catatan sejarah. Sebagaimana halnya daerah-daerah pelabuhan lain di pantai Sumatra Barat, semisal Tiku, Pariaman, Air Bangis dan kemudian Padang.
Kerajaan ini terkenal karena pelabuhannya yang ramai. C. Guillot dalam Buku 'Barus Seribu Tahun yang Lalu' menulis, pelabuhan Indrapura diduga telah berhubungan dengan Barus sejak zaman Lobu Tua. Lobu Tua merupakan salah satu kota kuno di Barus yang berjaya sekitar abad ke-9 hingga ke-12.
Indrapura, menurut Gusti, menjadi kota pelabuhan yang ramai sebagai pengumpul hasil tambang, perkebunan, hasil hutan dan pertanian. Primadonanya adalah lada dan emas. Semua ada di Pelabuhan Indrapura.
Emas yang dipasarkan melalui Indrapura diperkirakan Guillot dari Lebong. Pada abad ke-16 kapal-kapal dagang dari Portugis dan Prancis, menurut Gusti, bersandar di sana. Karena itu kemudian, Indrapura menjadi rebutan Aceh dan VOC.
Pelabuhan lain yang juga disebut sejarah adalah Pelabuhan Salido. Selain pusat dagang, pelabuhan ini makin terkenal setelah VOC mulai menambang emas di Salido pada abad ke-17.
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18 juga terjadi sejumlah peristiwa terkait aktivitas VOC di Pesisir Selatan: Perang Bayang (7 Juni 1663), perundingan Sandiwara Batangkapas disusul Perjanjian Painan (6 Juli 1663), pendirian loji VOC di Pulau Cingkuak (1663), pendirian loji VOC di Indrapura (1684) dan kemudian penyerangan loji VOC di Indrapura pada (6 Juni 1701).
"Ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai berkuasa di Sumatra Barat, mereka tidak lagi terlalu intens ke Pesisir Selatan. Karena, perdagangan dunia mulai beralih ke kopi. Tidak lagi lada dan emas seperti zaman VOC," kata Gusti.
Agaknya karena terlalu banyak tonggak sejarah di masa lampau itu, membuat pemerintah kabupaten setempat menyandarkan hari jadi pada tonggak administratif baru, yang terjadi setelah Indonesia merdeka. (HM)