Melek Bahasa Pejabat Berwenang 

Melek Bahasa Pejabat Berwenang 

Ade Faulina (Dok Pribadi)

Persoalan bahasa selama ini barangkali hanya sebatas berada di ruang kelas, seminar di hotel-hotel ataupun ruang-ruang pertemuan ilmiah. Meskipun generasi terdahulu menjadikan bahasa sebagai bentuk jati diri sekaligus komitmen bersama bangsa Indonesia melalui Sumpah Pemuda, namun hingga 75 tahun kemerdekaan Indonesia, kewajiban untuk menjaga kelestarian bahasa selalu berada di tangan generasi muda (penerus).

Hal ini pada dasarnya merupakan sesuatu yang lumrah. Namun akan berbeda halnya jika bahasa hanya dipahami dan dijadikan sebagai materi pelajaran bagi anak-anak sekolah. Karena dengan segala tantangan yang kita hadapi hari ini, kerancuan berbahasa, menyepelekan fungsi dan makna sebuah kata hingga upaya untuk mengkerdilkan bahasa itu sendiri masih kerap terjadi. Tentunya polemik berujung penjara yang dihadapi oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta Periode 2014 - 2017, Basuki Tjahaja Purnama, terkait ucapannya tentang QS Al-Maidah : 51 yang dianggap melecehkan agama Islam beberapa tahun silam, membuktikan bahwa bahasa, dalam hal ini berupa ucapan bukan sesuatu yang bisa dipermainkan.

Salah satu aspek yang penulis nilai sering terlupakan adalah pentingnya pemahaman terhadap tata bahasa yang baik dan pemaknaan yang luas dari bahasa dalam bidang pemerintahan. Kenapa pemerintahan? Karena pemerintahan pada dasarnya berisi orang-orang yang dianggap berpengetahuan luas, memiliki kewenangan, serta mempunyai kecakapan dalam melakukan komunikasi personal dan interpersonal.

Terlebih mereka sering berkomunikasi ataupun berinteraksi dengan masyarakat dari level maupun latar belakang yang beragam. Tak mengherankan jika kalangan awam menilai kemampuan berbahasa mereka di atas rata-rata. Hal ini tentunya wajar dan sebuah penghargaan yang patutnya disyukuri.

Kemampuan Berbahasa dan Kesabaran dalam Menyampaikan

Jika kita mau jujur dan berkaca pada diri sendiri, tentunya anggapan di atas tidak 100 persen benar maupun sebaliknya. Saat ini bukan suatu hal yang mengherankan jika kita masih menemukan pejabat ataupun bawahan yang justru terjebak dalam paradigma menyepelekan, merasa lebih atau memberikan pesan yang berbeda-beda pada orang-orang ataupun masyarakat yang mereka temui. Entah itu interaksi yang bersifat internal ataupun eksternal (luar kantor).

Upaya berbahasa yang baik dan benar juga menghadapi tantangan yang tidak mudah di ruang-ruang resmi. Dalam sebuah pidato pejabat pemerintah penggunaan bahasa yang efektif dan efisien masih belum terlalu diperhatikan. Berlama-lama pada saat pidato, menyampaikan hal yang sama secara berulang, bertele-tele, hingga lupa memperhatikan bahasa tubuh dan tenggat waktu menyebabkan hal-hal penting kerap luput dari pendengaran maupun pikiran audiens.

Jika audiens yang dihadapi adalah pejabat ataupun staf dengan latar belakang yang sama, tentu tidak menjadi persoalan. Tetapi akan berbeda halnya jika yang mendengarkan adalah masyarakat awam, tak pelak ruangan kosong sebelum waktunya sudah menjadi hal biasa dalam sebuah rapat ataupun pelatihan antara pejabat pemerintah dengan masyarakat. Begitupula halnya dengan kegiatan seminar, diklat ataupun diskusi.

Hal ini mungkin terkesan sepele, namun jika tidak kita benahi lama kelamaan akan muncul standar ganda dalam penggunaan bahasa di tanah air yang kita cintai ini. Bagaimana generasi muda, khususnya siswa sekolah dan mahasiswa diharuskan untuk menjadi “duta bahasa” dalam lingkungan ilmiah maupun pergaulan mereka. Sedangkan pejabat dan orang-orang berpangkat boleh berlaku sebaliknya, abai dalam “memuliakan” bahasa. Malah akhir-akhir ini seringkali kita temui pejabat tinggi yang pintar bersilat lidah ataupun berbohong dalam setiap ucapannya.

Pemaknaan yang Salah dan Ketidakpedulian yang Dipelihara

Selain dari uraian di atas, penulis merasa bahwa bahasa merupakan produk kebudayaan yang perlu dipelajari terus menerus oleh siapapun. Tak terkecuali bagi orang-orang yang menjadi panutan di tengah masyarakat. Kita menyadari bahasa merupakan sesuatu yang melekat sebagai ciri sebuah bangsa sudah seharusnya diperlakukan “istimewa”. Ia seharusnya bisa masuk ke bidang apapun. Sosial, budaya, ekonomi, politik ataupun agama. Karena dengan penempatan makna yang tidak tepat bisa menimbulkan kekacauan berbahasa ataupun menimbulkan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan.

Kita tentunya mengetahui bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan, pejabat berwenang selalu menjadikan Undang-Undang (UU) beserta peraturan lainnya sebagai sebuah pedoman yang mesti ditaati. Indonesia yang saat ini berada di bawah pemerintahan dengan kebijakan yang berubah-ubah dan berbagai kepentingan menimbulkan konsekuensi banyaknya peraturan-peraturan yang saling tumpang tindih dan tidak konsisten. Bahkan tak jarang peraturan yang ada dan dibuat tersebut justru saling “mencederai”. Hal ini jika tidak disikapi secara bijak tentunya akan membawa kekeliruan hingga kerugian dalam melaksanakan program-program yang telah ditetapkan, khususnya oleh daerah.

Banyak peraturan yang harus dijadikan acuan seperti UU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) ataupun surat edaran yang mesti dijalankan membuat kesadaran akan pemaknaan bahasa secara baik dan tepat harus terus diupayakan. Pemaknaan bahasa yang dimaksudkan di sini adalah perlunya usaha dalam menjadikan bahasa sebagai sesuatu yang akrab bagi kalangan pemerintahan. Jika sub judul sebelumnya lebih menitikberatkan kepada penggunaan bahasa (lisan) dalam menjalankan pemerintahan, maka pada sub judul kedua ini, penulis lebih memfokuskan kepada upaya pemerintah untuk meningkatkan kecakapan pejabat bidang ataupun staf dalam memahami makna yang terdapat di dalam regulasi ataupun peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.

Pemaknaan bahasa yang terdapat dalam sebuah peraturan yang menyangkut hajat hidup orang banyak seakan-akan dipermainkan. Penulis melihat adanya kecendrungan untuk menjadikan bahasa sebagai suatu objek dengan perlakuan yang berbeda tergantung kepentingan yang mereka buat.

Sebuah aturan perundang-undangan dengan sejumlah pasal dan ayat-ayat dapat menimbulkan pemaknaan yang beragam. Hal ini dikarenakan adanya penilaian dan pemaknaan pribadi ataupun informasi yang didapat setengah-setengah oleh pejabat yang bersangkutan. Jika pemaknaan ini tidak menimbulkan dampak apa-apa ataupun hanya mengandung resiko yang sedikit tentu masih bisa dimaklumi. Namun bagaimana halnya jika pemaknaan ini justru merugikan kepentingan dinas itu sendiri atau lembaga lainnya bahkan kepentingan orang lain ikut tercederai? Tentunya ini perlu dipikirkan kembali.

Solusi dan Reformasi Bahasa

Jika dulu kita mengenal istilah P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) sebagai cikal bakal untuk membentuk karakter pejabat dan aparatur sipil negara, maka saat ini juga perlu dipikirkan bersama untuk melakukan hal yang serupa. Pemerintah ke depannya perlu memasukkan program kecakapan berbahasa ke dalam program kerja daerah ataupun instansi terkait.

Misalnya saja berkenaan dengan bahasa lisan tentunya bisa dilaksanakan sejumlah pelatihan berbicara di depan umum (public speaking) bagi pejabat terkait, sehingga tidak lagi terbatas bagi protokoler pemerintah saja. Usaha lainnya bisa berupa mendatangkan narasumber berpengalaman yang dapat memberikan pemahaman untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien. Mengingat kita memiliki kelebihan dan kemampuan yang berbeda. Dan memang tidak semua orang dianugerahi bakat berbicara, kemampuan untuk belajar secara ototidak ataupun sebaliknya. Sebagai rujukan film asing King’s Speech dapat menggambarkan bahwa persoalan berbicara di depan umum bukanlah perkara sepele. Bahkan seorang raja pun harus kembali belajar dari nol, agar tidak gagap dan gugup ketika berbicara di hadapan parlemen ataupun rakyatnya.

Sedangkan terhadap pemaknaan bahasa juga bisa dilakukan dengan mengundang akademisi, ataupun para pakar dalam memberikan pendapat, pandangan ataupun bantuan dalam memahami sebuah peraturan yang ada. Hal ini bisa didasarkan kepada bidang keilmuan ataupun pengalaman yang pernah mereka dapatkan di bidang profesi masing-masing. Karena tak ada salahnya bertanya kepada orang-orang yang lebih tahu dibanding bersikap sok tahu, pura-pura tidak tahu ataupun tidak mau tahu terhadap sebuah aturan.

Apa yang penulis sampaikan di atas bukanlah dalam rangka untuk meragukan kemampuan pejabat berwenang ataupun orang per orang di lembaga pemerintahan, namun lebih kepada kekhawatiran adanya ketidakpedulian yang sepertinya terus dipelihara. Serta pada dasarnya sebuah pemerintahan haruslah diisi oleh orang-orang yang memiliki kepedulian, keseriusan dan keinginan untuk memberikan teladan kepada generasi sesudahnya (tidak hanya melaksanakan tupoksi), tak terkecuali perlakuannya terhadap bahasa yang terbukti mengikat persatuan dan kesatuan bangsa hingga saat ini.  ***


Ade Faulina, Alumni Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Imam Bonjol Padang

Tag:

Baca Juga

Ahlam Mosteghanemi dan Kesetiaan pada Bahasa Arab
Ahlam Mosteghanemi dan Kesetiaan pada Bahasa Arab
Sumbar Kehilangan Satu-satunya Guru Besar Bahasa Arab
Sumbar Kehilangan Satu-satunya Guru Besar Bahasa Arab
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Pertumbuhan Ekonomi Sumbar Menunggu Kepemimpinan Strategis Gubernur Baru
Kehidupan Perempuan Indonesia Masih Suram, Bagaimana Sumatera Barat?
Kehidupan Perempuan Indonesia Masih Suram, Bagaimana Sumatera Barat?
Lain Dagang Lain Ilalang: Menanggapi Riki Saputra Atas Pergeseran Nilai Politik Muhammadiyah Sumbar
Lain Dagang Lain Ilalang: Menanggapi Riki Saputra Atas Pergeseran Nilai Politik Muhammadiyah Sumbar
Menyigi Sumber Budaya Berwirausaha Etnis Minang
Menyigi Sumber Budaya Berwirausaha Etnis Minang