Langgam.id - Sebuah instruksi keluar dari Gubernur Militer Sumatra Barat Mr. Sutan Mohammad Rasjid. Instruksi nomor 24 tersebut memerintahkan untuk segera membentuk Pasukan Mobil Teras (PMT).
Buku 'Propinsi Sumatera Tengah' (1959) terbitan Kementerian Penerangan menyebut, instruksi gubernur militer itu keluar pada 5 April 1949 atau tepat 70 tahun yang lalu hari ini, Jumat (5/4/2019).
Dengan adanya instruksi ini, menurut Ahmad Husein dkk dalam Buku 'Sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau, 1945-1950" (1992), Gubernur Militer melarang adanya barisan bersenjata baru di Sumbar. Hanya ada pengecualian terhadap Tentara Pelajar seperti yang disebut dalam Instruksi Gubernur Militer No. 30/GM/Instr/49.
Instruksi Rasjid keluar dalam suasana koordinasi kekuatan militer di Sumbar yang terpecah pasca Agresi Militer II. Sejarawan Audrey Kahin dalam 'Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia (1926-1998)' (2005), memaparkan situasinya.
"Menghadapi serangan gencar Belanda, struktur militer yang rapuh di Sumatra Barat terpecah. Banyak anggota pasukan memilih bersatu dengan komandannya yang lama sewaktu menjadi laskar," tulisnya.
Anggota TNI di Sumbar memang banyak yang berasal dari laskar. Mulai 1947, mereka direkrut bergabung ke TNI setelah sempat terjadi konflik bersenjata dengan tentara. (Baca: Peristiwa 3 Maret 1946, Pergolakan Ranah di Awal Merdeka).
Sementara, kekuasaan Kolonel Dahlan Ibrahim yang menggantikan Ismail Lengah menjadi Komandan Divisi Banteng tak kuat. Menurut Audrey, selain disibukkan oleh perbekalan dan menata hubungan dengan partai politik dan masyarakat, kekuasaan Dahlan terhalang karena banyaknya perwira senior dengan pangkat dan pengalaman hampir sama dengannya.
"Kebingungan mengenai kepemimpinan angkatan bersenjata telah memperkuat kekuasaan sipil di Sumatra Barat," tulis Audrey.
Terbalik dengan struktur pemerintahan di Pulau Jawa yang dikuasai oleh militer di masa darurat, di Sumbar, tokoh sipil yang menjadi kepala daerah militer. Pada 2 Januari 1949, Panglima Sumatra Kolonel Hidayat membagi Pulau Sumatra menjadi lima wilayah militer dan menunjuk masing-masing satu gubernur militer.
Residen Rasjid menjadi gubernur militer untuk Sumatra Barat. Para bupati militer yang ditunjuk oleh Rasjid, kemudian juga adalah para sipil yang didampingi wakil dari kalangan militer.
Ketika laskar partai politik kembali bermunculan dan semakin tak bisa dikontrol, Rasjid minta dukungan kepada para pimpinan partai.
Pertemuan dengan para pimpinan partai sebagaimana ditulis dalam Buku Sumatra Tengah, dihadiri MTKAAM, Perti, PKI, PESINDO, Masyumi, PSI, PSII dan GPII. Secara bulat, partai-partai itu bersedia mengeyampingkan perbedaan paham dan ideologi dan menyetujui partai tidak memiliki laskar bersenjata.
Atas dasar itu, kemudian Rasjid mengeluarkan instruksi untuk menertibkan seluruh laskar, hingga yang ada hanyalah Pasukan Mobil Teras (PMT), sebagai wadah resmi perjuangan. Dengan keluarnya keputusan itu, semua barisan yang lain harus bubar, kecuali Tentara Pelajar.
Sebelum ada PMT, di Sumbar sudah terlebih dahulu ada Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). BPNK dibentuk oleh Chatib Sulaiman pada 1947, sebelum kemudian ia gugur dalam sergapan Belanda di Situjuah pada Januari 1949.
Keberadaan BPNK dan PMT ini, diselaraskan oleh Rasjid dengan struktur pemerintahan hingga ke tingkat nagari. Struktur pemerintahan di Sumbar kala itu, di bawah gubernur militer adalah bupati militer, kemudian di bawahnya camat militer dan di tingkat paling bawah, wali nagari menjadi wali perang.
BPNK ada di tiap nagari. Tugasnya menjaga keamanan nagari. Sementara, PMT ada di tingkat kecamatan. Anggotanya, diambil dari anggota BNPK yang terpilih atau dari laskar.
"Kedua kesatuan ini sangat khas Sumatra Barat dan menjalankan peranan yang sangat penting, lebih-lebih lagi karena kekuatan tentara reguler belum berjalan efektif," tulis Mestika Zed dalam 'Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia' (1997).
Etmi Hardi dalam tulisannya 'Rakyat dan Revolusi' di Jurnal Sejarah Vol 6, No. 1, Agustus 2004 menyebut, di luar TNI, unit terpenting dalam gerilya di Sumbar adalah BPNK, PMT dan dapur umum.
"Hampir seluruh pemuda nagari berusia 17-32 tahun dilibatkan di dalamnya. Tugas pengamanan mereka lakukan secara bergiliran dengan membentuk kelompok 5-7 orang. Dengan kode-kode tertentu mereka memberitahu kepada masyarakat tentang gerakan patroli tentara Belanda, sehingga penduduk dapat mengungsi ke tempat yang aman," tulisnya.
Di samping sebagai pengawal nagari, BPNK juga bertugas sebagai mata-mata, kurir dan ikut serta mengelola dapur umum. Secara struktural BPNK bertanggung jawab kepada wali perang (wali nagari militer).
Etmi Hardi menulis, berbeda dengan BPNK, anggota PMT sudah dilibatkan aktif dalam tindakan militer. Anggota PMT, terdiri atas TNI yang tidak aktif lagi di kesatuannya, laskar-laskar dan BPNK.
"Rekrutmen anggotanya terutama didasarkan pada keberanian dan usia. Untuk memudahkan komando, pimpinan PMT umumnya dipegang oleh TNI. Mereka mendapat latihan militer intensif dari TNI dan beberapa orang di antaranya dipersenjatai."
PMT sudah dilibatkan secara aktif dalam tindakan militer, seperti pengadangan dan penyerangan ke dalam kota bersama TNI. Inilah unit tempur terpilih dari nagari dan laskar.
PMT, menurut Audrey Kahin, dipilih dari anggoga BPNK yang paling mampu. "Kedua barisan keamanan tersebut dimaksudkan untuk menghambat Belanda memasuki daerah pedalaman dan mencegah penduduk memihak Belanda," tulisnya.
Sementara, menurut Etmi, logistik dipenuhi oleh dapur umum. Dapur umumnya terkadang memang didirikan, terkadang berbentuk nasi bungkus yang dibagikan kepada para pejuang. Kebutuhan logistik dapur umum diperoleh dari masyarakat dalam bentuk sumbangan, seperti beras, lauk-pauk, sayur-sayuran, kayu bakar dan bahkan uang.
Brigjen Saafroedin Bahar dalam Buku 'Etnik, Elite dan Integrasi Nasional' menyebutkan, perlawanan oleh BNPK dan PMT bersama TNI efektif merepotkan Tentara Belanda. "Brigade U KL yang bertugas di Sumbar berulang kali meminta bantuan ke markas besarnya di Jakarta," tulisnya.
Saafroedin mengutipkan surat penasihat politik pemerintah Belanda untuk Sumatra Barat yang menggambarkan situasi ketika itu. "Di Minangkabau, yang berjiwa republikein sangat kuat, perlawanan pejabat-pejabat militer dan sipil terhadap pasukan-pasukan kita, tak sedikitpun kendur dan disusun dengan cara luar biasa efisien, sehingga pendudukan pusat-pusat besar oleh pasukan kita tidak ada artinya sama sekali," tulisnya pada 6 Juni 1949.
Chatib Sulaiman yang mendirikan BPNK pada 1947 dan kemudian disempurnakan dengan PMT oleh Rasjid, menurut Saafroedin adalah salah satu otak suksesnya perang gerilya zaman PDRI itu. Sulaiman, menurutnya, adalah pengagum Tan Malaka.
"Ia mengedarkan buku kecil karangan Tan Malaka, Gerpolek, ke kalangan tentara dan laskar di Sumbar, yang sangat membantu memperluas pemahaman mengenai perang umumnya dan perang rakyat khususnya," tulis Brigjen Saafroedin.
Meski Chatib Sulaiman orang sipil, tak pernah latihan militer dan tak pernah masuk kesatuan reguler, Saafroedin memuji startegi perangnya adalah gabungan visi strategis Simatupang dan kepemimpinan Nasution. "Ia adalah bapak perang semesta untuk daerah ini," tulis Saafroedin.
Namun, Chatib sendiri menjadi korban dalam perang gerilya ini. Meski strateginya berjalan, ia gugur dalam sergapan tentara Belanda di Situjuh, Limapuluh Kota pada Januari 1949. Ia tak sempat melihat betapa strategi yang telah ia bangun berjalan efektif mendukung perjuangan PDRI. (HM)