Langgam.id - Ketua Fraksi Partai Masyumi Mohammad Natsir berbicara cukup panjang hari itu di parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS). Pidato yang kemudian diterima menjadi keputusan Parlemen RIS dan dikenal sebagai 'Mosi Integral Natsir'
"...Berhubungan dengan ini, saya ingin memajukan satu mosi kepada pemerintah yang bunyinya demikian:
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini.
Memperhatikan: Suara-suara rakyat dari berbagai daerah, dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia..."
Pidato mosi integral itu dikutip Yusril Ihza Mahendra dalam tulisannya, 'Menyelamatkan NKRI; Berkaca pada Peran Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir' yang termuat dalam Buku '100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah' (2008).
Mosi integral Natsir itu langsung diterima di hari yang sama, 3 April 1950 menjadi keputusan parlemen RIS dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Peristiwa itu tepat 69 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (3/4/2019).
Mohammad Mahfud MD dalam buku yang sama menyebutkan, selain oleh Natsir mosi tersebut juga ditandatangani beberapa ketua fraksi di parlemen. Mereka adalah Soebadio Sastrasatomo, Hamid Algadri, Sakirman, K. Werdojo, AM Tambunan, Ngadiman Hardjosubroto B, Sahetapy Engel, Tjokronegoro, Moch. Tauchid dan Sirajuddin Abbas.
"Namun mosi ini lebih dikenal sebagai Mosi Integral Natsir tanpa pernah ada yang mempersoalkannya. Karena memang dimotori dan dikonsep oleh Natsir untuk kemudian dimintakan dukungan kepada fraksi-fraksi lain," tulis mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Mosi integral Natsir hadir senada dengan semangat kebatinan yang dirasakan mayoritas Bangsa Indonesia pasca Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB memang berbuah pengakuan kedaulatan atas Indonesia dan mengharuskan tentara Belanda keluar dari wilayah RI. Namun, bentuk negara menjadi serikat. Berbeda dengan yang dirancang dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
RIS membuat wilayah Nusantara terbagi jadi tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom. Republik Indonesia hanya tinggal Yogyakarta dan Sumatra (kecuali Sumatra Timur dan Sumatra Selatan) dan menjadi negara bagian dari RIS.
Deliar Noer dalam Buku 'Partai Islam di Pentas Nasional (1945-1965)' menyebutkan, mayoritas bangsa Indonesia ketika itu menilai, bentuk federal adalah cermin keinginan Belanda. Hal itu ditambah kekisruhan di berbagai negara bagian tidak memberi gairah untuk mempertahankan bentuk negara serikat.
Deliar mencontohkan, percobaan kup oleh Kapten Westerling di Bandung dan Jakarta pada minggu terakhir Januari 1950. Kemudian pemberontakan Kolonel Andi Aziz dari bekas tentara Hindia Belanda KNIL di Makassar pada bulan April tahun itu juga,
"Sebaliknya, banyak orang mencari sebab kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara pada bentuk negara serikat itu. Perasaan seperti ini tercermin dalam sidang-sidang badan perwakilan rakyat, baik di pusat maupun di daerah," tulisnya.
Dewan Perwakilan Rakyat Negara Sumatera Selatan memulai gerakan pembubaran negaranya tanggal 10 Februari 1950. Pada 7 Maret giliran Negara Pasundan membubarkan diri dengan bergabung ke Republik Indonesia (Yogyakarta). Lalu, disusul lagi oleh Negara Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura.
"Proses pembubaran diri negara-negara bagian itu cepat sekali berjalan, sehingga pada akhir Maret 1950 hanya empat negara yang tertinggal: Republik Indonesia, Kalimantan Barat, Sumatera Timur, dan Indonesia Timur," tulis Deliar Noer.
Mosi Integral Natsir hadir dalam suasana seperti itu. Namun bukan berarti jalan mudah. "Dua setengah bulan saya melaukan lobi, terutama dengan negara-negara bagian di luar Jawa," kata Natsir sebagaimana ditulis M. Dzulfikriddin, dalam Buku 'M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia'.
Di Parlemen, tulis Dzulfikriddin, Natsir juga harus melobi lintas fraksi. Sejak dari para pimpinan partai berbasis Islam, seperti Siradjuddin Abbas (Perti) dan Amelz (PSII), sampai I.J. Kasimo (Partai Katolik), A.M. Tambunan (Partai Kristen) dan Sukirman (PKI).
Hasilnya, semua berdiri di belakang mosi Natsir. Mahfud MD menyebutkan, ada dua hal yang menjadi konsen Natsir dalam mosi tersebut.
Pertama, kritik keras terhadap pemerintah yang bersikap defensif dan sepertinya membiarkan rakyat mencari penyelesaian sendiri atas masalah-masalah yang dihadapi tanpa bimbingan pemerintah. "Kedua, perlunya penyelesaian integral masalah-masala serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia pada saat itu."
Menurut Mahfud, sebenarnya dalam mosi tidak ada dorongan eksplisit untuk membentuk negara kesatuan. Meski begitu, tidak pula dapat dibantah bahwa mosi integral itu kemudian menjadi titik tolak untuk segera kembali ke negara kesatuan. "Semangat implisit di dalam mosi memang kembali ke negara kesatuan," ujarnya.
Dan, tindak lanjut pemerintah sesudah mosi, memang menggunakan mosi tersebut untuk kembali ke negara kesatuan.
Perdana Menteri Mohammad Hatta membaca dengan baik semangat mosi. Bak pepatah Minang, "alun takilek, alah takalam" (cepat dan cermat membaca situasi), langkah-langkah pemerintahan RIS di bawah Perdana Menteri Mohammad Hatta menerjemahkan dengan baik mosi Natsir.
Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan membentuk komite persiapan yang melibatkan wakil-wakil semua negara bagian. Pembicaraan antara Pemerintah RiS di bawah Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Pemerintah Republik Indonesia di bawah Presiden Mr. Assaat tanggal 19 Mei 1950 menghasilkan piagam.
Salah satu isi piagam, sebagaimana dikutip Mahfud, dalam waktu yang singkat akan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diproklamasikan.
Hasil finalnya, Presiden Sukarno menyampaikan Naskah Piagam Pernyataan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sidang gabungan DPR dan Senat RIS pada 15 Agustus 1950.
Yang diperjuangkan Natsir, menurut Mahfud, lebih dari sekedar soal negara kesatuan atau federal. Tetapi lebih besar dari itu, yaitu, persatuan, untuk menyelamatkan Republik . (HM)