Radjab, Rivai, dan Pesona Barat

Radjab, Rivai, dan Pesona Barat

Deddy Arsya, pengajar sejarah di IAIN Bukittinggi

Radjab adalah seorang Barat dari Sumpur. Pada pikiran dan sikap. Tapi entah pada batin. Setidak-tidaknya itulah kesan yang saya dapatkan dari membaca beberapa karangannya.

Rijal, si anak dalam masa kecil di kampung, bercita-citakan menjadi masinis. Dia terpukau pada kereta api dan ingin menjadi ‘pengendalinya’. (Tapi siapa di Minangkabau yang tidak terpukau pada ular besi itu ketika mulai beroperasi pada akhir abad ke-19?). Dia juga terpana pada arloji dan jas. Pada sepatu dan pantolan. Pada mobil dan kureta angin. Pada roman-roman daripada cerita rakyat atau hikayat. Pada narasi-narasi sains di sekolah-sekolah umum daripada hapalan-hapalan agama di surau dan madrasah.  (Tapi, masa itu, siapa pula yang tidak terpesona pada item-item budaya-material Barat yang disebutkan tersebut?).

Dia membangga-banggakan rasionalisme-objektif dan memukul-jatuh mistisisme-subjektif orang kampungnya.  Lihatlah bagaimana dia mengomentari kaum ulama dan kaum adat. Cara pandang mereka terhadap gempa bumi (bumi di telinga lembu); perkawinan (pasangan hidup) dan poligami; pendidikan dan pengajaran; cita-cita dan mimpi-mimpi mereka tidak mengikuti rel yang membawa pada kemajuan. Mereka terlalu kuno dan kolot.

Dia menginginkan individu yang kuat dan mandiri, dan memandang komunalisme-kolektivisme puaknya sebagai penghambat bagi lahirnya kedirian yang merdeka itu (mematikan sikap bebas, keberanian moril, dan kepercayaan atas kesanggupan sendiri)—seperti dalam Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Dia mengedepankan developmentalisme (kemajuan yang direpresentasikan mesin-mesin industrialisasi) dan memunggungi tatakrama lama yang dibalut petatah dan petitih—seperti dalam Catatan di Sumatra. Dia percaya pada budaya efisiensi, bukan pada budaya ‘adiluhungnya’ orang kampungnya sendiri yang sarat dengan upacara-upacara yang menjemukannya, tabiat-tabiat sehari-hari mereka membuatnya muak, hiburan-hiburan dan permainan-permainan rakyat lebih tampak sebagai ‘perayaan kemalasan’. Semua itu sudah membatu baginya, ‘sudah pantas dimuseumkan’.

Tumbuhnya cita-cita di sebagian kita untuk memasuki apa yang disebut ‘dunia maju’ sebagai yang diperlihatkan dunia Barat. Itu gejala umum akhir abad ke-19 dan semakin menaik pada awal-awal abad ke-20, setidaknya itulah yang dicatat Taufik Abdullah dalam pengantar untuk buku Yamamoto Haruki, Gelora Menuju Indonesia Baru.

Dan Minangkabau (juga di dunia terjajah pada umumnya tentu) bukan hanya Radjab dengan Rijal-nya, ada contoh lain yang mengalami keterpesonaan yang sama.

A. Rivai mengalami sindrom yang lebih akut. Orang Palembayan itu, “lebih kebaratannja dari orang Barat sendiri," kata M. Amir dalam Bunga Rampai Karangan yang terbit pada 1940.

Dia, seorang dokter asal Minangkabau keluaran STOVIA, yang ketika tamat sekolah dokter segera saja yang pertama-tama terpikir olehnya, pergi ke studio foto. Dia hendak mengabadikan kesuksesannya dengan berlagak serupa Belanda menggunakan perkakas dari penemuan Eropa. Parada Harahap, yang menulis biografi dokter itu, Riwajat Dr. A. Rivai, mengatakan: "Ketika pemoeda ini ditahoen 1893 loeloes mendjadi dokter, ia poen pergilah ketoekang gambar. Berpakaian sebagoes-bagoesnja sebagai orang Belanda. Tjeplau dikepala, dasi hitam melilit dileher."

Kata M. Amir, ketika mengulas buku biografi itu, Rivai telah terbaratkan dalam segala hal. Pikiran-pikirannya, sikap hidupnya, mungkin juga batinnya. Dia "tjondong kemasjarakat barat, jang hanja mengenal 'toean' itu".

Orangtuanya memutuskan hubungan dengannya dan mengganggapnya sudah menjadi ‘kafir’ karena menikahi perempuan Eropa. Sepanjang hidupnya dia memperistri berturut-turut perempuan Belanda, Inggris, lalu Swiss. Dia benci pada pergaulan secara Timur, yang mendorong dia meninggalkan Minangkabau. Dia merantau ke Eropa tidak saja dengan tubuh dan pikirannya, melainkan juga dengan jiwanya.

Di Eropa, tempat dia tinggal bersama istri-Belandanya, dia menulis karangan dan mengelola surat kabar bernama Pewarta Wolanda, yang menyebarkan “pengetahuan tentang Negeri Belanda di Hindia, serta memberikan sumbangan dalam usaha lebih mendekatkan bangsa Pribumi dengan ‘penjajahnya’ (bangsa toewannja),” demikian tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, juga dalam "Early Indonesian emancipation: Abdur Rivai, van Heutsz and the Bintang Hindia".

Sikapnya, pikirannya, dan batinnya yang "Kebelanda-belandaan" itu bersebab "pengaroeh lingkoengan", kata M. Amir. Murid-murid sekolah dokter Jawa (STOVIA) bergaul dengan masyarakat Indo yang dianggap mereka berperadaban Eropa juga. Hal itulah yang membawanya menikahi "seorang njonja Belanda, djanda jang soedah doea anaknja di Kwitang".

Akan tetapi, bukan semata karena pengaruh lingkungan itu, Rivai sendiri juga tertarik hatinya kepada masyarakat Eropa, bangsa Eropa, dan kehidupan cara Eropa. Rasa hina di tengah masyarakat pribumi masa itu dapat dihilangkan dengan cita-cita ingin seperti Belanda, kalau perlu bisa melebihi Belanda. Mereka, kaum terpelajar itu, semua ingin berpakaian, minum dan makan, berbicara, membaca buku dengan cara Eropa. Mereka begitu jauh ternganga dan terpesona pada Barat. Rivai bahkan minta "dinaturaliseer djadi Belanda".

Tapi di saat yang sama, upaya itu juga diikuti sikap ‘memperkutuki’ peradaban mereka sendiri—apakah yang bersumber dari Islam atau yang sebelumnya lagi—sebagai kuno dan biadab. “Mereka mulai membayangkan diri dalam segala hal lebih hebat daripada lingkungannnya yang lama,” begitu tulis Poeze mengutip Fokker.

Lalu apa akhir bagi M. Radjab dan A. Rivai?

Di usia tua, Radjab ditinggal-mati istri yang dicintainya. Dia menjadi orangtua-tunggal bagi 10 orang anak-anaknya yang masih kecil-kecil.

Dia harus membesarkan mereka seorang diri di saat dia sendiri tidak bekerja. Dia hidup dalam kesulitan keuangan sehingga terpaksa menjual 4.000 buku koleksinya ke tukang loak. Dia sarjana, dia wartawan, dia pengarang, tetapi sekaligus tunawiswa, demikian “keluh Radjab dengan rasa frustasi”—begitu dicatat Farida Indriastuti yang intens meneliti Radjab.

Seandainya dia masih terikat pada semangat komunalitas puaknya, tentu tak akan ada yang membiarkannya susah sendirian di hari tua. Tapi toh dia bertahan dengan kemampuannya sebagai individu yang ‘berdaya’ lagi ‘mandiri’, bukan lagi anggota dari sebuah komunitas-komunal yang dulu (pernah) dicercanya sebagai penyebab lemahnya kesanggupan individu (?).

Radjab meninggal dalam perjalanan pulang ke Padang. Dia dimakamkan di kampungnya nun di tepi danau Singkarak yang indah.

Barangkali akan begitu juga dengan A. Rivai?

Pada titik ini kisah keduanya berbeda. Pada masa tuanya, Rivai pulang ke tanah air, membuka praktik sebentar di Tanah Abang, sebelum raganya digerogoti penyakit. Lalu dia menyepi dan matinya sunyi di Bandung, sesepi dan sesunyi kehidupannya pula di Belanda.

Palembayan sejak ditinggalkan entah pernah lagi dijenguknya entah tidak.

Begitulah orang besar kita, "satoe djiwa Melajoe jang kena hypnose Barat?" kata M. Amir bertanya.


Deddy Arsya, pengajar sejarah di IAIN Bukittinggi

Tag:

Baca Juga

Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Tanjung Barulak Menolak Pajak
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas