Di negara-negara maju seperti Jepang, UMKM sudah lama menjadi mitra korporasi besar, tak hanya di level nasional, tapi juga internasional. Spare part produksi UMKM, misalnya, dipasok ke pabrik-pabrik raksasa otomotif seperti Toyota, yang pasar mobilnya ada di seluruh dunia. Sementara itu, di Indonesia, posisi UMKM masih lemah. Yang bisa bermitra dengan korporasi baru sekitar 5%, dari total sekitar 64,2 juta unit. UMKM menyerap sekitar 90 an persen dari total tenaga kerja RI, namun sumbangannya terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih terbilang kecil, sekitar 60,3%.
Saat ini, berbeda dengan ketika krisis moneter tahun 1998 di mana UMKM justru menjadi penopang ekonomi --bahkan ekspornya naik 350%--, tapi dampak pandemi Covid-19 sangat memukul UMKM. Selain itu, pembatasan sosial untuk memutus mata rantai penularan virus dari Tiongkok yang menyebar cepat antarmanusia tersebut juga membatasi kegiatan usaha UMKM. Oleh sebab itu, sudah cukup tepat Langkah yang diambil pemerintah menaikkan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang antara lain untuk UMKM, dari Rp 677,2 triliun menjadi Rp 695,2 triliun.
Dari dana untuk penanganan dampak pandemik Covid-19 tersebut, sebesar Rp 123,46 triliun merupakan insentif UMKM. UMKM yang dalam masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) banyak yang tidak bisa membuka warung, toko, atau tempat usaha, juga mendapat bantuan lewat program perlindungan sosial, yang totalnya sebesar Rp 203,90 triliun. Sementara itu, anggaran PEN untuk sektor kesehatan tetap Rp 87,55 triliun. Anggaran untuk pembiayaan korporasi naik Rp 9 triliun menjadi Rp 53,57 triliun dan insentif usaha ditetapkan Rp 120,61 triliun.
Untuk alokasi sektoral kementerian/ lembaga dan pemda, dinaikkan Rp 9 triliun menjadi Rp 106,11 triliun. Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM juga memberikan pelatihan dan pendampingan, agar UMKM bisa meningkatkan kapasitasnya dan mampu beradaptasi untuk berjualan secara online. Pasalnya, transaksi e-commerce yang kini sangat dibutuhkan masyarakat ini meningkat penjualannya sekitar 26 persen, dengan jumlah konsumen bahkan melonjak 51 persen.
Namun, di sisi lain, hingga kini baru 8 juta pelaku usaha UMKM atau 13%-nya yang bisa terhubung secara online. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu mempercepat pembangunan infrastruktur internet hingga ke desa-desa, sehingga UMKM bisa mengakses pelatihan baik untuk berjualan online maupun meningkatkan kualitas produk, pengolahan, standarisasi, hingga melakukan pengemasan yang baik dan menarik. Apalagi, pemerintah sudah meluncurkan Kartu Prakerja dengan pelatihan bersertifikat secara online, offline, plus insentif pasca pelatihan.
Selain itu, upaya Kementerian Koperasi dan UKM mendorong belanja pemerintah sekitar Rp 400 triliun untuk pembelian produk UMKM lokal harus didukung penuh kementerian/ lembaga yang lain dan pemda-pemda. Produk-produk UMKM semestinya bisa dipasang di Katalog Elektronik atau E-Catalogue, yang merupakan sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis, dan harga barang/ jasa tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah, yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Lebih dari itu, pemerintah juga perlu mempermudah perizinan agar UMKM bisa mengubah bisnis dan produk yang kini dibutuhkan masyarakat, seperti izin kesehatan ataupun izin edar dari Kementerian Perdagangan yang masih susah didapat.
Upaya lain adalah membantu meningkatkan kapasitas UMKM agar bisa bermitra dengan korporasi dengan prinsip saling menguntungkan, termasuk dengan korporasi swasta. Di sisi lain, korporasi swasta juga perlu mendapat insentif yang bisa mendorong lebih banyak kemitraan dengan UMKM, misalnya mendapatkan restrukturisasi utangnya baik berupa kredit bank, obligasi, maupun surat utang yang lain. Selain itu, mendapatkan kredit modal kerja baru, penjaminan kredit, dan subsidi bunga agar tidak lagi harus menanggung bunga bank yang hingga kini masih 11- 12 persen, jauh lebih tinggi dari competitor seperti Thailand yang hanya 7 persen.
Dengan demikian, sama seperti di Jepang yang menggelontorkan insentif dan bantuan kredit maupun pembelian surat utang korporasi swasta besar-besaran, hal yang sama juga bisa dilakukan Indonesia. Pasalnya, ini juga sekaligus berarti telah menyelamatkan UMKM. UMKM yang hidup dalam kemitraan yang baik dengan korporasi swasta plus perlakuan pemerintah yang tidak menganaktirikan siapa pun inilah yang membuat semua pelaku usaha bisa kembali bangkit beroperasi dan beradaptasi, untuk mempercepat pemulihan ekonomi sekaligus mengamankan pelaksanaan protokol kesehatan. Dengan demikian, masalah pengangguran dan kemiskinan yang kini bertambah pun segera dapat diatasi.
Jadi, bagaimanapun, pengembangan UMKM nasional adalah salah satu kunci utama kemajuan ekonomi nasional ke depan. Untuk itu, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan ke depannya.
Pertama, negara masih membutuhkan perannya, sehingga pemerintah harus mem-back up dan memberikan kemudahan. UMKM bahkan diberi stimulus karena pertimbangan membuka banyak lapangan kerja dan menyerap 96 persen lebih angkatan kerja, menopang keberlangsungan perekonomian nasional, menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari (mikro 63 juta unit, kecil 783.000 unit), mampu mengatasi kekurangan barang konsumsi, menjaga daya beli masyarakat, dan mengurangi risiko PHK.
Kedua, UMKM harus mampu bangkit dan melakukan metamorfosis atau transformasi. Transformasi adalah perubahan rupa, baik bentuk, sifat, maupun fungsinya. Dalam situasi sulit seperti sekarang UMKM harus berani mengambil langkah dengan mengubah bentuk dan jenis usahanya. Jika perlu banting setir dan beralih ke beberapa produk dan jasa yang tumbuh selama pandemic.
Menurut analisis AC Nielsen, beberapa produk yang tumbuh signifikan yaitu hand sanitizer 199 persen, sabun tangan cair 285 persen, antiseptik cair 233 persen, dan tisu basah 151 persen. Atau yang tumbuh selama pandemi, yaitu toiletries dan cosmetics 59 persen; peralatan rumah tangga 39 persen; makanan dan minuman 28 persen; produk peralatan 24 persen; transportasi, travel, finansial 22 persen; obat dan kimia 12 persen; komunikasi 11 persen; serta ritel dan jasa 3 persen.
Jadi, peluang UMKM sebenarnya tetap besar seiring dengan perubahan tantangan. Oleh karena itu, UMKM harus melakukan transformasi dan inovasi, dari yang semula sifatnya direct pay menjadi layanan secara online, misalnya. Selain itu, juga memperluas fungsi promosi melalui media sosial agar semakin banyak produknya diketahui masyarakat. Hasil survei Nielsen menjadi masuk akal untuk dijadikan sebagai pertimbangan. Tentu kita tak boleh terpaku ke bidang-bidang tertentu, peluang potensial juga sama untuk sektor pertanian, peternakan, perkebunan, dan hasil laut, misalnya.
Ketiga, menyelesaikan masalah UMKM terkait modal usaha, pemasaran, dan distribusinya. Untuk mengatasinya, dibutuhkan terobosan dan upaya kebersamaan. Yaitu melalui gotong royong. Kemitraan, dan konsorsium. Kini, sudah saatnya ditabuh genderang kebersamaan para UMKM untuk bergotong royong dan saling membantu dalam kondisi emergency.
Apa keuntungannya? Pelaku UMKM mampu bertahan dan memiliki strategi pemulihan usaha yang kolaboratif, lebih percaya diri untuk survive dan melakukan re-branding, manajemen lebih solid dan efisien, memperkecil persaingan usaha yang sejenis, terbentuk soliditas atas dasar rasa senasib sepenanggungan, tidak bergantung pada pinjaman bank karena mampu mandiri, semangat untuk melakukan mitigasi risiko bersama secara tanggung renteng, usahanya menjadi lebih fokus dan pangsanya semakin luas, serta mampu menetapkan dan mencapai target yang diharapkan.
Keempat, dibutuhkan dukungan beberapa kementerian secara terintegrasi dan kolaboratif. Misalnya, bantuan Kemenko Perekonomian dan Kemnaker terkait Kartu Prakerja agar lebih fungsional untuk sekor UMKM khususnya bagi mereka yang terkena PHK. Peran Kemenkop UKM dan Kementerian BUMN juga diperlukan melalui program pembelian produk UMKM oleh BUMN, serta implementasi digitalisasi UMKM yang akan menggerakkan kembali usaha UMKM yang terpuruk.
Dukungan kementerian lain juga sangat diperlukan. Kemendes dan Kemenparekraf mendukung melalui dana tunai desa serta pemberdayaan potensi usaha desa wisata; Kementan dan Kemen ATR diharapkan mampu mendukung ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan domestik, dan penyediaan lahan tidur yang dijadikan lahan produktif pertanian; Kemenko Marinves dan KKP sebagai otoritas yang akan mengelola sumber daya kelautan; Kominfo dan Kemendikbud harus mampu menciptakan entrepreneur muda berbasis digital untuk membantu pemasaran dan distribusi UMKM secara online, serta Kemenko PMK dan KemenPUPR untuk pemberdayaan dan penciptaan lapangan kerja baru di proyek-proyek PUPR.
Nofi Candra, Anggota DPD RI 2014-2019