Cahaya adalah penanda lain dari modernitas. Abad cahaya bahasa lain dari abad modern—negasi dari abad gelap yang berlalu. Cahaya itu, di antaranya, dihasilkan dari listrik. “Oh, bohlam Philips!” kata sebuah roman pergaulan penuh keterpukauan.
Sejak 1860, pemerintah kolonial telah memperkenalkan lampu penerangan gas di Hindia. Menjelang akhir abad ke-19, lalu datanglah listrik. Kata Denys Lombard, dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan), kehadiran listrik telah memungkinkan pemasangan “lampu cor dan lentera jalan” yang keduanya “didatangkan dari Eropa”.
Sejak saat itu, di pinggir jalan raya, juga di dekat rel kereta api (dan stasiun), yang lintang-melintang di punggung kota-kota Hindia, akan semakin sempurna dengan diterangi lampu penerang.
Sejak itu, kalau dapat, tak boleh ada tempat yang dibiarkan gelap.
Kita tidak seberapa banyak tahu tentang kota-kota di wilayah ini ketika malam. Teknologi fotografi belum mampu menangkap objek pada malam hari serupa sekarang. Mungkin itu sebabnya sejauh ini tidak seberapa foto dari zaman itu yang mengabadikan momen-momen kota-kota ketika malam.
Tapi sejauh keterangan yang tersedia kita tahu kalau di rumah-rumah orang Eropa dan elite-elite pribumi, juga di hotel dan perkantoran, lampu-listrik telah dinyalakan ketika matahari berembang tenggelam.
Lihatlah pemandangan sebuah rumah pejabat pribumi, ada lampu-lampu besar di plafonnya, yang ketika malam tentu akan dinyalakan jongos hanya dengan sekali ‘klik’ pada saklar.
Lihatlah juga misalnya foto sebuah hotel di Padang Panjang, Hotel Merapi, di mana terdapat sebuah lampu penerangan besar di halamannya.
Di pusat keramaian, seperti pada pekan malam, lampu-listrik telah menghiasi pemandangan. Tempat dan ruang terbuka itu menjadi bermandi cahaya. Semisal Tulis St. Sati dalam Sengsara Membawa Nikmat yang menceritakan kepada kita tentang sebuah pekan keramaian di Fort de Kock (Bukittinggi) berikut ini: “Sesampai di pintu masuk, takjub sungguh Midun melihat pintu gerbang pasar malam itu. Gaba-gaba diterangi dengan berpuluh-puluh lampu, melukiskan ukuran yang amat indah-indah. Balai dihiasi dengan lampu yang berwarna-warna. Huruf-huruf pada gaba-gaba dan di gonjong balai, seakan-akan terbuat dari lampu laiknya.”
Pandji Poestaka juga melaporkan tentang sebuah pameran dengan tumpah-ruah cahaya di Padang. Pada Desember 1932, majalah keluaran Balai Poestaka itu memberitakan tentang sebuah pameran yang ditaja INS Kayutanam. Dalam pameran itu, “tentoonstelling sekolah”, demikian disebut, dipamerkan air mancur yang "semoea itoe diterangi dengan lampoe listrik."
Keterang-benderangan adalah hasil dari pembaratan yang dimulai sejak zaman penjajahan. Kekuasaan kolonial membangun dikotomi: terang sebagai kemajuan dan gelap sebagai keterbelakangan. Oleh sebab itu, kaum inlander ingin hidup dalam berterang-terang seperti tuan-tuan penjajah mereka. Bohlam dipasang menggantikan lampu-lampu teplok, dan klik, listrik mengalir lalu seluruh ruang bermandi cahaya.
Tetapi keterang-benderangan itu juga bisa berarti upaya penguasaan yang satu terhadap yang lain. Modernitas toh memang bisa berarti keduanya—kemajuan dan penguasaan?
Begini, kekuasaan takut pada kegelapan. Kegelapan memungkinkan kejahatan bekerja. Sementara kekuasaan ingin segalanya terlihat—panopticon, demikian kata Foucault. Dengan semua terlihat, semua dapat diawasi, semua dapat diatur, semua dapat didisiplinkan, dan pada akhirnya jika sudah begitu semua dapat dikuasai atau ditaklukkan.
Di zaman internet ini, kita telah berada di dunia yang sebenar-benar terang melebihi yang bisa dibuat bohlam. Dalam arti konotatif maupun denotatif. Bermandi cahaya. Nyaris tak ada lagi wilayah gelap-tak terlihat dari ruang hidup kita.
Di dunia yang kini kita begitu saling terhubung ini semua justru terlihat dan ingin terlihat. Aktifitas dan kegiatan kita, perasaan dan pikiran kita, kesukaan dan kebencian kita. Kita pamerkan apa saja dari hidup kita ke tengah hiruk-pikuk persabungan ‘cahaya’. Jika kita tidak terlibat dalam semua itu, tidak mengirim pesan, tidak men-twitt dan memperbaharui status, kita jadi berisiko ‘tidak kelihatan’.
Tapi jangan-jangan, dengan begitu, kita tak tahu lagi cara menikmati kegelapan—ketidak-terlihatan?
Barangkali itu sebabnya kita jadi rindu bergelap-gelap, dalam gelap terasa lebih dapat kita bersendiri-sendiri dengan diri. Bisa terasa kalau kita ikut lesap dalam ‘tak ada’. Dalam tak terlihat. Bebas-merdeka kita dalam ketiadaan ‘cahaya’—terang-benderang yang justru bersifat mengawasi dan menguasai?
Deddy Arsya, Dosen Sejarah IAIN Bukittinggi