Penyebaran virus corona secara nasional, pertanggal 3 Juni 2020 masih mengalami peningkatan, berdasarkan data yang dirilis oleh team gugus tugas percepatan penangan Covid-19 di Indonesia terkonfirmasi positif sebanyak 28.233, dari jumlah tersebut 8.406 dinyatakan sembuh dan 1.698 meninggal dunia. Untuk Provinsi Sumatera Barat, sampai dengan 3 Juni 2020 terkonfirmasi positif 583, dari jumlah tersebut 277 dinyatakan sembuh dan 25 meninggal dunia.
Penyakit ini pertama kali dideteksi kemunculannya di Wuhan, Tiongkok. Setelah ditetapkannya pandemi Covid-19, tentu saja negara-negara yang telah terjangkit harus melakukan berbagai upaya untuk menghentikannya. WHO meminta di semua negara, pemerintah harus mengambil alih, melakukan pendekatan kemasyarakatan, membangun strategi yang komprehensif untuk mencegah infeksi, menyelamatkan kehidupan dan meminimalisir dampak.
Meskipun tingkat kematian akibat virus ini 2,3%, namun terdapat kelompok paling beresiko yakni orang tua dan individu dengan kondisi medis yang sudah ada riwayat sakit sebelumnya (tekanan darah tinggi, gangguan jantung, diabetes, asma). WHO dalam laporannya bahwa cara penyebaran virus corona adalah melalui tetesan air liur (droplets) atau muntah (fomites), dalam kontak dekat tanpa pelindung. Transmisi virus corona terjadi antara yang telah terinfeksi dengan orang tanpa patogen penyakit.
Covid-19 menginfeksi ke berbagai lapisan masyarakat, namun virus ini memiliki efek yang sangat berbeda pada kelompok orang yang berbeda, misalnya usia lanjut dan pada orang-orang dengan penyakit penyerta (komorbiditas).
Perbedaan lain yang menonjol adalah berkaitan dengan gender. Covid-19 mempengaruhi perempuan dan pria secara berbeda, bukan hanya dari cara virus membuat sakit tapi juga mempengaruhi prospek kesehatan dan ekonomi jangka panjang. Dari sisi kesehatan pilihan gaya hidup laki-laki yang menjadi perokok, beresiko lebih tinggi terhadap penularan Covid-19, dari beberapa referensi.
Sebagai bagian dari upaya pencegahan, pemerintah melalui Keputusan Presiden RI No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), seperti tinggal di rumah (stay at home), sering cuci tangan menggunakan sabun dan di bawah air yang mengalir dan menutup mulut serta hidung saat bersin atau batuk. Langkah pencegahan lain adalah membiasakan jaga jarak dengan anggota masyarakat lain. Dengan jarak satu meter, risiko tertular Covid-19 bisa ditekan. Selain itu tiap anggota masyarakat harus menggunakan masker ketika terpaksa harus keluar rumah untuk suatu keperluan.
Presiden juga menerbitkan PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang merupakan tindak lanjut dari peningkatan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian yang meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Berbagai kementerian dan lembaga telah berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan dalam upaya pencegahan dan penanganan penularanCovid-19 in sesuai tugas dan fungsinya. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian PPPA adalah dengan menyelenggarakan Gerakan Bersama Jaga Keluarga Kita (#Berjarak) untuk melindungi perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dari bahaya paparan Covid-19 di Indonesia.
Gerakan Berjarak ini diwujudkan dalam 10 aksi yaitu: tetap di rumah, hak perempuan dan anak terpenuhi, alat perlindungan diri tersedia, jaga diri, keluarga dan lingkungan, selanjutnya membuat tanda peringatan, menjaga jarak fisik, mengawasi keluar masuk orang dan barang, Menyebarkan informasi yang benar, aktivasi media komunikasi online dan aktivasi rumah rujukan.
Berbagai elemen masyarakat dan komponen anak bangsa ikut merespon kondisi yang ada ini dengan tujuan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia dengan menggalang kepedulian dalam bentuk donasi, penyebaran masker, pemberian alat pelindung diri untuk tenaga kesehatan, penyebaran hand sanitizer, kampanye social distancing, penyuluhan penerapan pola hidup bersih serta sehat dan melakukan kerja sama lintas organisasi bahkan lintas iman dengan semangat gotong royong semoga covid19 hilang dari bumi nusantara.
Dengan semangat itulah, pada tanggal 3 – 4 Juni 2020 Forum Lintas Agama Untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (FORLAPPA) melakukan workshop secara daring dengan mengundang tokoh agama dan tokoh masyarakat serta perwakilan organisasi kemasyarakatan/kepemudaan lintas agama dari Sabang sampai Papua yang berjumlah 213 orang peserta. Kegiatan yang sangat luar biasa ini mendukung program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang telah melaunching Gerakan Bersama Jaga Keluarga Kita (#Berjarak).
Sebagai salah seorang peserta yang mewakili Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumatera Barat sangat mengapresiasi kegiatan ini, karena Gerakan Berjarak ini adalah membangun platform komunikasi untuk memastikan kondisi perempuan, anak dan keluarga aman dari bahaya paparan Covid-19 di seluruh Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya adalah bertujuan untuk menggalang kekuatan jejaring, kader dan relawan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di seluruh Indonesia untuk bahu membahu dan berbagi sumberdaya untuk memastikan terpenuhinya hak-hak dasar perempuan dan anak selama masa darurat pandemi Covid-19.
Dengan berbagai kebijakan pemerintah tersebut, masyarakat termasuk perempuan dan anak tetap harus melakukan seluruh kegiatan di rumah (stay at home). Di satu sisi, upaya pencegahan penularan Covid-19 dengan stay at home memiliki manfaat yang besar. Namun di sisi lainnya menimbulkan berbagai permasalahan dalam diri seseorang, seperti merasa takut yang berlebihan, merasakan kebosanan dan kejenuhan, menimbulkan rasa ketidakpedulian terhadap lingkungan dan sebagainya. Hal ini mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku terhadap lingkungan sosialnya. Dalam situasi seperti ini perempuan dan anak yang paling rentan terdampak.
Permasalahan lainnya yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat terutama perempuan dan anak antara lain adalah terjadinya kekerasan. Dilansir dari VOA (5/4/2020), Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan, bahwa meningkatnya tekanan sosial dan ekonomi akibat pandemi virus Corona telah menyebabkan meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada perempuan dan anak-anak perempuan. Bagi banyak perempuan dan anak perempuan, ancaman terbesar ada di rumah yang seharusnya paling aman. Kekerasan anak
yang dilakukan orangtua juga seringkali terjadi saat orangtua mendampingi anak-anaknya beraktivitas di rumah termasuk saat mendampingi anak belajar.
Hal lainnya terkait dengan kondisi ekonomi keluarga, di mana istri dan/atau suami mengalami penurunan drastis pada penghasilannya, karena antara lain banyak perempuan dan laki-laki yang mengalami pemutusan pekerjaan dari perusahaannya, banyaknya suami yang menurun penghasilannya bahkan tidak dapat lagi memberikan nafkah financial untuk bisa menghidupi keluarganya, para pelaku usaha kecil atau mikro banyak yang gulung tikar atau tidak bisa survival karena sepinya bahkan tidak adanya pembeli/pelanggan, dan sebagainya.
Walaupun permasalahan lainnya masih beragam, namun yang terbesar muncul adalah dua masalah tersebut di atas, yaitu kekerasan dan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari data kesehatan jiwa (Sejiwa) yang masuk ke nomor layanan pengaduan KemenPPPA dari tanggal 10–22 Mei 2020 yaitu dari 453 kasus dewasa (323 kasus) dan anak (130 kasus) yang masuk terdapat 227 kasus KDR dan 27 kasus kekerasan lainnya pada dewasa serta 27 kasus kekerasan pada anak. Dari 227 kasus KDRT, dapat diketahui bahwa sebanyak 211 laporan KDRT dilakukan oleh suami terhadap istri dan anak-anak. Sisanya sebanyak 16 laporan dilakukan oleh istri, adik, kakak, mertua dan saudara
Terdapat 72 kasus kekerasan ekonomi berupa penelantaran atau tidak dinafkahi suami. Sebanyak 19 kasus yang masuk berupa kombinasi kasus kekerasan ekonomi dengan kekerasan fisik ataupun psikis. Ada 53 kasus yang masuk yang murni pengaduan tentang kekerasan ekonomi. Selanjutnya, sebanyak 71 kasus kekerasan fisik. Sebanyak 28 kasus yang masuk berupa kombinasi kasus kekerasan fisik dengan kekerasan ekonomi ataupun psikis. Ada 43 kasus yang masuk yang murni pengaduan tentang kekerasan fisik. Sebanyak 51 kasus kekerasan psikis. Sebanyak 22 kasus yang masuk berupa kombinasi kasus kekerasan psikis dengan kekerasan ekonomi ataupun fisik. Ada 29 kasus yang masuk yang murni pengaduan tentang kekerasan psikis. Terakhir, sebanyak 62 kasus yang masuk yang hanya menyebutkan bahwa pelapor mendapatkan KDRT tanpa menyebutkan lebih rinci jenis KDRT yang didapat.
Sedangkan 27 kasus kekerasan lainnya rinciannya sebagai berikut: kekerasan seksual 11 kasus, kekerasan fisik 3 kasus (tetangga, rentenir, dan institusi pendidikan), kekerasan psikis sebanyak 4 kasus, sebanyak 4 kasus human trafficking, sebanyak 3 kasus kekerasan ekonomi (di tempat kerja dan penelantaran lansia), sebanyak 2 kasus bullying, sebanyak 1 kasus kekerasan dalam berpacaran (fisik).
Untuk kasus anak, terdapat sebanyak 67 kasus kekerasan pada anak, yang terdiri dari kasus kekerasan fisik, ekonomi, psikis dan seksual. Ada 13 kasus yg berkaitan dengan hak kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dari anak di mana para pelapor mengeluhkan permasalahan ekonomi mereka yang tidak mampu untuk membiayai kebutuhan anak. Dengan demikian, hal ini perlu ditangani dengan serius karena bila tidak akan mengakibatkan dampak lain yang lebih fatal.
Salah satu upaya penanganan masalah-masalah di masa pandemi Covid-19 ini adalah dengan memberikan bantuan psikososial. Psikososial merupakan hubungan antara kesehatan mental atau emosional seseorang dengan kondisi sosialnya. Psikososial merupakan gabungan antara psikologis dan sosial.
Dukungan Psikososial merupakan bantuan yang diberikan untuk memfasilitasi kemampuan untuk bangkit kembali (resiliensi) yang ada dalam diri individu, keluarga dan komunitas, sehingga mampu bangkit kembali dari dampak situasi krisis yang dialaminya dan kembali melanjutkan hidup (the new normal). Dukungan psikososial berfokus untuk menguatkan faktor resiliensi (aspek psikologis) dan relasi sosial individu dengan lingkungannya (aspek sosial).
Tokoh Agama dan organisasi keagamaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan dukungan psikososial kepada masyarakat pada umumnya dan kepada umat masing-masing agama pada khususnya. Tokoh agama dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai stigma yang muncul terkait Covid-19 ini. Di samping itu, tokoh Agama juga dapat memberikan rasa tenang, nyaman, mendorong masyarakat untuk selalu berdoa dan sabar.
Belajar dari pengalaman, peran vital dan positif dapat dimainkan oleh para pemimpin agama dari semua tradisi dalam krisis kesehatan di negara kita pengalaman dengan wabah lain, terutama selama wabah Ebola di Afrika Barat dan Tengah. Para tokoh agama memainkan peran penting dalam menenangkan umatnya, persiapan umat mereka dalam mempromosikan perilaku hidup yang aman dan sehat untuk mengurangi penyebaran, dalam menangani stigma dan ketakutan di masyarakat dan dalam memberikan perawatan praktis untuk mereka yang paling rentan. Melihat pentingnya peran tersebut, maka para tokoh agama perlu dikapasitasi dengan pemahaman yang benar terkait Covid-19, serta diperlengkapi dengan kemampuan melakukan pendampingan psikososial agar dapat secara aktif memberikan dukungan sosial di komunitas umatnya.
Namun demikian, tokoh agama juga tidak dapat bekerja sendiri dalam memberikan dukungan psikososial ini. Tokoh Agama dapat bekerjasama dengan Unit yang menangani perempuan dan anak di daerah dan lembaga-lembaga yang menangani perempua dan anak yang sudah terbentuk di daerah, seperti Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD), Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Forum PUSPA), Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan sebagainya.
Deri Rizal, SHI, MH (Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Sumbar dan Dosen Akademi Keperawatan (AKPER) ‘Aisyiyah Padang)