Beberapa hari yang lalu, saya melihat beberapa citra ‘digital flyer’ yang beredar di laman Facebook yang menampilkan gambar Mark Zuckerberg dengan latar belakang kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Mark Zuckerberg, CEO Facebook dikabarkan terpesona dengan pemikiran Ibn Khaldun yang dia anggap jernih dan melampaui zamannya.
Setelah beberapa waktu saya menyadari bahwa flyer itu disebar oleh para pencinta Ibnu Khaldun dalam rangka mengenang hari lahir Ibnu Khaldun, alias Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Ia adalah seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Ia dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 di Tunisia dan wafat 19 Maret 1406 di Kairo, Mesir.
Ibnu Khaldun adalah pejabat sekaligus intelektual terkemuka pada zamannya sekaligus pada zaman sekarang, terutama dalam konsorsium keilmuan sejarah, sosiologi dan ekonomi. Perjalanan dinasnya ke berbagai kota telah memberi suplai gizi yang besar bagi perkembangan intelektualnya. Jelaslah bahwa Ibnu Khaldun bukanlah intelektual “kaleng-kaleng”, intelektual menara gading. Riset yang ia lakukan untuk menulis karya-karyanya merupakan refleksi pengalaman pribadi, pengamatan yang cermat selama berkarir dan tak luput melakukan pembacaan kritis terhadap karya-karya penulis terdahulu.
Selain itu, Ibnu Khaldun sekaligus membangun “trend positif” dalam khazanah intelektual Islam, yaitu trend menulis bagi pejabat-pejabat pensiunan. Hari ini, boleh dihitung betapa banyak pejabat-pejabat negeri yang sudah melakukan perjalanan dinas ke berbagai negeri, namun berapa banyak tulisan yang telah dilahirkan.
Memang sebagian pejabat kita telah menulis biografi baik yang ia tulis sendiri (otobiografi) maupun yang ditulis oleh penulis hantu (ghost writer). Namun sekali lagi, biografi atau autobiografi adalah karya sejarah tentang diri seseorang. Dinamika masyarakat tempat ia hidup hanya terlihat hanya sebagai background dalam lintasan hidupnya.
Kembali ke flyer yang tersebut di awal, gambar itu membuat saya terpicu untuk “mencongkel” buku itu dari rak buku. Terjepit di antara barisan buku tebal. Saya berupaya menyeka debu yang menyatu dengan bagian atas buku itu dengan gundar sepatu. Terjemahan buku Muqaddimah Ibnu Khaldun, terbitan Pustaka Firdaus tahun 2006.
Sampai separuh jalan buku itu saya baca, saya ingat bahwa telah melalaikan sesuatu, mencatat beberapa gagasan besar yang ia sampaikan. Saya harus menuliskan beberapa di antaranya untuk menghibur diri seraya menimbang-nimbang kesesuaian pemikirannya dengan masa sekarang.
Salah satu yang menarik adalah tentang hubungan pemerintah dengan rakyatnya, di mana saya merupakan bagian dari hubungan itu. Terlepas dari alasan politis, Ibnu Khaldun telah menampilkan gagasan humanis berupa cinta, kesantunan, lemah lembut, pembelaan dan perlindungan dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Hubungan Saling Memiliki
Ketahuilah, nilai orang yang memerintah rakyat itu terlihat dari bentuk hubungannya dengan rakyat. Hubungan antara raja (pemerintah) dengan rakyatnya adalah hubungan “kepemilikan”. Orang yang memerintah adalah orang yang memiliki rakyat dan rakyat adalah orang-orang yang memiliki orang yang memerintah, tulis Ibnu Khaldun. [hal.230]
Karena itu dapat dimengerti, bila muncul istilah “rakyatku” dan “pemerintahku” menunjukkan hubungan kepemilikan yang timbal balik: --saling memiliki--. Menjadi penyimpangan dari hubungan ini bila pemerintah menyalahgunakan kepemilikan itu kepada sifat ego kepemilikan yang berlebihan (posesif).
Posesif punya dua makna, yaitu positif dan negatif. Makna positif menunjukkan pemerintah atau rakyat saling perhatian dan dan saling peduli satu sama lain. Posesif dalam konotasi negatif bisa membahayakan hubungan, dan jadi salah satu faktor risiko terjadinya keretakkan dalam suatu hubungan antara rakyat dan pemerintah.
Perhatikanlah orang yang sedang menjalin hubungan asmara, sifat posesif yang berlebihan membuat salah satu pihak merasa tidak nyaman, merasa dibatasi, diintimidasi dan diawasi dengan penuh kecurigaan.
Santun dan lemah Lembut
Syahdan, hubungan paling baik dalam pemerintahan itu timbul dari sifat santun dan lemah lembut. Sebab, bila raja bersikap kasar, suka menjatuhkan hukuman berat, selalu mencari kesalahan rakyatnya dan menghitung-hitung perbuatan rakyatnya yang salah, maka rakyat akan tertarik pada keonaran dan kerendahan, dan akan berusaha melindungi dirinya dari raja itu dengan jalan dusta, tipu dan olah kicuh, hingga sifat ini tertanam dalam jiwa dan merusak budi mereka, kata Ibnu Khaldun. (hal. 231)
Dalam kitab Muqaddimah, Ibu Khaldun sering sekali mengutip pepatah Arab “al nâsu ‘alâ dini mulukihim”, citra rakyat itu adalah cerminan dari para pemimpinnya. Sepertinya ia terkesan dan melihat kebenaran faktual pepatah itu. Bahwa, ketidaksantunan, keonaran dan prilaku rendah dalam masyarakat, tidak lebih merupakan cerminan dari prilaku para pemegang pemerintahan.
Memang, tulisan Ibnu Khaldun itu adalah refleksi atas peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat yang terjadi pada zaman ia hidup dan jauh ke belakang ke arah zaman lampau yang ia amati. Namun, karena ia meletakkan sejarah dan perubahan sosial dalam pola hubungan yang manusiawi, sebangun dengan kehidupan manusia, maka “watak” manusia yang orisinil menjadi unit analisis yang relevan sepanjang masa.
Perang watak sepertinya menjadi mekanisme abadi sepanjang masa. Watak baik pemerintah akan selalu menjadi patron bagi rakyat yang diperintah. Demikian pula sebaliknya. Watak buruk pemerintah akan “membekas nyata” dalam jiwa masyarakat. Tinggal memeriksa, apakah kerusakan watak dan prilaku verbal dan tindakan sosial masyarakat belakangan ini berhubungan langsung dalam hubungan sebab akibat (cause-effect) dengan kerusakan watak pemerintah.
Hal ini sungguh mengkhawatirkan. “Dan apabila keadaan demikian berjalan terus, solidaritas akan lemah, demikian pula dasar perlindungan [pertahanan] negara,” kata Ibnu Khaldun.
Raison D’etre Pemerintahan
Ibnu Khaldul menulis, “adapun syarat pemerintah yang baik hendaknya orang yang memerintah itu membela rakyatnya dan berhati murah terhadap mereka. Pembelaan sebenarnya adalah --raison d’etre—adanya pemerintahan. Sedangkan sifat murah hati adalah satu segi dari sifat santun dan lemah lembut orang yang memerintah terhadap rakyatnya dan salah satu jalan untuk menambah kesejahteraan rakyat dan jalan utama untuk mendapat kecintaan rakyat.
Menurut Ibnu Khaldun, pemerintah harus membela rakyat dan bersifat pemurah. Tanda-tanda pembelaan dapat dilihat dari langkah-lagkah siapa yang diikuti oleh pemerintah. Langkah rakyat atau langkah aparatur atau cendekiawan menara gading.
Kata ibnu Khaldun jarang sekali didapatkan sifat santun ini pada diri orang yang pintar dan terpelajar (mendahulukan rasio). Inilah kritik Ibnu Khaldun terhadap intelektual menara gading. Sebaliknya, sifat ini justru ditemukan pada orang yang biasa saja (bisa merasa), kata Khaldun.
Pemerintah yang “pintar” cendrung membebani rakyatnya lebih daripada yang dapat mereka pikul. Visi mereka yang jauh ke depan (misalnya era 5.0) jauh di atas impian (ekspekstasi) rakyat yang masih memikirkan nasib sawah, ternak, perdagangan kecil, upah jasa kerja dan kebutuhan hariannya pagi dan petang.
Maka pembelaan sejati yang merupakan alasan (raison d’etre) berdirinya negara akan dapat dilihat dari kelompok makna yang “dibebani” oleh negara. Apakah kelompok yang kuat atau kelompok yang lemah. Dengan mengutip hadis nabi Muhammad SAW, Ibnu Khaldun menulis, inilah sebabnya nabi Muhammad SAW berkata: “ikutilah langkah orang yang paling lemah di antara kamu.”
Benar, mengikuti langkah Raffi Ahmad dan Nagita Slavina memang terlalu berat. Dengan menggigit jari Nagita Salvina saja ia bisa meraup untung ratusan juta rupiah.
Membangun Rezim dengan Cinta
Kesan mendalam didapatkan setelah membaca pasal demi pasal dalam masterpiece-nya itu. Terutama bagaimana ia menggunakan potensi yang paling mendasar dalam diri manusia untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Hal ini karena Ibnu Khaldun melihat hubungan negara dan rakyat sebangun dengan pola hubungan antar manusia yang berkasih-kasihan. Cinta, kesantunan, lemah lembut, pembelaan dan perlindungan dalam menyelenggarakan pemerintahan diletakkan dalam porsi yang manusiawi. sehingga teori negara, kepemimpin, kedaulatan rakyat dan politik terlihat lembut dan romantis.
Tak mengherankan, mengapa tulisan Ibnu Khaldun bisa selembut itu. Sebab ia memang melewati berbagai konflik selama berkarir di pemerintahan. Mulai di negeri kelahirannya sendiri, Tunisia, Maroko, Granada (Spanyol) dan terakhir ke kota Bijaiya (Aljazair).
Sebagai pejabat pemerintah, ia telah melihat berbagai watak para penguasa dan konflik-konflik yang timbul akibat faktor watak tersebut. Kemajuan dan kejatuhan rezim pada banyak daerah dalam analisisnya juga tak jauh-jauh dari watak agresif manusia (sifat individual) dan kemampuan membangun organisasi sosial yang berbasis kepada solidaritas (sifat sosial).
Dugaan saya, kitab Muqaddimah itu ia tulis sambil menahan ragam saat air mata jatuh ke dalam. Dalam pengantar tulisannya ia menuliskan bahwa “buku ini saya persembahkan kepada perpustakaan junjungan kita, sultan, imam, mujahid dan penakluk yang pemberani.”
Sebuah pesan yang jelas, karena kitabnya itu masih ada di perpustakaan. Begitu pula sultan (penguasa), imam, mujahid dan penakluk pemberani sepertinya masih berkuasa pada waktu, tempat dan watak yang berbeda. HBD Ibnu Khaldun.
Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang