Beberapa hari terakhir, energi bangsa terserap untuk membicarakan kosakata tak lazim, 'new normal'. Membuat sesuatu yang abnormal menjadi kenormalan dengan embel-embel normal baru. Dua kata itu seakan menjadi pintu keluar darurat dari pandemi Covid-19. Kampanye media-media mainstream (arus utama) berganti haluan dari berperang menjadi seruan berdamai dengan corona. Terkadang, batas antara perang dan damai itu memang tipis. Tergantung kebutuhan.
Dari sejumlah kebijakan yang tersebar luas di media, kenormalan baru itu tampaknya belum menyentuh soal-soal keagamaan. Pusat perekonomian mulai dibuka dengan tambahan aturan, 'harus sesuai dengan protokol kesehatan'. Akan tetapi, tempat peribadatan belum lagi bisa dinormalkan dalam bentuk baru. Apa yang berbeda? Religiositas masyarakat ternyata dianggap belum berkontribusi pada perputaran ekonomi dan pertahanan negara. Hal ini yang menjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat.
Sebelum dan setelah 'idul fitri, ada kesan terjadinya pemberontakan pasif dari masyarakat. Tentu bukan pemberontakan dalam bentuk makar! Masyarakat mulai tersulut emosi dengan kebijakan setengah hati. Pemberontakan itu diekspresikan dengan banyaknya masyarakat yang menggelar salat 'ied berjemaah di masjid atau musala, serta kembali melaksanakan salat jumat di masjid.
Jangan buru-buru menghakimi mereka tidak patuh dan tidak mau diatur. Mungkin ada faktor lain sehingga ketidakpatuhan itu masif terjadi. Jamak didengar obrolan-obrolan masyarakat bernada sinis. Apalagi setelah diadakannya konser amal yang 'sukses' menyita perhatian masyarakat di bulan ramadan kemarin yang 'sedikit' mengabaikan 'protokol kesehatan'. Kegiatan amal itu tidak salah, tapi kurang elok dan bijak.
Banyak masyarakat menghubungkan 'ketidaknormalan' kegiatan konser itu dengan kebijakan pembatasan aktivitas di tempat ibadah. Kalau relaksasi PSBB di sektor ekonomi bisa diterapkan dengan tambahan 'harus sesuai dengan protokol kesehatan', lalu kenapa dalam ruang-ruang keagamaan tidak bisa diterapkan hal yang sama? Itu yang sering didengar dari obrolan masyarakat. Kebijakan 'new normal' justru bisa jadi potensi konflik antara masyarakat dan pemerintah selama kebijakan soal peribadatan belum jelas kemana arahnya. Wajar masyarakat menuding soal keberpihakan pemerintah.
Saya tidak mengada-ada ataupun mencoba memprovokasi. Cobalah dengar obrolan masyarakat yang begitu masif menafsir fenomena. Mereka sudah mulai menafsirkan kebijakan pemerintah dengan nada-nada gusar. Takutnya, hal ini jadi bom waktu. Kebijakan pemerintah dianggap sebagai tantangan untuk melakukan perlawanan. Kepercayaan terhadap pemerintah semakin tergerus, walaupun survei LSI beberapa waktu lalu menunjukkan data yang sebaliknya. Masyarakat lebih percaya penderitaan yang dirasakan langsung akibat pandemi daripada data-data kepercayaan publik kepada pemerintah yang disuguhkan lembaga survei.
Kebijakan yang diambil dalam memerangi Covid-19 seakan mengabaikan sains dan pengetahuan. Sampai sekarang belum ada satupun lembaga kesehatan yang menunjukkan data penurunan kurva tren kasus positif Covid-19 di Indonesia. Pemegang otoritas kesehatan dan bahkan epidemiolog harus mengikuti langkah-langkah kebijakan yang diambil politisi. Kalau di negara lain, persoalan Covid-19 diserahkan pada otoritas kesehatan dan kebijakan harus mengikut pada saran-saran mereka, di Indonesia malah berlaku sebaliknya.
Beberapa waktu lalu bahkan muncul tanda pagar #indonesiaterserah di platform-platform media sosial sebagai ekspresi kekecewaan. Itu bukan lagi sindiran atau sarkasme, tetapi sudah mengarah pada bentuk pemberontakan. Sayangnya, tenaga medis dan otoritas kesehatan tidak punya kekuatan buzzer untuk berperang di media sosial.
Kegalauan Ulama
Kebijakan 'new normal' yang akan dicoba diterapkan pemerintah nampaknya sulit dijelaskan oleh para pemegang otoritas keagamaan. Mereka mampu memberikan pemahaman dalih keagamaan soal arah kebijakan pemerintah, namun sulit untuk meredakan kegelisahan masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka bukan lagi soal argumentasi hukum keagamaan, namun sudah bergeser pada politik, ekonomi, dan bahkan konspirasi. Pergeseran tema-tema diskusi itu tentu bukan lagi otoritas ulama untuk menjawabnya.
Di sisi lain, terlihat juga kegalauan para ulama untuk menjelaskan langkah yang diambil pemerintah. Surat MUI Sumbar tanggal 12 Mei 2020 yang ditujukan kepada kepala-kepala daerah dulu menyiratkan kegalauan itu. Surat tersebut merupakan salah satu bukti betapa dilematisnya MUI. Dari surat yang beredar itu jelas sekali kalimat per kalimat yang menyisipkan kekecewaan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Setidaknya, dulu ada beberapa poin yang menjadi penyebab kekecewaan itu, di antaranya pembukaan moda transportasi di tengah pemberlakuan PSBB, masuknya TKA dari Tiongkok, dan tidak sinkronnya kebijakan antar lembaga. Isu dalam surat tersebut mungkin sudah daluwarsa, tetapi semangat untuk menuntut relaksasi yang sama dalam soal ibadah masih tetap ada.
Dengan keluarnya kosakata kebijakan baru 'new normal', tentu akan ada respon dari otoritas keagamaan yang selama ini sudah mengerahkan daya upaya untuk mengedukasi masyarakat dengan anjuran beribadah di rumah. PP Muhammadiyah sudah merespon dengan keluarnya siaran pers yang menuntut penjelasan arah kebijakan pemerintah. Pertanyaan penting dari siaran pers PP Muhammadiyah, 'apakah kehidupan masyarakat sudah dikalahkan oleh kepentingan ekonomi?'. Siaran pers tersebut sarat dengan kritik bahkan bisa dianggap skeptis terhadap kebijakan pemerintah.
Dewan Pimpinan MUI tanggal 28 Mei 2020 juga mengeluarkan maklumat tentang rencana pemerintah memberlakukan kehidupan normal baru. MUI menyarankan pemerintah agar konsisten melaksanakan PSBB karena belum adanya data yang menunjukkan penurunan kurva pandemi Covid-19. Maklumat ini menegaskan bahwa rukshah (keringanan) beribadah tetap berlaku di tempat yang masih belum terkendalinya penyebaran Covid-19 sesuai dengan fatwa MUI No. 14 Tahun 2020. Adapun daerah yang sudah bisa mengendalikan persebaran wabah diharapkan dapat kembali melaksanakan ibadah jumat dan sholat maktubah lainnya sesuai dengan protokol kesehatan. Maklumat MUI memang terkesan normatif, tapi tetap ada indikasi kritis terhadap kebijakan 'new normal'.
Kebijakan 'new normal' yang dikeluarkan pemerintah ternyata direspon oleh otoritas keagamaan dengan intonasi kekecewaan bernada pemberontakan. Ini jelas berbahaya. Jangan sampai benih pemberontakan itu bermuara pada ketidakpercayaan publik pada cara pemerintah mengelola krisis. Akibatnya, kepentingan masyarakat luas menjadi semakin terpinggirkan. Energi bangsa semakin terkuras dalam perdebatan-perdebatan kebijakan.
Dalam konteks hukum Islam, fatwa MUI dalam menghadapi pandemi ini didasarkan pada perlindungan jiwa dan mengacu pada 'illat kedaruratan. Kondisi darurat untuk melindungi jiwa tidak serta merta bisa digantikan dengan kedaruratan bidang ekonomi. Perlindungan terhadap jiwa manusia harus menjadi prioritas utama tujuan syari'ah.
Di sini titik perbedaannya. Pemerintah memandang perlindungan ekonomi lebih diprioritaskan, sedangkan ulama mendahulukan perlindungan jiwa. Keduanya tentu menjadi prioritas, namun harus ada prioritas utama. Patut juga diingat adagium fikih yang berlaku, 'jika bertemu dua kemudaratan, pilihlah kemudaratan yang paling kecil.'
Menanti Langkah Selanjutnya
Dengan adanya kebijakan baru, kita patut menunggu arahan selanjutnya dari otoritas keagamaan yang berwenang. Mata rantai persebaran Covid-19 wajib diputuskan sembari berharap diputuskannya juga mata rantai kekecewaan umat beragama. Jika relaksasi bidang lain bisa dialas dengan kalimat tambahan 'sesuai dengan protokol kesehatan', relaksasi bidang keagamaan juga harus dilakukan dengan cara yang sama. Agar tidak terjadi pikiran-pikiran liar yang mengarah pada perlawanan atau pemberontakan. Semua itu tentu harus mengutamakan kepentingan perlindungan jiwa manusia.
Nampaknya ada tugas yang harus diselesaikan secara bersama oleh pemerintah yang berkaitan dengan data. Data persebaran Covid-19 harus jelas dan sekaligus dibuatkan pemetaan klaster zonasi daerah berdasarkan tingkat kasus yang terjadi. Jangan lagi 'menghaluskan' informasi dengan akrobatik angka-angka. Jangan juga sampai diperunyam lagi oleh lembaga-lembaga survei politik yang tidak punya otoritas bicara tentang kesehatan. Kita butuh data dan survei yang dikeluarkan oleh epidemiolog dan tenaga kesehatan.
Kebijakan-kebijakan politik harus manut dengan rekomendasi ahli kesehatan serta epidemiolog terpercaya. Adanya zonasi yang jelas dan data yang akurat juga akan lebih memudahkan otoritas keagamaan merumuskan fatwa. Masyarakat tidak gaduh dan pemerintah bisa kembali konsentrasi penuh menjalankan kebijakan yang patut diambil.
Kita sangat menyadari bahwa menjadi pemimpin itu susah, apalagi disaat krisis seperti ini. Masyarakat harus memberikan kepercayaan penuh dan membantu pemerintah agar bisa cepat keluar dari masalah. Pemerintah juga harus mampu memberikan rasa aman, nyaman, dan menenangkan dengan kebijakan-kebijakan yang jelas dan berpihak pada masyarakat. Kebijakan yang tepat dan kepatuhan masyarakat menjadi kunci utama melawan Covid-19. Jangan sampai sumbu konflik semakin tersulut justru karena kebijakan yang tidak tepat.
Kebijakan pemimpin disaat krisis memang diibaratkan mendayung di antara dua karang. Harus berhati-hati dan berhitung dengan cermat. Menjadi pemimpin itu rumit, ruwet, dan sangat susah. Akan tetapi, menjadi rakyat di bawah pemimpin yg tidak kredibel itu jauh lebih susah dan jauh lebih menyengsarakan. Semoga saja pemimpin Indonesia selalu kredibel dan punya kapabilitas berlebih agar rakyat tidak dirundung masalah bertubi-tubi. Kita sangat percaya itu! Jangan sampai bangsa ini sudah jatuh ditimpa longsor pula. (**)
Aidil Aulya, Dosen di Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang)