Per 7 April 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat terdapat 1,01 juta pekerja yang terdampak Covid-19. Rinciannya, 873.000 pekerja formal dirumahkan, 137.000 pekerja formal di-PHK, dan 189.000 pekerja di sektor informal. Namun jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat satu bulan kemudian. Per 1 Mei 2020, Kementerian Ketenagakerjaan menverifikasi 1,72 juta tenaga kerja terdampak Covid-19. Rinciannya adalah 1 juta pekerja formal dirumahkan, 375.000 pekerja formal di-PHK, dam juga 314.000 pekerja dari sektor informal. Lebih dari itu, masih terdapat 1,2 juta pekerja yang statusnya sedang divalidasi.
Dengan demikian, ada sekitar lebih kurang 3 juta pekerja yang ekonomi keluarganya terganggu, di luar data kemiskinan yang ada di rentang waktu yang sama. Menurut BPS, pada September 2019, jumlah penduduk miskin sebanyak 24,79 juta orang atau 9,22 persen dari total penduduk. Penduduk miskin di perdesaan lebih banyak dibandingkan dengan di perkotaan. Penduduk miskin di perkotaan pada masa yang sama berjumlah 6,69 persen, sementara di perdesaan sebesar 12,60 persen.
Secara umum, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan (GK), atau biasa dikenal dengan istilah Poverty Line, yaitu sebesar 440.538 rupiah per orang per bulan. Jumlah tersebut terdiri dari 73,75 persen GK makanan dan 26,25 persen GK bukan makanan, seperti pemenuhan papan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Artinya, hampir 10 persen penduduk Indonesia memiliki rata-rata pengeluaran per bulan kurang dari 440.538 rupiah dan masuk kategori penduduk miskin. Dan angkanya akan jauh lebih banyak jika kita masukan data penduduk rentan miskin, yang secara teoritik, dengan adanya Covid 19, cepat atau lambat, juga akan jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Dengan potensi peningkatan angka kemiskinan yang sudah di depan mata, program pengaman sosial dari pemerintah semestinya bisa solusi yang mungkin paling relevan. Sejumlah jaring pengaman sosial yang saat ini sudah diselenggarakan secara nasional adalah Program Kartu Prakerja, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Sebagaimana diumumkan pemerintah, pada awal 2019, pemerintah memprioritaskan empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga, Program Indonesia Pintar (PIP) untuk 20,1 juta anak usia sekolah, Kartu Indonesia Sehat untuk 96,8 juta jiwa atau 40 persen penduduk berpendapatan rendah, dan bantuan pangan nontunai untuk 15,6 juta keluarga.
PKH merupakan program pemberian uang untuk keluarga agar dapat mengakses pelayanan dasar, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Program ini dilaksanakan sejak 2007 oleh Kementerian Sosial dan per 2018 telah menyalurkan bantuan kepada 10 juta keluarga. Bantuan diberikan kepada tiap keluarga per tahun dengan kompoisisi yang diatur sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Sementara PIP memberikan akses pendidikan dan uang untuk meringankan biaya personal pendidikan bagi anak usia 6-21 tahun.
Program ini diselenggarakan sejak 2014 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Agama. Dari data yang ada, per 1 Mei 2020 tercatat bantuan sudah disalurkan untuk 3,1 juta peserta dari total alokasi 17,9 peserta dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas. Besaran dana yang diperoleh per tahun sesuai dengan jenjang pendidikan, yaitu Rp 450.000 (dasar), Rp 750.000 (menengah pertama), dan Rp 1.000.000 (menengah atas).
Untuk aspek kesehatan, pemerintah membangun jaring pengaman yang disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN memberikan manfaat berupa pelayananan kesehatan primer, meliputi rawat jalan dan rawat inap. Program ini diselenggarakan sejak 2014 oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Per 30 April 2020, tercatat 132,6 juta peserta yang digratiskan membayar iuran atau disebut penerima bantuan iuran (PBI) yang dananya dialokasikan dari APBN dan APBD.
Lantas apakah persoalan tersebut langsung beres? Nampaknya masih jauh dari harapan. Ada perkara baru yang muncul, yakni data penerima bansos. Ada yang berhak mendapatkannya, tetapi justru tak berkesempatan meradakannya. Sebaliknya, ada yang tidak berhak, malah menerima bansos. Jadi tak heran mengapa belakangan ini kita sering membaca atau menyaksikan di berbagai media tentang warga miskin yang mengeluh tak mendapat bansos. Bahkan, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebutkan bahwa masyarakat menilai bansos untuk penanggulangan dampak pandemi Covid-19 belum efektif. Sebanyak 49% warga menyebut bansos tak mencapai sasaran. Masyarakat yang menganggap sudah mencapai sasaran hanya 37%.
Bertolak dari kenyataan tersebut, publik memang perlu mendesak pemerintah untuk segera memperbaiki data orang miskin yang berhak menerima bansos. Setidaknya ada dua langkah yang bisa dilakukan, yakni peran aktif pemerintah daerah untuk terus memperbarui data orang miskin dan rentan miskin, serta proses verifikasi dan validasi data secara bertingkat. Pertama, bansos yang salah sasaran terjadi akibat pemerintah daerah, terutama tingkat kabupaten/kota yang kurang aktif dalam memperbarui data. Kondisi ini selalu dikeluhkan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara.
Ke depan, kita berharap Kementerian Sosial (Kemsos) mesti melibatkan secara lebih intens Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menghimpun data orang miskin dan rentan miskin. Sengkarut data orang miskin disinyalir terutama disebabkan kepentingan ketua rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) di sejumlah wilayah yang memprioritaskan keluarga besar dan para pendukungnya untuk mendapat bantuan pemerintah. Hal ini telah berlangsung puluhan tahun karena pemerintahan tingkat desa/kelurahan/termasuk Nagari dan kecamatan hanya meneruskan data tersebut ke kabupaten/kota, lalu berlanjut ke tingkat provinsi hingga pemerintah pusat.
Kebiasaan buruk semacam ini harus segera dihentikan. Aparat desa atau Nagari dan kecamatan wajib turun ke masyarakat untuk mengecek data orang miskin yang disodorkan ketua RT, RW atau dusun. Apabila tidak sesuai kriteria, mereka berhak mencoret nama-nama yang diusulkan. Proses ini hendaknya dilakukan minimal enam bulan sekali atau minimal setahun sekali.
Selain bekerja sama dengan Kemdagri, Kemsos mesti juga menggandeng Badan Pusat Statistik serta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang memiliki petugas sensus untuk membantu memperbarui data orang miskin. Kerja sama tersebut diharapkan membuat data orang miskin yang kini dihimpun dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) menjadi lebih tepercaya.
Kedua, proses verifikasi dan validasi data. Proses ini bisa dilakukan secara bertingkat oleh Dinas Sosial di setiap daerah yang didukung aparat pemerintah daerah secara rutin setahun sekali. Bagaimanapun, peran serta dari pemerintah daerah melalui dinas terkait, baik di tingkat kabupaten atau kota hingga provinsi menjadi sangat krusial karena menjadi corong terdepan untuk menangkap situasi di daerah masing-masing, meskipun, pendataan DTKS memang dilakukan secara berkala. Pendeknya, apabila kedua langkah ini dijalankan secara konsisten, berkemungkinan besar masalah data penerima bansos bisa segera diatasi. Semoga.
Nofi Candra, Anggota DPD RI Periode 2014-2019