Hampir tiga bulan ini kita hidup tidak normal. Tidak seperti sebelumnya. Kerja dari rumah. Keluar rumah seperlunya. Pakai masker. Sering cuci tangan. Menjaga jarak. Belanja secara online. Tidak ada nongkrong lagi di coffee shop. Rapat secara virtual. Ibadah dari rumah. Bahkan sholat Jumat diganti zuhur saja.
Baru saja kita menjalani Idul Fitri yang sepi. Tidak boleh mudik, walau banyak juga yang pulang kampung. Di komplek saya tinggal, biasa kami lebaran selalu berkunjung antar tetangga. Yang muda mendatangi warga yang tua. Kemarin kami hanya melambaikan tangan saja dari balik pagar. Setelah itu gembok pagar warga tidak dibuka lagi. Berdiam diri saja dalam rumah.
Ada juga kabarnya kawan yang memasang pengumuman di pagarnya. “Maaf kami tidak menerima tamu saat lebaran”. Begitu tulisannya terpajang.
Silaturahim lebaran dengan orang tercinta dilakukan secara online saja. Untung kita dibantu kecanggihan telepon pintar. Kami video call juga dengan orang tua yang berada di kampung. Saya di Padang, adik saya ada di Pematang Siantar, Batusangkar dan Bogor. Saya perhatikan mata ibu saya berkaca-kaca menatap satu-satu wajah anaknya di layar. Biasa kami selalu berkumpul saat lebaran tiba.
Tentu banyak cerita yang telah kita alami selama masa pandemi covid-19 ini. Banyak yang berubah. Di awal-awal kita belum biasa. Bahkan kita sangat merasa ketakutan. Setiap mendengar atau membaca berita pengumuman pemerintah tentang warga yang dinyatakan positif.
Hingga berita pasien yang meninggal. Meninggal yang juga tidak normal. Tidak boleh ditemui keluarga, apalagi jenazahnya bisa dibawa ke rumah. Hanya boleh disholatkan dan dimakamkan oleh tenaga medis atau petugas yang sudah ditunjuk.
Kini kita akan memulai hidup baru. New normal. Normal baru. Ketika virus ini diprediksi tidak bisa hilang secepatnya. Atau bahkan mungkin tidak akan pernah bisa dimusnahkan. Kecuali atas kuasa Tuhan. Kecilnya virus, besarnya kuasa Tuhan. Covid-19 ini lebih ganas dari Perang Dunia 1 dan 2.
Dalam teori PEST analysis politik, ekonomi, sosial dan teknologi yang mempengaruhi tata kehidupan. Sejak covid-19 mewabah di-ambyar semua lini kehidupan dunia. Bahkan negara adidaya sekalipun dibuat tak berdaya.
Namun covid-19 ini mengajarkan banyak hal kepada kita. Tentu bagi yang mau berpikir positif dan mengambil hikmah. Semua terdampak oleh makhluk halus yang tidak tampak kasat mata ini. Semua bidang usaha, lapangan pekerjaan, pendidikan, politik, agama, hubungan bilateral negara, perdagangan, kesehatan, apalagi? Sebut ajalah. Kena semua. Banyak yang dirugikan secara materil dan moril. Tentu juga ada yang diuntungkan.
“Perusahaan yang menjual paket internet itu pasti makin kaya ya, karena orang butuh semua,” kata Ibu yang biasa menyetrika pakaian di rumah saya, saat makan siang bersama dengan kami di hari ketiga Syawal ini. Iya juga. Mungkin ibu ini anaknya selalu minta uang beli paket internet karena sekolahnya juga online.
Ketimpangan ekonomi juga cukup jomplang saat wabah Covid-19 ini. Mereka yang karyawan terutama di perusahaan swasta banyak yang di rumahkan. Istilah lain dari PHK. Lebih halus. Mereka tetap tidak digaji. Pekerja jasa; sopir angkot, ojol, tukang pangkas, tukang jahit, tukang pijat, tukang bangunan, tukang parkir, tukang angkat dan tukang lainnya mengalami penurunan pendapatan yang drastis.
Pedagang kaki lima usahanya banyak tutup. Guru-guru hononer, guru MDA, guru TK, mubaligh kehilangan pendapatan juga.
Pelaku usaha bidang apapun juga mengalami hal yang sama. Semua bisnis terdampak. Laporan keuangan perusahan merah menyala. Cashflow sudah pasti negatif. Saya juga sempat stres di awal. Berpikir keras merubah model bisnis perusahaan agar bisa mempertahankan karyawan. Tidak dirumahkan. Sedikit diuntungkan usaha kami tidak tutup karena bergerak di bidang ritel kebutuhan pokok.
Sesama pelaku usaha kami mengulas masalah ini secara rutin di organisasi wirausaha; Kadin dan Hipmi. Kebetulan saya menjadi pengurus di dunia organisasi ini.
Mungkin hanya mereka yang ber-SK dan bergaji tetap di sektor pemerintahan/birokrat/aparat yang relatif aman. Walaupun tentu merasakan dampak juga secara psikologi.
Dengan kondisi yang dirasa cukup sulit dirasakan semua orang ini, tapi semangat berbagi antar masyarakat tumbuh cukup tinggi. Utamanya berbagi kebutuhan pokok. Dimana-mana pembagian sembako dilakukan oleh warga. Baik secara personal, keluarga, komunitas, perusahaan, lembaga sosial, kantor, organisasi/asosiasi dan lainnya.
“Silahkan ambil seperlunya”. Begitu papan pengumuman yang disertakan sembako atau sayuran yang digantung di pagar rumah dermawan.
Budaya memberi dan berbagi terus tumbuh sebagai implementasi semangat gotong royong kita. Ada yang merasa tidak berhak menerima, kemudian menolak bantuan, agar diberikan kepada yang lain.
Kisah inspiratif seorang nenek di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, yang didatangi pemberi bantuan beras karena terlihat tidak mampu. Tapi nenek tersebut menolak, dan minta diberikan beras jatahnya kepada yang lebih berhak. Miskin harta, tapi tidak miskin mental. Karena di era bantuan BLT dari pemerintah saat covid-19 ini banyak juga yang mengaku miskin, padahal mampu.
Indonesia dikenal sebagai negara dermawan. Jauh sebelum wabah covid-19 ini terjadi. CAF World Giving Index tahun 2018 menempatkan Indonesia dalam peringkat nomor pertama untuk masyarakat paling sering berdonasi.
Di era new normal ke depan, berbagi harus tetap menjadi gaya hidup kita. Budaya yang terus terpelihara di antara kita. Berbagi dalam bentuk materi, moril dan edukasi. Karena sebaik hidup adalah memberi manfaat untuk orang lain. (*)
Musfi Yendra, Pembina Dompet Dhuafa Singgalang