Langgam.id - Lebih kurang 13 tahun mengenyam hidup di negeri Belanda, Wiwiek Oswita Azhar-Oosenbrug, tak menyangka ramadan dan lebaran tahun ini berjalan tidak seperti biasanya. Tak bisa menjalankan ibadah salat tarawih, hingga melupakan pulang kampung yang dilakukan tiap tahun.
Semua karena pandemi covid-19. Hal yang mengubah semuanya.
"Ya gak bisa salat tarawih di masjid selama bulan puasa ini. Dalam kondisi kini (pandemi covid-19), tidak boleh berkumpul," ujar Wiwiek, tempo hari kepada langgam.id.
Meski begitu dia merasakan perhatian pemerintah Belanda cukup tinggi. "Alhamdulillah ada jaminan atau subsidi dari pemerintah atau tempat kerja mereka. Jadi meskipun dalam kondisi pandemi, mereka tetap terima gaji," katanya.
Wiwiek berasal dari Sungai Sirah, Pilubang, Pariaman. Jodoh mengantarkan dia hidup di negeri Belanda. Adalah J. M. Oosenbrug pria itu. Oosenbrug, yang kini sudah pensiun mengajar di Mondriaan en Kenteq bidang teknik (centraal verwarming/central heating/sistem pemanas ruangan), meminangnya di tahun 2007.
Wiwiek menikah secara Islam, tak lama setelah berkenalan dengan Oosenbrug. Sehabis itu dia bersama suami berangkat ke Belanda, dan saat ini tinggal di kota Rijswijk, Zuid Holland.
Walau sudah puluhan belasan tahun tinggal di negeri bekas penjajah Indonesia itu, Wiwiek tak lantas berpindah kewarganegaraan. Namun dia sudah tercatat pemegang Permanent Resident. Artinya, hak Wiwiek sama dengan warga negara Belanda. Bedanya, dalam hak politik ia tidak bisa mamilih secara nasional. Tapi kalau tingkat provinsi boleh.
Suami yang bekerja sebagai dosen, Wiwiek bertindak sebagai ibu rumah tangga. Dengan waktu luang yang cukup menganga, ia cukup aktif dalam komunitas pengajian, hingga aktif di gerakan solidaritas berbasis empati.
Wiwiek mengatakan, di Belanda ada dua organisasi perantau Minang yakni Minang Sakato dan Keluarga Perantau Minang Belanda. Dua organisasi ini, sebut Wiwiek tidak ada menggelar arisan, namun selalu rutin berkumpul.
"Kalau arisan kami tidak ada. Hanya berkumpul tiap bulan. Biasanya minggu kedua," bilangnya.
Di samping aktif di komunitas diaspora Minang, Wiwiek juga giat di grup pengajian Cahaya Islam Europa. Di kelompok pengajian ini, bukan saja orang Minang, melainkan semua diaspora Indonesia.
Dikatakan Wiwiek, selain mengasah kaji, tiap bulan juga dikumpulkan dana yang kemudian dikirim ke tanah air untuk membantu kaum dhuafa atau korban bencana.
" Grup pengajian Cahaya Islam Europa ini gabungan dari berbagai latar belakang atau asalnya. Background kami kan beda-beda. Ada yang berasal dari orang berkecukupan. Ada juga yang dari keluarga yang kurang mampu, yang akan lebih mengutamakan keluarga tentunya," jelas Wiwiek.
Terkait krisis di masa pandemi covid-19 ini, skema empati pun tak beda jauh dari agenda rutin Cahaya Islam Europa. Mengalirkan bantuan ke orang-orang terdampak di tanah air, terutama kampung halaman. (Osh)