Langgam.id - Melalui Besluit nomor 40 tertanggal 16 Maret 1910, secara resmi Pemerintah Hindia Belanda membubarkan Keregenan Padang. Demikian ditulis Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam Buku 'Pemerintahan Sumatera Barat, Dari VOC Hingga Reformasi' (2006).
"Bersama Indrapura yang ditutup setahun setelahnya, tanggal tersebut menjadi dua titik terakhir, berakhirnya pelibatan Urang Awak dalam Pemerintahan Hindia Belanda," kata Gusti, kepada Langgam.id, pada Sabtu (16/3/2019), tepat 109 tahun setelah pembubaran tersebut.
Dalam Buku "Pemerintahan Sumatera Barat, Dari VOC Hingga Reformasi" (2006), Gusti Asnan menulis, pelibatan pribumi dalam pemerintahan, dimulai pada 1823, atau 87 tahun sebelumnya. "Kesempatan itu muncul seiring keluarnya Provisioneel Reglement tertanggal 4 November 1823, yang antara lain memutuskan pembentukan dua daerah administratif setingkat Hoofafdeeling (Afdeeling Utama) untuk masyarakat Bumiputera," tulisnya.
Dua hoofafdeelingen tersebut adalah Padang dan Minangkabau. Keduanya, masing-masing dipimpin seorang pribumi dengan jabatan yang disebut Hoofdregen alias Regen Gadang.
Hal ini menandakan, Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra's Westkust (Sumatra Barat), membuat dualisme pemerintahan.
Selain pemerintahan pribumi tersebut, pada tahun yang sama wilayah Sumatra's Westkust juga dibagi ke dalam dua pemerintahan kolonial yang dipimpin orang Belanda. Awalnya, dengan wilayah persis sama dengan pemerintahan pribumi, yakni wilayah Padang beserta seluruh wilayah pesisir Sumbar dan Minangkabau yang melingkupi wilayah pedalaman Sumbar.
Bila untuk pemimpin orang Belanda, pimpinan wilayah disebut asisten residen atau controleur, untuk orang Minangkabau, dua pimpinan wilayah tersebut disebut regen gadang.
"Pemberian ruang gerak yang lebih banyak kepada orang Sumatra Barat, karena Belanda membutuhkan dukungan pemimpin lokal," tulis Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas itu.
Untuk memberi ruang gerak luas itu, di bawah regen gadang, juga ada struktur pemerintahannya. Di bawah keregenan yang dipimpin oleh regen gadang atau regentchap yang dipimpin regen ada kelarasan atau distrik (pimpinannya biasa disebut Tuanku Laras natau Angku Lareh). Di bawahnya kemudian baru nagari dan kemudian dusun. Seorang Hoofdregent atau regen gadang, bergaji 300 sampai 500 gulden.
Pada 1823 tersebut, kedudukan Belanda di Sumbar memang belum kuat. Mereka baru saja melakukan ekspansi ke daerah pedalaman setelah ada perjanjian dengan kaum adat pada 1821.
Kaum adat inilah yang dirangkul menjadi pimpinan lokal. Pada 1823 tersebut, Regen Gadang Padang diberi gelar Tuanku Panglima, sementara Regen Gadang Minangkabau, bergelar Raja Alam Minangkabau.
Dualisme pemerintahan Belanda di Sumatra Barat berjalan selama puluhan tahun dan berkembang tanpa arah yang jelas sesuai kepentingan pemerintah kolonial.
Pembagian pemerintahan orang Belanda dari dua afdeeling kemudian berkembang jadi tiga, empat, lima, enam, tujuh, sembilan dan kembali lagi tiga, enam dan seterusnya, tanpa standar yang jelas.
Sebuah daerah, terkadang bergabung dengan daerah lain, terkadang berdiri sendiri. "Dalam istilah sekarang, penggabungan dan pemekaran daerah zaman itu, tak jelas standarnya," kata Gusti kepada Langgam.id.
Segala sesuatu terkait pengembangan dan penggabungan pemerintahan Belanda itu, menurutnya, tergantung dengan kebijakan residen atau gubernur yang memimpin saat itu.
Seiring pemerintahan yang dipimpin orang Belanda, pemerintahan regen pun berkembang tak jelas. "Belanda membuka sebuah keregenan baru dan menutup keregenan lain hanya dengan pertimbangan teknis saat itu," kata Gusti.
Pemerintah Belanda bisa membentuk keregenan di sebuah daerah dengan kepentingan taktis ingin memecah kekuasaan di daerah tersebut. "Bisa juga, keregenan dibuka karena ucapan terima kasih Belanda kepada mereka yang membantu," ujarnya.
Meski berjalan beriringan, afdeeling yang dipimpin asisten residen atau controleur tak selalu sama dan sebanding wilayahnya dengan keregenan. "Bisa jadi, di sebuah afdeeling ada beberapa keregenan, namun di afdeeling lain tak ada keregenan."
Lalu, bagaimana hubungan antara asisten residen atau controleur dengan regen? "Hubungannya koordinatif. Mereka mitra. Mirip mungkin dengan hubungan Muspida zaman orde baru," kata Gusti.
Umumnya, sebelum Belanda bisa menjinakkan Padri, para asisten residen dan controleur ini masih merasa sungkan kepada regen. "Setelah mereka menang dan merasa kekuasaan mereka makin kuat di pedalaman Sumbar mulai 1840, para regen tak lagi terlalu dianggap."
Di samping afdeeling yang paling banyak sampai sembilan, di wilayah Sumbar saat ini Gusti mencatat pernah ada 17 keregenan. Antara lain, Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak, Air Haji, Tanah Datar, Tanah Datar di Bawah, Agam, Limapuluh Kota, Indrapura, Halaban, Batipuh, Padang Panjang, VIII Koto Palembayan, Banuhampu, IV Angkek dan Sulit Air.
Menurutnya, karena pembentukan keregenan lebih ditujukan untuk membantu Belanda dalam Perang Padri dan kemudian tanam paksa kopi, maka ketika tak lagi dibutuhkan, maka keregenan pun dibubarkan.
Keregenan Padang pada 1910 dan Indrapura pada 1911 adalah yang terakhir. Setelah itu, mutlak seluruh sistem pemerintahan berada dalam kontrol Pemerintah Hindia Belanda yang dipimpin Gubernur Sumatra Westkust.
Inilah akhir dari keterlibatan urang awak dalam pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda. Upaya mengakomodasi urang awak setelah itu, selanjutnya diselesaikan pemerintah kolonial dengan cara yang berbeda pula. (HM)