Pendemi Covid-19 tidak hanya menguji daya tahan tubuh kita untuk tak tertular oleh virus yang sedang dicari penawarnya. Kepemimpinan daerah pun mendapat ujian dari virus corona.
Mampukah seorang kepala daerah menjalankan fungsi dan perannya dengan baik ketika wabah menghantui warganya?. Beberapa daerah di Sumatra Barat (Sumbar) menunjukan ketidaksiapannya berhadapan dengan corona.
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah Sumatra Barat pada 22 April 2020 mengharuskan masyarakat mengurangi aktivitasnya di luar rumah. Namun, pada sisi lain pemerintah daerah juga berperan memberikan bantuan akibat matinya pendapatan masyarakat. Penyerahan bantuan kepada masyarakat adalah kendala pemerintah daerah.
Persoalannya seperti tidak masuk data kabupaten/kota untuk masyarakat yang berhak menerima bantuan.
Perubahan data oleh tim verifikasi dan ketidaksiapan daerah melakukan pengeceakan dengan cepat masalah yang dialami oleh beberapa kabupaten/kota. Akibatnya, masyarakat harus bertarung dengan perutnya yang sedang lapar karena tak datangnya bantuan dari pemerintah. Pada akhirnya harapan dari PSBB sebagai upaya menanggulangi penyebaran virus malahan gagal seperti yang diharapkan.
Ini perlu dievaluasi dengan diperpanjangnya masa PSBB tahap dua sampai 29 Mei 2020.
Birokrasi yang Lamban
Kita memahami lambannya pemerintah daerah melakukan pendataan terhadap masyarakat yang berhak menerima bantuan sosial. Pertama, persoalan data tak menjadi bagian penting bagi pemerintah daerah selama ini. Pendataan hanya tugas yang perlu dilakukan ketika ada bantuan dari pemerintah pusat.
Kedua, isu-isu soal persoalan sosial tak menjadi prioritas bagi daerah, dibandingkan infrastruktur, dan program-program lainnya. Kebiasaannya pemerintah daerah memahami persoalan sosial sebagai fokus utama tak terlatih.
Ketiga, pemerintah daerah hati-hati dalam penggunaan anggaran negara dengan memberikan bantuan kepada masyarakat yang tepat dan administratif yang benar.
Ketakutan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang tak tepat, atau penyalahgunaan anggaran kecemasan yang perlu dihargai. Namun, kecemasan yang berlarut-larut dengan menjadikan pemerintah daerah tak melakukan apa-apa juga patut disayangkan. Pemerintah dalam menjalankan hal-hal yang bersifat administratif didukung oleh birokrasi agar menjalankan segala sesuatu dengan benar.
Makanya, kecepatan pemerintah daerah hadir terhadap masyarakat ketika membutuhkan bantuannya dengan cepat sudah menjadi keharusan.
Lambannya birokrasi tak hanya kita temui pada situasi krisis dan kritis seperti saat ini. Pada hari-hari biasa sebagai masyarakat kita sering disibukan dengan pendekatan birokrasi yang membiarkan masyarakat membuang waktunya berjam-jam hanya demi mengurus surat-surat administratif.
Prinsip menjadi masyarakat harus bersabar menjadikan pelayanan birokrasi memposisikan mereka tidak sebagai pelaksana tugas pelayanan dengan digaji oleh negara.
Kondisi Covid-19 pendemi yang tak kita duga-duga. Kelalaian pemerintah daerah tak hanya terjadi di Sumatra Barat, tetapi juga daerah-daerah lain di Indonesia. Masyarakat mengharapkan negara hadir lewat bantuan sosial pada saat mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Kehadiran pemerintah daerah tepat waktu untuk menghilangkan ketakutan, kecemasan, dan kesedihan menghadapi korona bisa menguatkan mental masyarakat secara kolektif. Mereka harus melawan korona dengan memutuskan rantai penyebarannya dengan tetap dirumah.
Negara telah hadir lewat bantuan sosial dengan tanpa hawatir lagi mereka dan keluarga lainnya tak makan esok hari.
Kepemimpinan Baru
Pasca-Covid-19 pemerintah daerah mendapatkan pelajaran bahwa persoalan sosial jadi hal penting bagi masyarakat. Selama ini soal ini niscaya diabaikan sebagai sesuatu yang penting. Kepala daerah terlalu sibuk dengan infrastuktur, pencitraan politik, dan menambah beban birokrasi.
Masyarakat punya harapan besar menjadikan mereka tak takut dengan kelaparan, kesedihan, dan keamanan. Pemerintah daerah kedepan dilihat dalam penuntasan persoalan-persoalan ini.
Sebelum Korona, kepala daerah petahana yang berencana maju kembali pada periode kedua. Memanfaatkan isu-isu pembangunan sebagai fokus keberhasilan untuk menang kembali. Namun, pada saat corona melanda Indonesia, Pilkada serentak diagendakan digelar tahun ini.
Isu-isu jaminan sosial dan kecepatan pemerintah daerah menangani kecemasan masyarakat soal ekonomi, lapangan kerja, dan lainnya jadi prioritas.
Ini juga harus menjadi pusat perhatian dari penantang petahana dengan memainkan ide-ide yang brilian dalam mengatasi soal data masyarakat, sosial, kesejarahteran, dan keamanan. Yang selama ini tak jadi prioritas petahana untuk meyakinkan masyarakat. Padahal semua itu sesuatu yang penting pada saat darurat.
Pemerintah daerah yang siap tak bergerak secara darurat pada kondisi darurat, kecuali persoalan memang hanya jadi program dadakan saja.
Tulisan ini penting menurut saya disampaikan pada momentum corona agar kepala daerah petahana dan penantangnya berpikir ulang untuk menjadi kepala daerah. Tujuan menjadi kepala daerah selama ini mengharapkan proyek, pengaruh, dan kehormatan.
Cara pandang masyarakat semakin memahami tentang pemimpin pada saat krisis. Pemimpin yang ditunggu kehadirannya tak dengan citra dan populeritasnya saja, tetapi juga kinerjanya untuk jadi harapan masyarakat.
Singkat kata, pemimpin yang diharapkan bekerja dengan data, ilmu, kecepatan, dan ketepatan. Pikiran sosial seorang pemimpin selain didukung oleh data yang akurat, kehadiran yang nyata, dan solusi yang cepat.
Cara kerja virus corona yang cepat menjadikan seorang pemimpin berpaju dengan kecepatan internet, yang selama ini standar pembaharuan dari birokrasi dan kepemimpinan.
Namun, saat ini kecepatan dan data juga didukung dengan solusi. Empati yang tidak ditunjukan dengan keprihatinan terhadap masyarakat, tetapi langsung dengan pembuktiannya.
Arifki Chaniago, Pengamat Politik