PSBB dan Kekuatan Ekonomi Daerah 

Pemberlakuan PSBB hampir dapat dipastikan akan membuat lesu kegiatan perekonomian. Hampir pasti. Namun, bagi mata yang jeli melihat peluang, maka ini adalah moment untuk belajar berdiri di kaki sendiri bagi daerah.

Berkurangnya dengan drastis lalu lintas orang, secara sistemik juga akan mengurangi jumlah produksi dan proses distribusi. Lalu lintas orang dan barang antar daerah akan berkurang secara drastis.

Sementara kebutuhannya tidak akan berkurang banyak. Akan ada stok dan segmen kosong yang perlu diisi. Dan seharusnya bisa diisi oleh pelaku ekonomi lokal di daerah, terutama pada kelas UMKM.

Semua kabupaten dan kota yang ada di Indonesia, pasti memiliki pelaku ekonomi skala kecil dan menengah. Walaupun perekonomian di suatu daerah biasanya dikuasai "pemain besar", tapi secara jumlah, dipastikan pelaku ekonomi dari segmen kecil dan menengah lebih banyak.

Sebagai contoh, di Padang misalnya, yang menjual fried chicken itu banyak, tapi secara omset mereka pasti kalah dari pemain besar seperti KFC, McDonald's dan sejenisnya. Di Tangerang, banyak grup besar yang memiliki investasi dan pabrik di sana, dan PAD daerahnya dari grup itu sangat besar. Tapi sekali lagi, secara jumlah, pelaku ekonomi dari kalangan kecil dan menengah di sana pasti lebih banyak.

Menghadapi situasi yang semi tertutup akibat Covid-19 ini, maka semua level pelaku ekonomi akan drop. Bagi yang bersandar kepada perbankan, kondisinya akan lebih sulit lagi.

Mereka tidak bisa bergerak seleluasa biasanya, tapi ikatan di pinggang tetap sekencang yang biasanya, maka banyak dari pemain besar yang kemudian mengambil langkah radikal. Paling sering dengan melakukan PHK dan mengurangi produksi.

Bagi UMKM hal ini bisa menjadi peluang baru. Peluangnya kecil, tapi momentum yang besar biasanya lahir dari peluang yang kecil. Cukup menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah, maka mereka bisa menjaga usahanya agar tidak terlalu lari dari trek.

Di sisi lain, bagi pemerintah daerah inilah waktunya untuk lebih fokus mengurusi UMKM di daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah bisa proaktif memberikan guidance kepada UMKM mulai dari barang yang mesti diproduksi, dan menjadi perantara dan informal liason guarantee bagi usaha UMKM tersebut.

Misalnya Agam. Ada ratusan pengusaha konveksi di Agam yang selama ini memproduksi baju kurung, mukena, dan selendang koto gadang yang harganya jutaan itu. Tapi saat ini publik tidak lebih membutuhkan itu dibandingkan masker.

Maka Bupatinya menginstruksikan agar para pengusaha konveksinya memproduksi masker dan APD. Toh, mesin yang dipakai sama, teknik pembuatan tidak jauh beda. Alhasil pelaku UMKM di bidang konveksinya tetap bisa running pada masa krisis saat ini.

Selanjutnya poin lebih dari bersandar kepada UMKM adalah, uang yang dihasilkan oleh UMKM mayoritasnya akan kembali beredar di daerah tersebut. Tidak banyak uang tersebut yang akan lari ke luar.

Jika mengambil contoh kepada UMKM di bidang konveksi, paling-paling uang yang lari keluar hanya untuk membeli material kainnya. Itupun larinya sebatas ke Bandung atau Tanah Abang Jakarta. Tidak sampai ke Kepulauan Cayman sana.

Selebihnya uang itu akan beredar untuk gaji karyawannya, yang bisa dipastikan itupun pasti lokal. Dan tentu juga untuk konsumsi kebutuhan mereka. Dan lagi-lagi pasti akan beredar di tingkat lokal. Karena mereka tidak akan membeli sayur atau sembako ke kota lain. Pasti ke pasar lokal.

Artinya, pemerintah daerah tidak perlu dikhawatirkan dengan maraknya rush, atau keluarnya uang dari daerah mereka yang bisa membuat perekonomian mereka ambruk. Seperti yang terjadi pada Indonesia pada tahun 1998, dalam bentuk skala yang lebih besar.

Moment Covid-19 ini bisa dipandang sebagai turning point bagi pemerintah daerah memandang perekonomiannya. Saatnya pemerintah daerah bersandar kepada produk lokal dan UMKM nya sendiri. Karena untuk rally jangka panjang, mereka lah yang paling memungkinkan untuk bertahan dan memberikan sumbangsih terbesar bagi pemerintah daerah.

Bukan usaha perkebunan yang menghasilkan miliaran bahkan ratusan miliar, untuk kemudian ditinggalkan seratusan jutanya untuk pemerintah daerah, sisanya cabut ke Jakarta, atau ke Singapura. Sekali lagi, 1998 sudah memberikan kita pelajaran pahit itu.

Sejarah sudah mengajarkan, bersandar kepada 1, 2 atau 5 pelaku ekonomi besar sama beresikonya dengan meletakan semua telur pada 1 keranjang. Begitu mereka collapse maka daerah pun akan ambruk, pecah semuanya.

Tapi dengan bersandar pada UMKM artinya meletakan telur pada banyak keranjang. Satu dan lainnya saling menjadi jaring pengaman. Mata rantainya tidak akan putus dengan mudah. Bisnis restoran dan penginapan sekarang ini pasti kelimpungan, namun bisnis konveksi, layanan pesan antar, makanan dan minuman akan mampu bertahan.

Perputaran uang pasti jatuh, tapi tidak terhempas dan pecah. Artinya walau melambat, perekonomian masyarakat tetap berputar. Dan daerah mempunyai bumper pertama untuk menghindari peningkatan persentase kemiskinan.

Tommy TRD, Alumni STPDN dan PNS di Pemkab Agam

Baca Juga

Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Sumbar, Bayu Aryadhi mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi
BP2MI: Tidak Ada Pekerja Migran Indonesia dari Sumbar di Zona Konflik
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
BNNP Sumbar Gagalkan Penyelundupan Setengah Ton Ganja di Kabupaten Pasaman 
Ahmad Hafidz
Nagari Creative Hub: Penggerak Ekonomi Masyarakat
Sebanyak 14 anggota DPR RI dan 4 anggota DPD RI terpilih asal Sumatra Barat untuk periode 2024-2029 telah dilantik pada 1 Oktober 2024
Harta Kekayaan Anggota DPR dan DPD Asal Sumbar: Mulyadi Terkaya, Cerint Iralloza Terendah
Menteri BUMN Erick Thohir telah menyetujui pengalihan lahan PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk pengembangan RSUP M Djamil Kota Padang.
Flyover Sitinjau Lauik Segera Dibangun, Andre: Pemenang Lelang Diumumkan 7 Oktober 2024