Langgam.id - "Pada tanggal 3 Maret 1947, unit-unit bersenjata yang umumnya berasal dari laskar-laskar muslim mengangkat senjata melawan pemerintah Republik di Bukittinggi dan di beberapa kota lain di Sumatra Barat."
Demikian Audrey Kahin menggambarkan pergolakan yang terjadi di Ranah Minang pada tahun-tahun awal kemerdekaan dalam bukunya "Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998" (2005). Peristiwa tersebut terjadi tepat 72 tahun lalu, dari hari ini, Ahad (3/3/2019).
Para laskar yang mengangkat senjata, menurut Sejarawan Cornell University itu, berencana menculik Residen Rasjid, Komandan Militer Ismail Lengah dan pejabat-pejabat tinggi keresidenan lainnya.
Wilayah administratif Sumatra Barat kala itu memang berbentuk keresidenan, dipimpin oleh Residen Mr. Muhammad Rasjid sejak 20 Juli 1946.
Saafroedin Bahar dalam Buku "Etnik, Elite dan Integrasi Nasional" menyebut, pada bulan-bulan awal sebelum itu, sudah lama terjadi keresahan di kalangan para laskar. "Antara lain disebabkan oleh perbedaan pelayanan perbekalan antara pasukan tentara reguler Divisi IX Banteng yang jauh lebih baik dengan perbekalan untuk laskar," tulisnya.
Kedua kesatuan, menurut Saafroedin, bertugas di front yang sama, yakni Padang Area. "Selain itu mereka menilai, pimpinan perjuangan di daerah bersikap lembek kepada para bekas pejabat pamongpraja Hindia Belanda," tulisnya.
Para pegawai Pemerintah Hindia Belanda di masa lalu itu, disebutkan telah mengadakan pertemuan di salah satu desa di pinggir Danau Singkarak. Pertemuan tersebut dikatakan menghasilkan 'Piagam Singkarak'. Mereka dikabarkan bersiap untuk menerima kembali kedatangan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Butir-butir Perjanjian Linggarjati juga turut menjadi pemicu. Perjanjian yang dilaksanakan pada 11-13 November 1946 itu berlangsung di Linggarjati, Cirebon. Saat peristiwa 3 Maret terjadi, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjalankan fungsi DPR saat itu, masih membahasnya. Perjanjian ini sendiri baru disahkan resmi pada 25 Maret 1947.
Perjanjian Linggarjati, menurut Audrey, mengharuskan tentara Republik di Sumbar mundur dari Kota Padang dan sekitarnya. Para pejuang hanya boleh menempatkan satu kelompok kecil polisi dan beberapa aparat pemerintahan inti di kota tersebut. Hal ini membuat orang Sumatra Barat berang.
Audrey Kahin yang mewawancarai Sjuib Ibrahim dan Maksum, dua pimpinan Hizbullah, di Padang pada 1 Juli 1976 mengungkapkan empat penyebab lain yang lebih substansi.
Pertama, ketidakpuasan atas ketimpangan antara kekuatan politik Islam di tingkat nagari yang kurang terwakili di tingkat keresidenan. Kedua, banyak pimpinan keresidenan yang dituding dekat dengan Belanda sehingga dikhawatirkan mereka menghambat revolusi.
Ketiga, ketidaksenangan pasukan di garis depan yang menuding para perwira militer di Bukittinggi hidup bersenang-senang. Keempat, sama dengan yang diungkapkan Saafroedin, laskar marah karena perbekalan pasukan hanya diperuntukkan bagi pasukan reguler, sementara mereka tidak kebagian apa-apa.
Kelompok yang memimpin pemberontakan tersebut, menurut Audrey, sebagian besar berasal dari partai politik Islam dan laskar agama serta sekuler. Kelompok ini diketuai tokoh senior Muhammadiyah Saalah J. Sutan Mangkuto dan ulama Padang Panjang Adam BB bersama sejumlah tokoh laskar Islam Hizbullah, Sabilillah dan Lasjmi.
Ikut pula Nazaruddin Datuk Rajo Mangkuto, pemimpin laskar partai adat MTKAAM. Anggota misi intelijen dari Komando Militer Sumatra di Medan yang dipimpin Kapten Ahmat Tobri juga ikut dalam gerakan ini. Semula, misi ini datang ke Sumbar untuk menyelidiki 'Piagam Singkarak'.
Residen Rasjid dan Kolonel Ismael Lengah, menurut Audrey, sudah diingatkan akan ada kudeta tersebut. Keduanya kemudian berpidato di depan para ulama, membantah tuduhan-tuduhan itu. Karena itu, keduanya bisa diselamatkan para pengawal sebelum diculik. Namun, beberapa pejabat dan tokoh sipil di beberapa daerah lain berhasil diculik.
Selain tak berhasil menangkap Rasjid, dalam pelaksanaan, gerakan ternyata lemah dan tak terorganisir. Sempat terjadi kontak tembak di Bukittinggi selama beberapa jam, namun sebelum berhasil masuk kota, kelompok penyerang menyerah.
Sekitar 200 personil Divisi Banteng dari Padang didatangkan untuk membantu memadamkan pemberontakan. Kepada para tentara, menurut Saafroedin, sudah diberikan instruksi untuk mengurangi tembakan seminim mungkin agar tidak muncul korban yang tak perlu.
Dengan penghadangan yang rapi, tentara berhasil melucuti laskar yang semula ingin menyerang dan membuat mereka menyerah. "Mereka yang berusaha bersembunyi di rumah-rumah rakyat dibiarkan saja, tidak dikejar," tulis Saafroedin.
Polisi Tentara kemudian menangkap beberapa tokoh pemimpin gerakan. Sejumlah tokoh lain berupaya menjadi penengah untuk mencarikan kompromi. Upaya ini ditolak oleh Ismail Lengah. Namun, Residen Rasjid dan sejumlah petinggi keresidenan tetap berprinsip, mereka tak boleh diperlakukan sewenang-wenang.
Akhirnya, hanya dua tokoh politik, yakni Saalah Sutan Mangkuto dan Nazaruddin yang kemudian disidang. Saafroedin menyebut, sidang berlangsung pada 15-17 Juni 1947 dengan majelis hakim Mr. Harun Al Rasjid didampingi Letkol Burhanuddin dan Mayor Abunawas, Jaksa Penuntut Umum Idrus dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) menjadi penasehat hukum para terdakwa.
Dalam tulisan di Majalah Panji Masyarakat No. 251, tahun XX, 15 Juli 1978/ 9 Sya’ban 1398, halaman 17-23, dikutip dari Nuun.id, Buya HAMKA menuliskan pengalaman menjadi penasehat hukum itu.
"Kawan-kawan separtai dalam Masyumi dan Pimpinan Muhammadiyah Minangkabau menyerahkan kepada saya sendiri dengan penuh kepercayaan untuk bertindak sebagai pembela dari kawan-kawan yang tersangkut dalam peristiwa itu. Di antaranya ialah saudara S.Y. Sutan Mangkuto (Alm), yang saya gantikan menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat karena beliau menjabat Bupati di Solok," tulisnya.
HAMKA mengaku tidak menyangka bakal jadi pengacara dadakan. "Di zaman revolusi hal yang tidak kita sangka dapat saja kejadian. Sampai saya yang tidak pernah masuk sekolah, jangankan masuk Fakultas Hukum, memberanikan diri menjadi advokat atau pengacara untuk membela suatu perkara yang boleh dikatakan besar dan Alhamdulillah pembelaan itu berhasil dengan baik," katanya.
Pembelaan Buya HAMKA, membuat Saalah Sutan Mangkuto hanya dapat hukuman percobaan dari Mahkamah Tentara. Sementara Nazaruddin Datuk Radjo Mangkuto divonis satu tahun penjara.
Setelah peristiwa tersebut berbagai upaya rekonsiliasi dilakukan. Namun kecurigaan dari kedua belah pihak masih terjadi.
Sampai kemudian, Perintah Presiden Sukarno pada 3 Juni 1947 mengharuskan seluruh laskar bergabung ke tentara reguler. Hal yang disambut baik banyak pihak di Sumbar. Sjarief Usman kemudian diberi tugas mengupayakan hal tersebut.
Meski menemui berbagai kendala, menurut Audrey Kahin, pada awal 1948 seluruh laskar berhasil digabungkan dalam komando militer resmi.
Kekuatan inilah yang kemudian menjadi pengawal utama Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) setelah agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Mereka makin menyatu, saat bergerilya sejak akhir 1948 sampai pertengahan 1949 mengawal berjalannya pemerintahan darurat. (HM)