Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Supardi bersilang pendapat. Soalnya, proses rekrutmen direksi Bank Nagari. Kata gubernur, proses rekrutmen sudah sesuai aturan. Aturannya, Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut Supardi, gubernur salah semat. UU OJK tidak bisa dijadikan acuan. Tapi, Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah. PP No. 54/2017 merupakan turunan dari UU Pemerintahan Daerah: UU No. 23 Tahun 2014 yang sudah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015.
Silang pendapat berbuntut agak panjang. Ketua DPRD Supardi menggaham gubernur. Rancangan peraturan daerah tentang konversi Bank Nagari dari konvensional ke syariah tidak akan dibahasnya. Kecuali gubernur menyadari kekeliruannya tersebut dan memperbaikinya.
Saya dimintai pendapat soal itu. Yang meminta Ketua DPRD. Selasa 25/2/2020, hadirlah saya di gedung rakyat yang bagus itu.
Saya menyampaikan pendapat apa adanya. Sesuai dengan basis keilmuan yang saya miliki. Sebagai legal governance specialist atau spesialis hukum tata kelola. Baik tata kelola korporasi maupun tata kelola pemerintahan.
Pada pertemuan itu, saya sampaikan bahwa pangkal balanya adalah belum disesuaikannya struktur kepemilikan (ownership) Bank Nagari. Undang Undang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014 yang diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015) yang mengatur Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mewajibkan BUMD (dulu disebut perusahaan daerah) yang sudah ada sebelumnya untuk menyesuaikan struktur kepemilikan sahamnya; satu daerah harus memegang lebih 50% dari jumlah saham yang beredar.
Penyesuaian itu harus sudah dilakukan 3 tahun setelah UU Pemda diundangkan. Bermakna, akhir tahun 2017, harus sudah ada salah satu daerah yang memegang 50% lebih saham Bank Nagari. Faktanya, sampai hari ini, itu tidak terjadi. Saham terbesar masih berjumlah 32% lebih sedikit. Pemegangnya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Karena penyesuaian belum dilakukan, secara tekstual, Bank Nagari tidak dapat disebut BUMD. Konsekuensinya, PP No. 54/2017 tidak serta merta dapat diterapkan kepada Bank Nagari. Apalagi Permendagri No. 37 Tahun 2018 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Pengawas Atau Anggota Komisaris dan Anggota Direksi Badan Usaha Milik Daerah. Jadi, dari perspektif hukum, DPRD Sumatera Barat memang tidak bisa mamaksa Gubernur untuk menundukkan diri kepada PP No. 54 Tahun 2017 dan Permendagri No. 37 Tahun 2018.
Sebaliknya, pendapat gubernur yang menganggap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai acuan seleksi direksi juga tidak tepat. OJK bukan lembaga yang berwenang memilih direksi. Kewenangan OJK hanya sebatas menyetujui atau tidak menyetujui calon direksi yang diajukan perusahaan hasil dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setelah menjalankan rangkaian proses internal di perusahaan. Dasar menentukan persetujuan itu mengacu kepada Peraturan OJK No. 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.
Singkatnya, alurnya begini: perusahaan dipersilakan memilih calon direksi sesuai dengan aturan internal perusahaan masing-masing. Setelah terpilih dan dikukuhkan melalui RUPS, OJK menguji kemampuan dan kepatutan calon tersebut. Jika lolos, calon direksi tersebut langsung bekerja. Jika tidak, RUPS harus segera digelar lagi untuk membatalkan pengangkatan direksi yang sudah terlanjur diangkat melalui RUPS sebelumnya itu. Calon baru harus diajukan OJK untuk diuji lagi. Begitu benarlah amanat Pasal 26 ayat (1) POJK No. 27/POJK.03/2016. Jadi, dalam konteks ini, adalah salah kaprah memosisikan UU OJK sebagai aturan yang harus diacu dalam proses internal pemilihan direksi Bank Nagari. Apalagi menyangkutpautkan UU No. 23 Tahun 2014 dan UU No. 21 Tahun 21 Tahun 2011 dengan azas lex spesialis derogat legi generali.
Lalu, aturan mana yang harus diacu dalam memilih direksi Bank Nagari? Jawabannya memang tidak mudah. Secara tekstual, Bank Nagari memang bukanlah BUMD. Akan tetapi, secara faktual, Bank Nagari adalah Bank milik publik Sumatera Barat (modalnya berasal dari uang publik melalui kekayaan daerah yang dipisahkan) yang sahamnya terbagi-bagi di tangan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebagai acting shareholders (pemegang saham yang mewakili kepentingan masyarakat). Sebagai perseroan milik publik, Bank Nagari tidak boleh hanya dipaksa tunduk kepada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas saja. Usul saya, jalan kompromi harus ditempuh. Berlakukan UU No. 40 Tahun 2007 dan UU No. 23 Tahun 2014 kepada Bank Nagari dalam memilih direksi. Alasan yuridisnya cukup kuat. Silakan terjemahkan Pasal 1 ayat (2) huruf b.2 POJK No. 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum.
Pembuat POJK No. 55/POJK.03/2016 menyiapkan landasan hukum buat perusahaan-perusahaan yang secara faktual adalah milik daerah (dulu disebut perusahaan daerah) yang belum sempat menyesuaikan diri dengan aturan baru manakala UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang sudah dibatalkan oleh UU No. 23 Tahun 2014.
Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Gubernur dan ketua DPRD Sumatera Barat harus duduk bersama mencarikan ujung polemik Bank Nagari. Sesat di ujung jalan, obatnya kembali ke pangkal jalan. Ancaman ketua DPRD yang tidak akan membahas ranperda konversi Bank Nagari Konvensional ke bentuk syariah jika gubernur tidak mengubah kebijakannya, tidaklah elok. Sangat tidak bijaksana. Kedua belah pihak harus meletakkan kepentingan masyarakat Sumatera Barat selaku ultimate shareholders Bank Nagari di atas kepala mereka masing-masing. Semoga Bank Nagari baik-baik saja. Kepercayaan publik harus tetap terjaga, dan rencana konversi ke syariah berjalan sesuai rencana. (*)
Miko Kamal: Legal Governance Specialist