Langgam.id - Dosen dan ahli Hukum Agraria Universitas Andalas (Unand) Padang Kurniawarman menyebutkan bahwa polemik pembangunan Tol Padang-Pekanbaru bukanlah soal tidak terimanya masyarakat akan keberadaan tol tersebut. Namun, yang menjadi persoalan utama, ganti ruginya yang tak layak.
Dalam pembangunan tol itu, kata Kurniawarman, ada empat tahapan. Yaitu, perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.
Permasalahan saat ini, menurut Kurniawarwan ada pada tahap pelaksanaan. "Dari empat tahapan itu, sengketa yang terjadi di tahap pelaksanaan, kalau kita ingin tahu siapa yang harus berbenah, maka kita cari tahu siapa aktor dalam tahap persiapan," ujarnya dalam acara Fokus Group Discussion (FGD) di Inna Muara Hotel Padang, Kamis (27/2/2020).
Soal ganti rugi lahan, kata Kurniawarman, seharusnya diberikan dengan layak dan adil. Namun, hal itu tidak dirasakan oleh masyarakat. Permasalahan ini terjadi saat penentuan nilai ganti rugi di tahap awal oleh tim appraisal.
"Kesalahan tim appraisal dalam menilai harga tanah, karena hal yang paling krusial itu soal penentuan harga ganti rugi lahan masyarakat," jelasnya.
Dan, Gubernur Sumbar, katanya, juga harus bertanggungjawab soal polemik ganti rugi lahan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Seharusnya, menurut Kurniawarman, hal itu dilakukan dalam musyawarah, kerena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2012. Namun, dalam pelaksanaannya ada sedikit pelintiran yang dilakukan dan itu sangat krusial.
"Saat itu, pemerintah menentukan bentuk ganti ruginya saja, tetapi nilai ganti rugi sepihak oleh tim appraisal," ungkapnya.
Padahal, nilai ganti rugi itu yang lebih utama. Penilaian tim juga dijadikan sebuah ketetapan, seharusnya ketetapan dilakukan dalam musyawarah dengan membawa bahan dari tim appraisal.
"Padahal penilaian appraisal itu hanya sebagai bahan yang seharusnya dibawa ke dalam musyawarah dengan masyarakat, jadi apraisal bukan menetapkan, tetapi membantu untuk memusyawarahkan," ucapnya.
Jika, dilaksanakan musyawarah dalam memutuskan harga tanah, ia menilai pasti lebih akan lebih jelas. "Orang yang bermusyawarah atas tanah pasti berbeda nilainya di setiap pembangunan, di manapun itu," katanya.
Apalagi, soal jalan tol. "Ini beda dengan jalan umum yang mungkin akan diterima saja oleh masyarakat, karena bisa membuka akses warga sekitar. Sedangkan jalan tol tertutup dan bisa memutus akses warga, karena membelah kampung," katanya. (Rahmadi/ZE)