Dewasa ini, profesi petani kian ditinggalkan rakyat Indonesia. Sebagian besar dilakoni oleh kaum tua, sementara kalau ada anak muda, terkadang pilihan akhir untuk bertahan hidup.
Revolusi 4.0 yang tengah berjalan, memang muncul petani-petani muda yang inovatif menyuburkan pertanian dengan teknologi. Tapi lagi-lagi, angkanya hanya bisa dihitung jari.
Berdasarkan laporan angkatan kerja nasional yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, jumlah petani di Indonesia saat ini berkisar 4 juta jiwa. Sangat kecil dibanding seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 264 juta orang.
Berlanjut pada laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035 yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan BPS, sejak tahun 2010, gelombang urbanisasi ke Jakarta sudah mencapai 100 persen, melewati batas daya tampung kota.
Melihat fenomena ini, penulis melihat nestapa ekonomi menjadi pangkal utama pekerjaan bertani bukan menjadi primadona, bahkan ditinggalkan. Petani identik dengan kemiskinan, pekerjaan gurem.
Jika ditelisik, sebenarnya, ada beberapa permasalahan yang dihadapi para petani gurem dalam keseharian mereka untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi di antaranya adalah kepemilikan dan penguasaan atas-- (1) luasan lahan garapan, (2) permodalan untuk membudidayakan tanaman, (3) pemasaran atau pendistribusian produk atau hasil pertanian, (4) teknologi pembudidayaan dan pengolahan produk atau hasil pertanian, dan (5) kebijakan pemerintah yang mendukung keseluruhan aspek di atas.
Termasuk di dalam aspek kebijakan tersebut adalah berbagai bentuk perlindungan dan perizinan yang mendukung dan berpihak atau pro-petani. Perlindungan di dalamnya termasuk tidak mengkriminalisasikan petani yang inovatif, namun justru mempermudah mereka untuk memperoleh hak paten selayaknya hak atas kekayaan intelektual bagi para petani inovatif.
Berharap, apalagi bergantung kepada pihak luar, termasuk kepada pemerintah untuk keberdayaan bukanlah pilihan yang rasional untuk para petani gurem itu sendiri. Untuk memberdayakan para petani gurem, pilihan yang lebih rasional adalah memperkuat organisasi dan menumbuhkembangkan koperasi.
Dengan organisasi dan koperasi petani, maka petani akan memiliki kekuatan dalam politik dan ekonomi. Apalagi sebelumnya para petani sesungguhnya sudah memiliki modal sosial dan kultural yang baik dan kuat; solidaritas dan kolektivitas, yang keduanya termanifestasikan dalam bentuk bekerja bersama atau gotong royong.
Dengan demikian, aspek yang paling utama dari ke lima aspek sebelumnya, justru pada poin ini; petani harus berkuasa atas diri mereka atau berdaya.
Sekali lagi dengan cara yang sederhana yaitu berorganisasi dan berkoperasi. Dua hal inilah yang akan membuat para petani (gurem) maju, namun sekaligus mandiri dan merdeka.
Organisasi, Koperasi, dan Jejaring Kooperasi
Jejarang kooperasi adalah jaringan kerja sama yang bisa dan harus dilakukan oleh organisasi dan koperasi petani. Misalnya membangun jaringan kerjasama antara organisasi dan koperasi petani dengan organisasi dan koperasi dosen sekaligus mahasiswa.
Sebab sebagaimana para petani, para dosen dan para mahasiswapun untuk maju, mandiri, dan merdeka, sesungguhnya juga harus berorganisasi dan berkoperasi. Tanpa itu, sama saja nasib mereka dengan para petani gurem: lemah dan tidak berdaya menghadapi gelombang dinamika dalam kehidupan sehari-hari.
Model pembangunan keberdayaan petani dan dosen itu dapat ditemukan dan dilihat pada dinamika antara Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati Mini di Kampung Taruko Rodi, Kelurahan Koto Lua, Kecamatan Pauh, Kota Padang dengan Majelis Dosen Muda (MDM) Universitas Andalas di Sumatera Barat, Indonesia.
Baik di pihak para petani sebagai warga kampung maupun di pihak para dosen sebagai warga kampus, keduanya harus bersama-sama menghadapi dinamika kota sekaligus dinamika yang lebih luas di tingkat global.
Salah satu isu yang mempertemukan antara koperasi petani dan koperasi dosen adalah pangan yang baik, sehat, dan bergizi. Dengan kalimat lain para petani adalah para produsen yang akan menyediakan pangan dengan kriteria tersebut, sedangkan para dosen adalah para konsumen yang akan menyerap produk hasil pertanian tersebut.
Di sisi lain, para dosen yang memproduksi pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang ilmu, sesungguhnya juga membutuhkan para konsumen yang siap untuk menyerap dan mengimplementasikan hasil inovasi mereka. Dalam hal ini tentu saja para petani yang sudah terorganisir tersebut.
Termasuk ilmu Hubungan Internasional yang penulis tekuni, bukanlah ilmu yang jauh dari kehidupan para petani. Justru ilmu yang akhirnya bisa digunakan untuk menjelaskan dinamika dalam struktur dan sistem internasional yang berlaku sehingga mampu menjawab pertanyaan mengapa kehidupan para petani menjadi susah.
Setidaknya, penjelasan tentang dinamika kapitalisme global yang membentuk rezim internasional pertanian lah yang mengubah kehidupan para petani melalui berbagai kebijakan organisasi dan institusi internasional. Di mana hampir semua negara termasuk Indonesia terikat dalam perjanjian internasional untuk meliberalisasikan pertanian dan perdagangan terkait produk pertanian dalam skema keanggotaan di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Pengetahuan semacam itulah kemudian yang pernah penulis sampaikan khususnya kepada Ibu-Ibu anggota KWT Melati Mini dalam sebuah diskusi "Menumbuhkan Koperasi Tani" pada Sabtu, 15/02/2020, pukul 08.30 sampai 11.00 di rumah salah satu pengurus organisasi dan koperasi tani tersebut.
Pengetahuan itu juga memberikan gambaran mengapa tidak bijaksana jika para petani hanya berharap bahkan bergantung kepada pemerintah sekalipun untuk memajukan kehidupan mereka.
Meskipun itu adalah hak para petani sebagai warga negara, dan kewajiban pemerintah yang memegang amanat untuk menyelenggarakan negara.
Namun tentu lebih bermartabat bagi para petani (termasuk para dosen dan mahasiswa) dalam memajukan kehidupan mereka dengan kemandirian dan kemerdekaan.
Dua hal inilah yang dapat diwujudkan dengan berorganisasi dan berkoperasi, plus berjejaring kooperasi. (***)
* Penulis adalah Dosen HI FISIP Unand, Aktivis MDM, dan Inisiator Koperasi MDM Unand