Langgam.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, mengadakan diskusi bertajuk "Wajah Bahasa di Media Kita" di Kantor AJI di Rumah Ikhlas nomor 16, Jalan Ikhlas XII, Kawasan Andalas, Kota Padang, Rabu (29/1/2020).
Organisasi wartawan tersebut menghadirkan pengamat bahasa, Holy Adib, sebagai pemantik dan narasumber diskusi.
Ketua AJI Padang, Andika D Khagen, mengatakan, diskusi merupakan agenda bulanan AJI Padang. Materinya kerap mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan pengetahuan jurnalistik.
"Isu bahasa dipilih karena merupakan alat utama menyampaikan informasi kepada masyarakat. Jadi jurnalis itu harus menguasai bahasa dengan baik," ujarnya.
Dalam paparannya, Holy Adib, menilai wajah bahasa di media massa belakangan ini tercoreng oleh banyaknya kesalahan penggunaan bahasa dalam berita. Seperti kesalahan sintaksis dan diksi.
Akibatnya, informasi yang ditulis wartawan menjadi keliru secara bahasa. Padahal salah satu sifat bahasa jurnalistik, menurutnya, harus jelas dan tidak menimbulkan bias makna atau ambiguitas.
"Selain itu, banyak kalimat yang mengandung kata mubazir dalam berita. Ini memang bukan kesalahan berbahasa. Namun, dalam bahasa jurnalistik sebaiknya jangan ada kata boros," katanya.
Bahasa jurnalistik harus hemat kata karena jurnalisme bersandar pada terbatasnya ruang dan waktu. Jurnalisme menginginkan kemampuan komunikasi cepat dalam ruang dan waktu yang relatif terbatas.
"Jangan buang waktu pembaca hanya untuk membaca satu berita," ujar mahasiswa pascasarjana Linguistik Universitas Andalas itu.
Ia mengamati kesalahan-kesalahan berbahasa di berbagai media massa relatif sama dan terjadi berulang-ulang. Hal itu merupakan bukti bahwa media tidak memperhatikan bahasa secara serius.
"Media bahkan mungkin menganggap bahasa bukan bagian penting, padahal bahasa merupakan bagian penting jurnalisme untuk menyampaikan informasi," katanya.
Salah memakai bahasa tidak hanya berdampak pada tidak tersampaikannya informasi dengan tepat, tetapi juga tidak dipahaminya informasi oleh pembaca.
Esais yang menulis buku kumpulan esai bahasa, Pendekar Bahasa (Basabasi, 2019) itu, menjelaskan perihal tudingan bahwa keharusan untuk memproduksi berita dengan cepat. Terutama pada jurnalisme siber (online), yang mengorbankan akurasi berbahasa dan berpotensi besar menimbulkan kesalahan berbahasa, Adib menolak hal itu sebagai kambing hitam utama.
Menurutnya, tuduhan seperti itu sebuah bentuk cuci tangan pengelola media terhadap sikap abai akan bahasa selama ini. Buktinya, kesalahan-kesalahan berbahasa juga sering ditemukan di media massa cetak.
"Keharusan untuk menulis berita dengan cepat memang menyumbang kesalahan berbahasa di media massa. Namun sumber utama masalahnya bukan itu," katanya.
Menurut mantan editor bahasa Harian Haluan itu, kebanyakan media massa selama ini tidak memperhatikan pemakaian bahasa di media secara serius. Karena itu, kesalahan berbahasa yang sama terjadi di banyak media dan berulang-ulang.
"Jadi, sebelum buru-buru mengambinghitamkan keharusan untuk menjadi yang paling dulu menerbitkan berita sebagai penyebab kesalahan berbahasa, pengelola media siber sebaiknya bertanya kepada diri sendiri," katanya.
Hal-hal yang mesti ditanyakan menurutnya, pernahkah memberikan perhatian kepada bahasa? Pernahkah menganggap bahasa sebagai bagian penting dari jurnalisme? Pertanyaan itu juga bisa ditanyakan kepada pengelola media cetak.
Bagaimana cara mengurangi kesalahan berbahasa di media? Adib mengusulkan dua solusi. Pertama, mempekerjakan redaktur bahasa. Ia mengatakan bahwa media-media besar, seperti Kompas, majalah Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, dan Republika, memiliki beberapa redaktur bahasa.
Kesalahan berbahasa di media-media itu ada, tetapi minim sekali. Kedua, tidak mempekerjakan redaktur khusus bahasa, tetapi memberikan pelatihan bahasa secara berkala kepada wartawan, baik redaktur maupun reporter.
Untuk memberikan pelatihan ini, media bisa memanfaatkan anggota dewan redaksi yang memiliki pengetahuan bahasa yang cukup luas. Media juga dapat mengundang orang dari luar redaksi untuk memberikan pelatihan.
"Setelah itu, media melakukan evaluasi kebahasaan secara berkala untuk melihat keberhasilan pelatihan yang diberikan. Media juga bisa memberlakukan sistem yang ketat dalam pemeriksaan bahasa, yang dimulai dari tingkat reporter, redaktur, hingga redaktur pelaksana—dan pemimpin redaksi kalau perlu," tuturnya.
Ia berpesan kepada pengelola untuk menulis berita sebagai kegiatan pelayanan kepada pembaca dan memperlakukan pembaca sebagai tamu yang harus dihormati. Baginya, menulis berita berarti melayani pembaca.
"Media adalah rumah, wartawan adalah tuan rumahnya, sedangkan pembaca adalah tamu. Jika bahasa yang disajikan tuan rumah begitu belepotan, tamu merasa tidak dilayani dengan baik dan merasa tidak nyaman" katanya. (*/Rahmadi/ICA)