Stabilitas global pada 2026 terlihat meyakinkan di permukaan. Proyeksi pertumbuhan dunia berbasis PPP bergerak di sekitar 2,9% pada 2026 setelah 3,0% pada 2025, lalu kembali ke 3,0% pada 2027. Banyak pihak akan membaca angka-angka ini sebagai sinyal “normalisasi” dan ruang bernapas setelah guncangan beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, stabilitas agregat sering menipu. Dunia memang stabil, tetapi tidak merata. Di balik rata-rata global, mesin pertumbuhan bergeser kuat ke Asia, sementara ekonomi maju tetap berjalan lambat. Pada titik inilah Indonesia harus berhenti menunggu arus global dan mulai membangun kekuatan dari dalam: investasi produktif, nilai tambah ekspor, dan diversifikasi pasar yang disiplin.
Peta pertumbuhan 2026 memperlihatkan ketimpangan yang harus dibaca sebagai peringatan sekaligus peluang. Blok Asia emerging mencatat rata-rata pertumbuhan sekitar 5,57% pada 2026, jauh di atas rata-rata global. Di dalamnya, India tampil sangat tinggi (fiscal year), sementara Indonesia bergerak stabil di sekitar 5,0% pada 2026 dan 5,1% pada 2027. China tetap tumbuh relatif kuat, tetapi melambat bertahap dari 4,8% pada 2025 menjadi 4,3% pada 2026 dan 4,0% pada 2027. Artinya, Asia tetap menjadi pusat gravitasi pertumbuhan, tetapi struktur kompetisinya berubah: permintaan tetap besar, namun tekanan persaingan manufaktur meningkat, dan volatilitas komoditas berpotensi lebih tinggi jika perlambatan China memengaruhi siklus permintaan industri.
Pada saat yang sama, ekonomi maju tidak memberi dorongan yang cukup kuat untuk menjadi penarik pertumbuhan global. Rata-rata G7 bergerak dari sekitar 0,97% pada 2025 menjadi 1,13% pada 2026, lalu 1,39% pada 2027. Euro Area hanya 1,1% pada 2026 setelah 1,4% pada 2025, lalu kembali 1,4% pada 2027. Ini bukan gambaran ekonomi yang siap mengerek volume perdagangan dunia secara agresif. Amerika Serikat memang stabil di sekitar 2,0% pada 2025–2026, tetapi Eropa masih membawa beban pertumbuhan rendah—bahkan Jerman memulai 2025 dengan 0,2% sebelum pulih. Jika Indonesia menggantungkan strategi pada “tarikan permintaan” Barat, Indonesia akan berhadapan dengan kenyataan pasar yang besar tetapi tidak ekspansif: pasar yang menuntut kualitas, standar, dan reliabilitas, bukan pasar yang memberi kenaikan volume secara otomatis.
Dari perspektif Indonesia, inti persoalannya bukan memilih Asia atau Barat, melainkan mengatur ulang cara Indonesia mengambil manfaat dari keduanya. Stabilitas global 2026 memberi ruang untuk membangun kekuatan, tetapi ruang itu hanya akan berguna jika Indonesia memanfaatkannya untuk memperbaiki mesin domestik. Proyeksi Indonesia yang stabil dari 4,9% pada 2025 ke 5,0% pada 2026 dan 5,1% pada 2027 menunjukkan jalur yang realistis: pertumbuhan yang tidak meledak, tetapi konsisten. Konsistensi ini bisa menjadi aset besar bagi kepercayaan investor, selama kebijakan menjaga kepastian dan eksekusi mampu menurunkan biaya ekonomi yang selama ini menggerus produktivitas.
Kekuatan pertama yang harus dibangun Indonesia adalah investasi produktif yang benar-benar meningkatkan kapasitas. Dalam dunia yang tumbuh sekitar 3% tanpa ledakan permintaan, negara tidak bisa mengandalkan ekspor komoditas mentah sebagai mesin utama. Indonesia perlu memperbesar kontribusi investasi yang memperdalam struktur industri: kawasan industri yang siap bangun, kepastian perizinan yang terukur, energi yang andal, serta logistik yang mengurangi waktu dan biaya. Investasi seperti ini bukan jargon. Ia menentukan apakah Indonesia bisa masuk lebih dalam ke rantai pasok Asia atau hanya menjadi pemasok bahan baku. Ketika Korea Selatan menunjukkan rebound pertumbuhan menuju 1,8–1,9% pada 2026–2027, sinyal siklus teknologi membaik. Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini untuk menarik manufaktur menengah—komponen otomotif, elektronik ringan, bahan antara—asal ekosistem industrinya “factory-ready” dan bukan sekadar menawarkan insentif tanpa kepastian implementasi.
Kekuatan kedua adalah menaikkan kelas ekspor. Perdebatan lama tentang ekspor sering berhenti pada angka nilai total, padahal yang menentukan daya tahan pertumbuhan adalah komposisi dan kualitas. Dalam peta global 2026, Barat tetap penting, tetapi lebih sebagai pasar premium yang menuntut standar dan traceability. Ini berarti Indonesia harus memenangkan pangsa pasar melalui kualitas, sertifikasi, dan konsistensi pasokan. Sementara itu, Asia emerging memberi peluang volume dan pertumbuhan kelas menengah, tetapi menuntut efisiensi dan daya saing harga. Menggabungkan dua arah ini hanya mungkin jika Indonesia menekan biaya logistik, memperkuat fasilitas pengujian mutu, mempercepat sertifikasi, dan memperluas pembiayaan ekspor—terutama bagi eksportir menengah yang sering kalah bukan karena produknya buruk, tetapi karena biaya transaksi dan risiko pembiayaan terlalu besar.
Kekuatan ketiga adalah diversifikasi pasar dan produk, bukan sebagai slogan, melainkan sebagai strategi mitigasi risiko. Perlambatan China memberi pesan bahwa satu pasar bisa berubah dan mempengaruhi banyak hal: harga komoditas, kompetisi manufaktur, hingga sentimen investor. Di sisi lain, Latin America tumbuh menengah tetapi volatil; kawasan ini lebih sering mempengaruhi persepsi risiko emerging markets. Jika terjadi risk-off, arus modal bisa berbalik cepat. Indonesia perlu membangun bantalan ketahanan melalui pendalaman pasar keuangan domestik, instrumen lindung nilai yang lebih terjangkau, serta kebijakan yang konsisten agar premi risiko tidak naik tanpa sebab. Stabilitas makro bukan tujuan akhir; ia adalah prasyarat agar investasi produktif dan ekspor bernilai tambah bisa tumbuh tanpa terganggu gejolak eksternal.
Dari ketiga kekuatan tersebut, muncul satu benang merah: stabilitas global 2026 harus dipakai Indonesia untuk memperbaiki faktor yang bisa dikendalikan, bukan meratapi faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan. Dunia memang stabil secara rata-rata, tetapi pemenang 2026–2027 adalah negara yang mampu memanfaatkan stabilitas itu untuk mempercepat reform logistik, membangun ekosistem industri, mengamankan energi, dan mengubah ekspor menjadi lebih bernilai tambah. Indonesia sudah berada pada jalur pertumbuhan yang cukup kuat dibanding rata-rata global. Pertanyaannya bukan apakah Indonesia bisa tumbuh 5%, melainkan apakah pertumbuhan 5% itu dibangun di atas fondasi produktivitas atau hanya hasil momentum yang rentan.
Stabilitas global tidak menjamin kesejahteraan nasional. Stabilitas hanya memberi ruang. Indonesia perlu mengisi ruang itu dengan pilihan kebijakan yang konsisten, eksekusi yang disiplin, dan keberanian untuk berpindah dari ekonomi berbasis komoditas menuju ekonomi bernilai tambah. Jika Indonesia membangun kekuatan melalui investasi produktif, ekspor yang naik kelas, dan diversifikasi yang nyata, maka stabilitas global 2026 tidak sekadar menjadi statistik dunia, melainkan menjadi batu pijakan bagi daya saing Indonesia.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)


