Industri Anugerah Sawit Tanpa Batas Membawa Hutan Terus Terkuras

Industri Anugerah Sawit Tanpa Batas Membawa Hutan Terus Terkuras

Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc. Ph.D (Foto: Dok. Pribadi)

Pohon sawit adalah salah satu anugerah paling nyata yang diberikan alam tropis kepada Indonesia. Ia tumbuh produktif berbuah karena ia diberi makan rutin dengan pupuk anorganik NPK. Dengan diberi makan rutin dengan pupuk NPK dia baru berbuah yang menghasilkan minyak nabati dalam jumlah yang belum tertandingi oleh tanaman lain. Yang jelas tanpa diberi pupuk NPK secara rutin, dia tidak akan berbuah. Dia pohon manja untuk berbuah dan dia bukan pohon hutan yang bisa menggantikan fungsi pohon hutan yang ia singkirkan. Dengan produktivitas sekitar empat ton minyak per hektar per tahun, sawit menempati posisi istimewa dalam lanskap pertanian dunia. Dari sudut pandang teknis, ia adalah keberhasilan.

Untuk menaikkan jumlah produksi minyak sawit, ekstensifikasi lahan adalah cara yang paling mudah dilakukan. Kemana lagi mencari lahan yang tersedia kalau bukan hutan yang menganga menjadi inceran.

Namun sejarah panjang relasi manusia dengan alam mengajarkan satu pelajaran mendasar: anugerah tidak pernah datang tanpa tuntutan kebijaksanaan. Ketika anugerah diperlakukan semata sebagai objek eksploitasi, ia perlahan kehilangan makna asalinya. Di titik itulah, sesuatu yang semula menyelamatkan dapat berubah menjadi beban, bahkan kutukan.

Produktivitas dan Godaan Menguasai Ruang

Keunggulan sawit melahirkan kekaguman sekaligus godaan. Dunia membutuhkan minyak nabati, dan sawit menjawab kebutuhan itu dengan efisiensi yang nyaris sempurna. Indonesia pun menjelma sebagai produsen utama, menyuplai mayoritas kebutuhan global. Sawit menjadi kebanggaan statistik, simbol keberhasilan pembangunan.

Tetapi produktivitas tinggi menyimpan konsekuensi ruang. Sawit bukan tanaman yang tumbuh di sela-sela keberagaman, melainkan di hamparan luas yang seragam. Ia membutuhkan lanskap yang disederhanakan. Dalam konteks Indonesia, ruang luas itu hampir selalu berarti hutan. Maka sejak awal, keberhasilan sawit berjalan beriringan dengan penyusutan hutan, meski sering tidak disadari sebagai tragedi bersama.

Ketika Tanaman Menjadi Industri

Sawit tidak berhenti sebagai tanaman. Ia tumbuh menjadi industri, dan industri memiliki logika yang berbeda dengan alam. Industri berbicara tentang skala, efisiensi, dan pertumbuhan berkelanjutan dalam arti ekonomi. Dalam logika ini, lahan bukan lagi ruang hidup, melainkan faktor produksi yang harus terus diperluas.

Di sinilah jarak antara sawit dan keseimbangan ekologis semakin melebar. Ketika ratusan ribu hektar dikonsolidasikan dalam satu tangan, relasi manusia dengan tanah berubah secara mendasar. Hutan yang sebelumnya dipahami sebagai sistem kehidupan, direduksi menjadi objek administratif yang dapat dilepas, ditukar, dan digantikan.

Hilangnya Hutan, Hilangnya Keheningan

Mengubah hutan menjadi kebun sawit bukan sekadar perubahan tutupan lahan. Yang hilang adalah keheningan ekologis: ritme air yang terjaga, keragaman hayati yang tak bersuara, dan hubungan batin masyarakat dengan ruang hidupnya. Sawit yang hijau dari kejauhan tidak pernah benar-benar menggantikan hutan yang hidup.

Indonesia telah kehilangan jutaan hektar hutan dalam beberapa dekade terakhir. Proses ini jarang hadir sebagai ledakan besar, melainkan sebagai pengikisan perlahan. Ia berlangsung lewat izin, peta, dan keputusan birokratis yang tampak sah, tetapi secara kolektif meninggalkan luka ekologis yang dalam dan panjang.

Angka yang Membesar, Kesunyian yang Menguat

Hari ini, luas kebun sawit Indonesia telah melampaui enam belas juta hektar. Angka ini kerap disebut dengan bangga, seolah berdiri sendiri tanpa sejarah. Padahal setiap hektar menyimpan cerita: tentang pohon yang ditebang, satwa yang terusir, dan sungai yang berubah alirannya.

Pertanyaan mendasarnya bukan lagi berapa luas sawit hari ini, melainkan sampai kapan kita merasa cukup. Dua puluh juta hektar? Dua puluh lima? Atau tiga puluh juta? Alam tidak pernah mengenal target produksi. Ia hanya mengenal batas, dan batas itu kini semakin dekat.

Sumatera dan Ingatan yang Memudar

Sumatera adalah cermin masa lalu yang seharusnya cukup menjadi pelajaran. Dalam beberapa dekade, pulau ini berubah wajah. Hutan hujan tropis yang dahulu lebat kini terfragmentasi. Banyak kawasan tampak hijau, tetapi kehilangan keragaman dan daya lenting ekologisnya.

Banjir, konflik satwa, dan degradasi tanah menjadi bagian dari keseharian. Ini bukan kebetulan, melainkan konsekuensi dari hilangnya hutan sebagai penyangga kehidupan. Namun ingatan ekologis sering kali lebih pendek daripada ingatan ekonomi.

Kalimantan dan Nafas yang Tertahan

Kalimantan mengikuti jejak yang sama. Di pulau yang kerap disebut paru-paru dunia ini, hutan primer semakin menyempit. Sungai-sungai besar membawa lumpur dari hulu yang gundul. Masyarakat adat menyaksikan ruang hidup mereka menyusut tanpa banyak pilihan.

Sawit di Kalimantan memperlihatkan paradoks pembangunan: pertumbuhan ekonomi jangka pendek berjalan bersamaan dengan kelelahan ekologis jangka panjang. Ketika hutan hilang, pembangunan kehilangan fondasinya. Yang tersisa adalah lanskap produksi yang rapuh terhadap krisis iklim dan bencana.

Papua dan Kesempatan Terakhir

Kini pandangan beralih ke Papua. Di sana tersimpan hutan tropis terakhir yang relatif utuh. Ia bukan sekadar cadangan lahan, melainkan warisan ekologis nasional. Setiap izin baru di Papua sejatinya adalah keputusan lintas generasi.

Pertanyaannya bukan apakah Papua bisa ditanami sawit, melainkan apakah Indonesia bersedia menahan diri. Sejarah telah memberi pelajaran yang cukup mahal. Mengulanginya bukan lagi ketidaktahuan, melainkan pilihan sadar.

Pulau-Pulau Lain dan Sunyi yang Menunggu

Sulawesi dan Maluku belum sepenuhnya berubah, tetapi tanda-tandanya mulai terlihat. Hutan mulai dipetakan sebagai potensi ekonomi, bukan sebagai sistem kehidupan yang unik dan rapuh. Padahal kerusakan di wilayah ini sering tidak dapat dipulihkan.

Jika semua pulau mengikuti satu pola yang sama, Indonesia berisiko kehilangan keberagamannya. Yang tersisa adalah keseragaman lanskap dan kemiskinan ekologis yang diwariskan secara kolektif.

Sawit dan Etika Menjaga Batas

Sawit bukan kesalahan. Kesalahan terletak pada ketidakmampuan menjaga batas. Indonesia memiliki jutaan hektar lahan terdegradasi yang dapat direstorasi, tetapi kerap memilih jalan yang lebih mudah: membuka hutan baru.

Di sinilah peran negara diuji. Negara tidak cukup hadir sebagai fasilitator investasi, melainkan sebagai penjaga keseimbangan. Tanpa batas ekologis yang tegas, anugerah akan terus ditarik menuju jurang keserakahan.

Menjaga Amanah, Merawat Rumah Bersama

Dalam banyak kearifan spiritual Nusantara, alam tidak pernah dipandang sebagai milik mutlak manusia. Ia adalah titipan, amanah, dan ruang hidup bersama yang harus dijaga dengan rasa cukup. Hutan bukan sekadar kumpulan pohon, melainkan tanda keseimbangan ciptaan—tempat air disimpan, kehidupan ditumbuhkan, dan waktu dilambatkan agar manusia belajar rendah hati.

Sebagai bangsa, Indonesia tidak dibangun hanya dari angka pertumbuhan dan luasan produksi. Ia dibangun dari kesepakatan moral bahwa tanah, air, dan seluruh kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat—bukan hanya hari ini, tetapi juga esok, dan lusa. Ketika hutan hilang, yang tergerus bukan hanya ekosistem, melainkan jiwa kebangsaan: rasa memiliki, rasa cukup, dan rasa tanggung jawab.

Di titik inilah sawit seharusnya ditempatkan kembali sebagai anugerah yang dikelola dengan kebijaksanaan, bukan alasan untuk menguji kesabaran alam. Bangsa yang besar bukan bangsa yang terus mengambil, melainkan bangsa yang tahu kapan harus menahan diri. Merawat hutan berarti merawat masa depan, menjaga Indonesia bukan hanya sebagai wilayah ekonomi, tetapi sebagai rumah bersama yang diwariskan dengan utuh.

Anugerah yang Menuntut Kebijaksanaan

Sawit adalah anugerah biologis yang nyata. Namun tanpa kebijaksanaan dalam pengelolaan ruang, anugerah ini berubah menjadi instrumen perusakan ekosistem. Deforestasi bukan sekadar isu lingkungan, melainkan persoalan masa depan peradaban.

Pertanyaan akhirnya bersifat saintifik sekaligus moral: apakah Indonesia mampu mengelola keunggulan alamnya tanpa melampaui batas ekologis? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah sawit dikenang sebagai anugerah yang dimanfaatkan dengan bijak, atau sebagai simbol keserakahan yang menjarah hutan tropis terbesar dunia.

*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)

Baca Juga

Ujian Fiskal Bencana Sumatra
Ujian Fiskal Bencana Sumatra
Kepemimpinan Negara yang Defensif Negatif dalam Ujian Bencana Kemanusiaan
Kepemimpinan Negara yang Defensif Negatif dalam Ujian Bencana Kemanusiaan
Bencana Sumatra, Bantuan Internasional, dan Defisit Transaksi Berjalan
Bencana Sumatra, Bantuan Internasional, dan Defisit Transaksi Berjalan
Bencana Sumatra dan Paradoks Fiskal Pusat–Daerah
Bencana Sumatra dan Paradoks Fiskal Pusat–Daerah
Membaca Diamnya Izin Bantuan Asing untuk Korban Bencana dalam Berbagai Perspektif Teori
Membaca Diamnya Izin Bantuan Asing untuk Korban Bencana dalam Berbagai Perspektif Teori
Kebijakan Fiskal di Ranah Moneter
Kebijakan Fiskal di Ranah Moneter