Bobroknya Karakter Anak Bangsa: Salah Siapa ?

Aksi tawuran kembali terjadi di Kota Padang pada Sabtu (10/8/2024) sekitar pukul 03.30 WIB di Jembatan Melindo Pagambiran, Lubuk Begalung.

Ilustrasi Tawuran

Kekayaan moralitas dan keramahan masyarakatnya menjadi sorotan Indonesia di mata dunia. Negeri nan elok dan rupawan ini, kerap kali disanjung dan dipuja, namun kenyataan hari ini tidak lagi seindah ceritanya. Dewasa ini, generasi muda yang diharapkan menjadi penerus bangsa, sebab di atas pundaknya lah nasib bangsa Indonesia digantungkan, malah menunjukkan kenyataan yang mengkhawatirkan. Begitu banyak pemberitaan di media terkait tawuran antar pelajar, perpeloncoan di ruang intelektual, hingga berbagai kasus penganiayaan merupakan beberapa kasus yang saat ini menyeret generasi muda sebagai pelakonnya. Satu diantaranya yang pernah terjadi yaitu aksi enam orang pelajar berseragam Pramuka yang tega menendang seorang nenek yang sedang berjalan kaki, aksi keji pelajar ini terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Kenyataan ini menunjukkan dekadensi moral yang luar biasa pada generasi muda.

Dekadensi moral berarti kemunduran atau kemerosotan moral seseorang ataupun sekelompok orang. Dekadensi moral menjadikan generasi muda terjebak dalam lingkaran kebebasan yang berakibat pada praktek gaya hidup yang tak lagi beraturan, moral dan karakter yang sudah tidak lagi sejalan dengan norma dan budaya ketimuran, bahkan sudah sangat jauh dari nilai-nilai keislaman, menjadi fakta bobroknya moral dan karakter generasi penerus bangsa dimasa depan.

Lalu siapa yang harus disalahkan atas permasalahan ini? Siapa pihak yang bertanggungjawab terhadap bobroknya moral dan karakter anak bangsa ini? Generasi yang harusnya dijaga dan dipersiapkan dengan sedemikian rupa.

Sejatinya, bobroknya karakter generasi muda menjadi tanggungjawab bersama setiap elemen, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Keluarga sebagai lingkungan terdekat bagi anak, memangku tanggungjawab yang paling besar dalam memastikan penanaman moral dan karakter ini. Namun fenomena yang kini terjadi, kebanyakan orangtua tidak memberikan pengajaran itu kepada anaknya, orangtua mengekspor tanggungjawab pendidikan agama anak ke sekolah, dan merasa cukup dengan menjadikan sekolah sebagai sarana utama tanpa adanya pendampingan yang dilakukan oleh orangtua. Lebih parah lagi, tidak jarang didapati rumah turut menjadi contoh buruk bagi anak, yang berujung pada hilangnya moral dan rusaknya karakter anak.

Sekolah dan masyarakat juga mempunyai tanggungjawab namun dengan porsi yang berbeda, sekolah harus berupaya menumbuhkan lingkungan yang dapat mendukung dalam pemberian pembimbingan karakter yang optimal untuk anak didiknya. Marwah pendidikan Indonesia yang berpedoman pada budaya ketimuran dan keislaman harus senantiasa dipupuk dan ditegakkan. Begitu pun dengan masyarakat, lingkungan masyarakat harus mengambil andil dalam penanaman karakter generasi muda. Masyarakat memiliki fungsi pengawasan dan pengendalian sosial, seperti yang diungkapkan Sri Muhammad Kusumantoro dalam bukunya Kajian-kajian Ilmu Sosiologi (2019) bahwa tujuan pengendalian sosial adalah untuk mengfungsikan kembali tata nilai dan norma dalam masyarakat yang mulai luntur, maka dari itu masyarakat sejatinya berperan penting dalam kontrol karakter dan moral generasi bangsa ini.

Penanaman dan pembinaan karakter ini harus dimasifkan, karena setiap gejala sosial yang tidak diselesaikan akan menimbulkan masalah sosial yang akan mengkhawatirkan. Apalah jadinya bangsa ini, jika generasi penerusnya tidak segera dibenahi? Ini bukan persoalan sepele yang bisa diabaikan, ini adalah tugas bersama setiap elemen yang ada.

Lalu apa langkah preventif yang bisa dilakukan sebagai perbaikan dan pembenahan atas permasalahan yang ada? Solusinya adalah dengan kembali pada pengajaran agama dan pendekatan dalam keluarga, itu bukan menjadi satu-satunya solusi namun itu menjadi sebaik-baik solusi.

*Penulis: Annisa Mardhatilla. M
(Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)

Baca Juga

Bencana banjir dan tanah longsor yang terus berulang di berbagai wilayah Indonesia sepanjang 2024 dan 2025 tidak bisa lagi dilihat sebagai
Politik Ekstraktif dan Bencana Ekologis: Ketika Sistem Kekuasaan Indonesia Mengorbankan Alam dan Rakyat
Sumatera Nyaris Tenggelam! Gelombang Banjir dan Jejak Kayu yang Mengungkap Luka Hutan Sumatera
Sumatera Nyaris Tenggelam! Gelombang Banjir dan Jejak Kayu yang Mengungkap Luka Hutan Sumatera
Otoritarianisme yang Lahir dari Sayap Kiri
Otoritarianisme yang Lahir dari Sayap Kiri
Pendekatan Pendidikan di Sekolah Tomoe pada Novel 'Totto Cahan Gadis Cilik di Jendela' Menggunakan Teori Psikologi Sastra Abraham Maslow
Pendekatan Pendidikan di Sekolah Tomoe pada Novel ‘Totto Cahan Gadis Cilik di Jendela’ Menggunakan Teori Psikologi Sastra Abraham Maslow
Kurangnya Minat Politik Anak Muda, Saatnya Melek Politik
Kurangnya Minat Politik Anak Muda, Saatnya Melek Politik
Panggung Politik di Era Digital: Ketika Komunikasi Menjadi Senjata Dua Mata
Panggung Politik di Era Digital: Ketika Komunikasi Menjadi Senjata Dua Mata