Galodo yang melanda Sumatera Barat beberapa minggu terakhir kembali membuka luka ekologis yang selama ini tersembunyi di balik narasi pembangunan dan rangkaian izin ruang dengan kecenderungan meremehkan batas alam.
Linimasa media sosial dipenuhi tagar #Galodo, #SumbarDaruratBanjir, dan #PrayForSumbar. Video rumah hanyut, jembatan runtuh, material kayu melesat bersama arus, serta jeritan warga kehilangan keluarga menjelma album kesedihan kolektif pada layar gawai masyarakat.
Namun, di antara beragam tagar tersebut, muncul satu penanda reflektif yang memberi arah untuk membaca ulang bencana ini, yaitu tagar #AlamSedangMemberiPelajaran. Sebuah pengingat bahwa bencana sering kali bukan sekadar fenomena cuaca, melainkan isyarat alam, atau dalam ungkapan lebih filosofis: alam takambang jadi guru.
Jika alam adalah guru, maka galodo menjelma pelajaran paling penting untuk dikaji ulang. Setiap tebing runtuh, setiap arus besar, dan setiap material hutan yang terhempas ke permukiman memberikan pesan tegas bahwa lanskap yang ditempati manusia mengalami kerentanan akut.
Pertanyaan mendasarnya langsung menyasar tentang kondisi ekologis Sumatera Barat saat ini. Faktor apa yang mengubah curah hujan ekstrem menjadi banjir bandang mematikan? Sampai sejauh mana campur tangan manusia mengubah siklus alam menjadi ancaman?
Yang Sesungguhnya Diajarkan Alam kepada Manusia
Dalam ilmu meteorologi, siklon tropis dikenal sebagai fenomena atmosferik yang bersifat siklik. Pada dasarnya bersifat netral, membawa angin kencang dan hujan lebat sebagai bagian dari dinamika atmosfer. Pada wilayah dengan ekologi sehat, kehadiran siklon hanya menambah debit air sungai, meningkatkan kesuburan tanah, atau menghasilkan hujan musiman yang memperkaya vegetasi. Siklon tropis sendiri tidak membawa unsur bencana.
Perubahan drastis muncul ketika hujan ekstrem jatuh pada bentang alam yang telah kehilangan penopang. Hilangnya hutan, berkurangnya vegetasi bukit, penyempitan sempadan sungai, serta alihfungsi ruang air menjadi ruang komersial menciptakan kondisi di mana air hujan tidak lagi diterima oleh tanah secara wajar. Air jatuh pada permukaan yang tidak sanggup memeluknya. Pada titik tersebut, curah hujan ekstrem berubah menjadi ancaman.
Situasi ini tampak jelas di Palembayan, Agam. Lebih dari 120 jiwa melayang dalam bencana tersebut. Namun curah hujan bukan sumber utama persoalan. Hulu Palembayan mengalami penyusutan tutupan hutan yang signifikan akibat ekspansi perkebunan berskala besar. Bukit yang sebelumnya memegang lapisan tanah kehilangan cengkeraman akar. Ketika hujan deras turun, material tanah meluncur, kayu-kayu besar terbawa arus, dan gelombang air menghantam permukiman. Siklon tropis berfungsi sebagai pemantik, sedangkan kerusakan ekologis berperan sebagai bahan bakar kehancuran.
Gambaran serupa hadir di Lembah Anai. Bangunan komersial berdiri pada sempadan sungai, yaitu ruang yang sejatinya menjadi jalur alami bagi air ketika debit meningkat. Ruang air mengalami penyempitan dan pergeseran fungsi. Ketika hujan ekstrem datang, volume air meningkat drastis. Tanpa ruang bergerak yang memadai, arus besar secara alami merebut kembali jalurnya, menghancurkan bangunan, membawa batu, kayu, dan material besar dari hulu. Banjir bandang di kawasan ini tidak dapat dikategorikan sebagai bencana alam murni, melainkan bencana tata ruang hasil keputusan manusia.
Kondisi Kota Padang tidak berbeda. WALHI Sumbar mencatat hilangnya lebih dari 3.400 hektar hutan selama dua dekade terakhir. Kawasan Aia Dingin mengalami kehilangan tutupan hutan sekitar 780 hektar sejak 2001. Hulu tanpa vegetasi menciptakan tanah rapuh. Curah hujan ekstrem akhirnya berubah menjadi arus permukaan yang deras dan merusak, bukan diserap sebagai sumber air tanah.
Gambaran lebih besar menunjukkan bahwa sejak 2001, Sumatera Barat kehilangan sekitar 740.000 hektar tutupan pohon. Angka tersebut tidak sekadar statistik, melainkan penanda hilangnya struktur ekologis penahan air. Tanpa akar, tanah kehilangan kemampuan mencengkeram permukaan. Tanpa hutan, bukit kehilangan penyangga. Tanpa sempadan sungai yang terjaga, aliran air kehilangan jalur kodratnya.
Ketika gejala ini muncul berulang, alam tidak sedang memarahi, melainkan memperlihatkan konsekuensi dari kerusakan yang telah diciptakan sejak lama. Setiap banjir bandang, setiap erosi, setiap tebing runtuh adalah halaman dari pelajaran besar: kerusakan ekologis memicu bencana yang terus meningkat skala dan frekuensinya.
Kembali ke Hulu Kaji
Bencana tidak lagi dipahami hanya sebagai fenomena geologis atau meteorologis, melainkan sebagai cerminan dari tata nilai, norma, dan keputusan politik yang tidak lagi menyatu dengan ritme alam. Artinya, penting untuk untuk melihat bahwa setiap kerusakan ekologis selalu berakar pada pergeseran nilai dan runtuhnya disiplin moral dalam pengelolaan ruang hidup.
Dalam kaji adat Minangkabau. Sejak awal telah diwariskan kearifan ekologis yang sangat kuat. Petatah-petitih adat menyimpan pengetahuan ekologis jauh sebelum istilah “mitigasi bencana” atau “daya dukung lingkungan” dikenal secara akademik. Ungkapan “Jan dilawan aia mambaliak” menegaskan bahwa air akan selalu memiliki jalur pulang; usaha apa pun untuk menutup jalur itu hanya akan mengundang bahaya yang lebih besar. Ungkapan “Nan luruih tabang jo angin, nan lambuah tabang jo aia” menggambarkan bahwa setiap unsur alam memiliki mekanisme gerak dan hukumnya sendiri.
Ungkapan “Alam takambang jadi guru” bukan sekadar slogan identitas budaya, melainkan sistem epistemik yang mengajarkan pembacaan tanda-tanda alam sebelum sebuah tindakan diambil, memastikan bahwa setiap keputusan manusia selaras dengan struktur alam di sekitarnya.
Kearifan ini menunjukkan bahwa tata ruang dan pengelolaan lingkungan bukan sekadar urusan teknis administratif. Setiap pengambilan keputusan, baik yang berkaitan dengan izin perkebunan, pengelolaan kawasan hulu, pemanfaatan sempadan sungai, maupun penggunaan kawasan lindung, merupakan bagian integral dari tatanan pengetahuan adat yang bertujuan menjaga ritme kehidupan antara manusia dan alam.
Oleh sebab itu, pelanggaran terhadap aturan ekologis merupakan pelanggaran terhadap adat itu sendiri. Bukan hanya kesalahan kebijakan, melainkan juga pengingkaran terhadap nilai yang telah menjadi penopang kehidupan masyarakat selama berabad-abad.
Kerangka ini semakin kokoh dengan hadirnya perspektif Islam. QS. al-Rūm: 41 menyampaikan bahwa kerusakan di darat dan laut merupakan hasil ulah tangan manusia. Ayat tersebut menggeser pemahaman tentang bencana dari sekadar takdir murni menjadi konsekuensi moral dan etis. Bencana tidak muncul dalam kehampaan; ia muncul ketika tindakan manusia melampaui batas yang ditetapkan bagi alam.
QS. al-Baqarah: 164 mengarahkan perhatian pada hujan, gunung, sungai, dan pepohonan sebagai tanda-tanda Tuhan. Dengan demikian, merusak hutan, memotong lereng bukit, atau mempersempit sungai berarti merusak tanda-tanda Ilahi yang sengaja ditempatkan untuk menjaga keseimbangan kehidupan.
Dalam perkembangan maqāṣid al-syarī‘ah kontemporer, perlindungan lingkungan (ḥifẓ al-bī’ah) telah dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs). Kerusakan alam tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup manusia secara langsung.
Galodo, banjir bandang, dan longsor yang menelan korban jiwa adalah bukti bahwa kerusakan alam berbanding lurus dengan ancaman keselamatan manusia. Dengan demikian, penjagaan terhadap lingkungan bukanlah aktivitas tambahan atau pilihan moral semata, tetapi merupakan bagian inti dari upaya menjaga kehidupan itu sendiri.
Kembali ke hulu kaji berarti memandang alam sebagai dunsanak (saudara) dalam menjalani kehidupan, bukan sebagai objek eksploitasi yang dapat ditundukkan sesuka hati. Fondasi adat telah lama mengajarkan hubungan itu. Begitu juga nilai Islam, memberikan legitimasi teologis yang memperkuatnya. Sementara itu, ilmu pengetahuan modern menyediakan data empiris yang menegaskan urgensinya. Keterpaduan ketiga sumber pengetahuan ini seharusnya menjadi dasar bagi penyusunan kebijakan publik.
Dalam konteks tersebut, keberanian pemangku kebijakan menjadi faktor penentu. Keberanian untuk meninjau ulang izin perkebunan di hulu sungai. Keberanian untuk membatalkan izin bangunan yang berdiri di sempadan sungai atau kawasan rawan bencana. Keberanian untuk melakukan audit tata ruang secara transparan dan berbasis data ilmiah. Keberanian untuk mengembalikan ruang air sebagai ruang alam, bukan ruang dagang. Keberanian untuk memulihkan kawasan hulu melalui reforestasi berbasis nagari. Dan keberanian untuk menjadikan kajian ekologis sebagai dasar seluruh keputusan, bukan sekadar formalitas dalam dokumen perizinan.
Kembali ke hulu kaji berarti menghidupkan kembali pandangan bahwa alam memiliki aturan yang tidak dapat dinegosiasikan. Air memiliki jalur. Sungai memiliki ruang. Bukit memiliki daya dukung. Hutan memiliki fungsi penyangga. Semua unsur itu bekerja dalam satu kesatuan yang, bila diabaikan, mengundang bencana. Dalam kerangka adat, melanggar hukum alam berarti melanggar adat; dalam kerangka agama, berarti melanggar ayat-ayat Tuhan; dalam kerangka ilmu, berarti menyalahi logika ekologis yang telah dipahami dengan baik.
Dengan demikian, bencana bukan hanya peristiwa alam, tetapi manifestasi dari kegagalan etis dan politis. Galodo menjadi cermin yang memantulkan wajah tata ruang yang tidak berpihak pada keseimbangan. Banjir bandang menjadi bukti bahwa izin-izin diberikan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap hulu. Longsor menjadi penanda bahwa daya dukung lingkungan telah lama dilewati. Semua ini menegaskan bahwa pelajaran paling penting dari bencana adalah kebutuhan mendesak untuk menyelaraskan kebijakan publik dengan nilai adat, ajaran Islam, dan temuan ilmiah.
Akhirnya; Alam yang dijaga tidak akan berubah menjadi ancaman. Hujan yang diiringi hutan sehat tidak akan menjadi galodo. Siklon tropis yang melintas di atas ekosistem yang kuat tidak akan melahirkan bencana. Dan kebijakan yang tegas terhadap perusak alam akan selalu menjadi garis penyelamat kehidupan.






