Dua Bungkus Mie Instan – Pangan dan Kemiskinan Global

Pada 2022, saya melawat sebagian negara-negara di Afrika barat.  Dalam kesempatan itu, Liberia merupakan negara yang paling lama dikunjungi.  Di ibu kota Monrovia, seorang mantan tentara di era perang saudara Liberia (1999-2003) menjadi kenalan yang paling asik diajak bicara.  Sebut saja namanya Sose.  Kendati sempat berpangkat letnan di dinas militer, Sose tak lantas hidup senang berkecukupan.  Hari-hari itu, dia menyambi sebagai supir.

Karena datang dari Indonesia, lidah saya tentu tak gampang beradaptasi dengan makanan lokal.  Di sana, kedai-kedai menawarkan beragam makanan dengan bahan dasar singkong dan nasi.  Makanan disuguhkan dalam porsi yang cukup besar.  Perut orang kampung seperti saya agaknya tak mampu memakan nasi yang bulirnya terlalu besar, dalam jumlah yang biasanya saya makan untuk berdua.

Saya membawakan Sose mie instan, hanya itu yang dapat saya berikan padanya.  Mengingat lawatan kali ini akan melewati beberapa negara yang makanannya terlalu asing di lidah saya.

Dalam Bahasa Inggris yang terbata-bata, Sose mengucapkan terima kasih ketika dua bungkus mie instan saya berikan padanya.   Sose memasukkan bungkusan mie itu ke dalam tas kecil yang selalu dia bawa ketika berkendara.  Belakangan saya tahu, tas itu, selain berisi kartu identitas dan alat pribadi lainnya, juga pistol. Di halaman hotel, kami berpisah hari itu.  Saya masih ingat penggalan terakhir kalimat Sose ketika dia sudah duduk di kursi kemudi.  “Kami akan pesta malam ini,” ungkapnya.

Dia tak sempat mengenalkan keluarganya secara langsung selama perjalanan kami.  Namun Sose banyak bercerita tentang istri dan anak-anaknya.  Di rumah, katanya, telah menunggu seorang perempuan dengan empat anak.  Dia tinggal di rumah semi permanen tak jauh dari pusat kota.  Sebuah Kawasan yang menurut dia cukup beradab dibandingkan dengan banyak perumahan kumuh di Monrovia.

Dua hari kami tak berjumpa sejak pertemuan terakhir di lobby hotel.  Pagi itu, dia datang dengan senyum yang lebih lebar dari biasanya.  “Terima kasih, anda telah membuat pesta kami lebih meriah,” katanya.

Saya bingung dengan ucapan itu.  Sose menjelaskan, dua bungkus mie instan yang saya berikan telah benar-benar menjadi penyelamat pesta mereka sekeluarga.  Malam usai pertemuan itu, dia langsung mengajak keluarga dan kedua mertuanya menikmati dua bungkus mie instan.  Apa!? Jerit saya dalam hati.  Dua bungkus mie instan itu dinikmati delapan orang? Bagaimana mungkin?

Kisah Sose dan keluarganya mempertemukan saya dengan bacaan lama berjudul Kemiskinan Global, sebuah buku yang ditulis Jeremy Seabrook.  Buku itu diterbitkan dalam Bahasa Indonesia sekitar tahun 2006.  Jeremy mengkritik keras model ekonomi neoliberalisme.

Saya serasa tercampak pada narasi Seabrook kala mendengar kisah-kisah Sose tentang perang saudara, kemiskinan dan kelaparan di negaranya.  Bahkan, kata Sose, sudah beberapa bulan terakhir pegawai negerai sipil tak mendapat gaji.  Uang negara dikorupsi oleh pejabat publik, membuat jalan-jalan di pusat kota telah bercampur dengan tanah dalam waktu yang cukup lama.  Liberia bahkan tak sanggup menanggung biaya pembangunan dalam negeri mereka dan sangat tergantung uluran tangan negara-negara maju.

Pada konteks ini, Seabrook memaparkan biadabnya sistem neoliberalisme.  Sistem ini telah benar-benar merusak tatanan kemandirian suatu negara, menusuk hingga ke rumah-rumah, seperti rumah keluarga Sose.

“Orang miskin selalu miskin dengan cara yang sama,” tulis Seabrook.

Sebagai pengelana, dia menceritakan telah mengunjungi wilayah-wilayah paling menyedihkan di Sao Paolo, Dhakka, Mumbai, bahkan di sudut Jakarta.  Semua tempat yang dia singgahi selalu menyuguhkan pemandangan serupa: kota kumuh dengan buruh yang dibayar murah.  Semuanya menampilkan wajah kapitalisme global yang sama, dia sampai pada kesimpulan bahwa kemiskinan bersifat universal dan sistemik.

Bagi saya, catatan Seabrook seperti refleksi panjang kehidupannya.  Dia lahir dalam keluarga kelas pekerja di Inggris.  Dalam Kemiskinan Global, Seabrook sempat menceritakan bagaimana kerabat dia yang sudah tua harus tetap bekerja agar selamat dari tekanan ekonomi yang sudah tak lagi asing.

Sebuah keluarga menunggu upah harian guna membeli makanan, tulisnya.  Sementara di akhir pekan, keluarga itu harus mengais sisa makanan di pasar, dimana anak-anak mereka mengumpulkan botol bekas untuk dijual. Hidup dicekam ketakutan terhadap lintah darat dan petugas pegadaian.

Bagi Seabrook, kenyataan seperti itu bukanlah tradisi lokal, tapi produk global.  Seabrook pernah menelusuri jalan-jalan sempit di Dhakka, menyaksikan gadis kecil berusia 12 tahun bekerja di pabrik garmen.  Derita gadis itu, bagi Seabrook persis sama dengan ibunya yang harus mengais upah dari pabrik sepatu pada usia yang sama.

Pertemuan saya dengan Sose sekali lagi merefleksikan kecaman Seabrook atas sistem global yang memaksa, yang bergema di rumah-rumah kecil di desa-desa.  Seperti Sose yang tampak bahagia dengan pesta mie instan di malam itu.  Bahkan saya sendiri tak sadar, bahwa pada saat yang sama, saya memaksakan sebuah produk global-neoliberal menjadi kebahagiaan keluarga Sose.

Maafkan saya, Seabrook! Mungkin pada titik ini kita berbeda.  Tujuan saya hanya mencoba mengantarkan sedikit senyum di wajah Sose.  Namun Seabrook tentunya tak berpikir sama, justru malam itu saya sudah mencederai perlawanan atas eksploitasi yang dilakukan pasar global. Modernisasi, kata Seabrook merupakan normalisasi dari ungkapan pembangunan yang berarti sama dengan eksploitasi abadi atas orang-orang miskin.

“Hampir semua diskusi oleh institusi-institusi internasional, agensi bantuan, dan donor berdasarkan dalil keliru bahwa orang miskin ditentukan oleh kaitannya dengan pasar global. Tujuan pembangunan tampaknya menjadi bagaimana menggiring semua orang di dunia secara bertahap untuk masuk ke sistem ekonomi tunggal,” tulisnya.

Kemiskinan, menurutnya, merupakan cara-cara akademis yang dibuat untuk menggagalkan definisi tentang hidup layak.   Manusia yang hidup layak berdasarkan apa yang mereka butuhkan telah dilabeli dengan miskin, akibat perhitungan lemahnya daya beli.  Menurutnya, neoliberalisasi, lembaga keuangan multinasional telah bersekutu dengan oligarki lokal untuk menciptakan sebuah tirai semu yang memperluas kesenjangan antara kaya dengan miskin.

“Kemiskinan mempunyai sejarah: kisah pembangunan juga merupakan narasi pemiskinan. Agar ‘berkembang’, orang harus pertama-tama menjadi miskin dalam suatu cara tertentu,” tulis dia.

Di lain sisi, krisis pangan kerap kali terjadi lantaran intervensi pasar global dan regulasi internasional, bukan karena kegagalan produksi.  Di bukunya, ia memberi contoh dengan situasi di Malawi, dimana pemerintah yang tunduk pada IMF telah menjual cadangan jagung dan mencabut subsidi strategis di bidang pertanian.

Intervensi lembaga keuangan multinasional, bagi Seabrook nyata-nyata telah memaksa negara-negara selatan – termasuk Indonesia – untuk tunduk pada agenda neoliberalisme.  Tata Kelola yang baik telah menjadi retorika kusut untuk melanggengkan agenda tersebut.  Dalam kata lain, negara telah kehilangan kendali dan kedaulatan untuk melindungi rakyatnya sendiri.

Hal serupa juga terjadi di sektor tenaga kerja.  Dia menegaskan, tenaga kerja yang murah diterapkan sebagai strategi untuk mendapatkan keuntungan komparatif.  Saya membayangkan Seabrook duduk menyeruput kopi, di tangannya Das Kapital karya Karl Marx sedang terkembang, dari buku itu dia belajar mengenai teori nilai lebih.  Dalam situasi itulah Seabrook seolah mengatakan bahwa kemiskinan struktural tengah terjadi, dimana setiap pekerja dipaksa untuk tetap berada dalam situasi rawan, sehingga upah bisa ditekan.

Baginya, kemiskinan adalah warisan kolonial yang terus diperbarui oleh kapitalisme global, dan hanya bisa ditumbangkan dengan solidaritas rakyat lintas batas.

Bagi saya, pangan seharusnya menjadi hak rakyat yang dijamin oleh negara.  Pangan bukan komoditas yang tunduk pada logika import murah, spekulasi pasar dan keuntungan investasi.  Jika kedaulatan itu sirna, maka yang saya takutkan adalah rakyat terbuai jerat ketergantungan, yang lama-kelamaan akan menghilangkan sikap kritisnya, sama dengan hilangnya kritis Sose dalam dua bungkus mie instan itu.

Dengan itu, maka pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup, apa lagi investasi asing.  Kedaulatan pangan mestinya menjadi agenda di semua sektor pemerintahan.  Negara penting menjadi pelindung bagi hak-hak pekerja, dan ekonomi harus untuk tunduk pada kepentingan sosial-ekologis seperti amanat Pancasila. 

Kini masyarakat internasional menyerukan ‘keberlanjutan’, seturut dengan rencana strategis Sustainable Development Goals (SDGs), pasca selesainya Millenium Development Goal (MDGs) 2015 yang lalu.  Usai ini, entah apa lagi.  Seabrook mungkin tak sempat menguasai MDGs karena baru saja berlangsung saat buku Kemiskinan Global diterbitkan, apalagi SDGs. Tapi bagi saya, ini adalah kecenderungan yang sulit dinafikan.

Saya menulis ulang kisah dia bungkus mie instan ini sebagai pengingat, bahwa pada 16 Oktober, dunia sedang memperingati Hari Pangan.  Food and Agriculture Organization (FAO), sebuah badan PBB menetapkan tanggal tersebut pada konferensi ke-20 yang mereka gelar tahun 1979.  Selamat Hari Pangan Sedunia!

Baca Juga

Naik Sejak 2 Minggu Belakangan, Harga Cabai di Padang Tembus Rp 95 Ribu 1 Kg
Harga Sejumlah Komoditas di Padang Panjang Turun
Harga Cabai di Pasar Padang Panjang Turun Bersamaan
Harga Cabai di Pasar Padang Panjang Turun Bersamaan
Fenomena Locavora
Fenomena Locavora
Jelang Natal dan Tahun Baru (Nataru), BBPOM melakukan inspeksi mendadak (sidak) produk makanan di berbagai tempat di Kota Padang.
Jelang Nataru, BBPOM Temukan 3 Produk Makanan Tidak Sesuai Standar di Padang
Bumbu Rendang: Warisan Tradisional dengan Kekuatan Antioksidan dan Antimikroba
Bumbu Rendang: Warisan Tradisional dengan Kekuatan Antioksidan dan Antimikroba
Pemko Payakumbuh kembali menggelar Gerakan Pangan Murah (GPM) di Pelataran Parkir Kantor Balai Kota Payakumbuh, Senin (1/4/2024).
Hingga Oktober, Harga dan Kebutuhan Pangan di Kota Padang Tetap Stabil