Uni Eropa kerap menegaskan diri sebagai penjaga tatanan berbasis aturan. Dunia mengenal Eropa sebagai pelopor transparansi, due process, dan kepastian hukum. Ketika Panel WTO memutus sengketa produk stainless Indonesia dan menyatakan kebijakan tarif UE melanggar komitmen internasional, pertanyaan kunci pun muncul: apakah UE akan mematuhi putusan itu? Kepatuhan tidak hanya berkaitan dengan prosedur; itu menyentuh jantung integritas dan konsistensi kebijakan Eropa.
Mematuhi putusan WTO menghadirkan tiga keuntungan strategis bagi UE. Pertama, kepastian hukum untuk pelaku usaha. Produsen dan importir merancang investasi berdasarkan aturan yang stabil. Kepatuhan mengurangi biaya ketidakpastian dan mengembalikan prediktabilitas yang kerap UE suarakan kepada mitra dagang. Kedua, reputasi sebagai “normative power”. Eropa membangun pengaruh melalui standar tinggi dan penghormatan pada hukum internasional. Pengingkaran terhadap putusan akan mudah terbaca sebagai standar ganda. Ketiga, penguatan multilateralisme. Sistem penyelesaian sengketa WTO hanya berfungsi bila anggota menghormati putusan, termasuk saat putusan itu tidak menguntungkan.
Sebagian pihak berargumen bahwa instrumen pertahanan dagang—anti-dumping atau bea imbalan—tetap sah untuk melindungi industri domestik. Pernyataan itu tepat selama perumusannya taat aturan WTO. Ketika panel independen menilai bukti dan menemukan pelanggaran, langkah rasional adalah memperbaiki kebijakan. Upaya memperpanjang proses melalui banding tanpa solusi memicu ketidakpastian, merusak iklim investasi, dan melemahkan posisi UE saat menuntut kepatuhan dari pihak lain.
Bagi Indonesia, putusan ini membuka jendela kesempatan. Ekspor stainless membutuhkan akses yang bersih dari distorsi, disertai kesiapan memenuhi standar teknis dan keberlanjutan yang semakin ketat. Di sisi UE, kepatuhan membawa manfaat nyata di dalam negeri. Kepastian regulasi mendorong daya saing industri yang bertumpu pada efisiensi, inovasi, dan teknologi rendah emisi, bukan proteksi berkepanjangan. Konsumen memperoleh harga lebih wajar, sementara sektor hilir—dari otomotif sampai peralatan rumah tangga—mendapat pasokan bahan baku yang stabil. Rantai pasok yang efisien memperkuat ekonomi Eropa menghadapi persaingan global; menjalankan putusan WTO selaras dengan kepentingan tersebut.
Kekhawatiran terhadap disrupsi industri baja tentu ada. Kebijakan transisi tetap tersedia tanpa melanggar aturan: dukungan yang diizinkan WTO untuk riset, efisiensi energi, atau dekarbonisasi; program peningkatan keterampilan tenaga kerja; serta fasilitasi investasi pada teknologi proses yang lebih bersih. Instrumen sah ini mendorong transformasi struktural tanpa menutup perdagangan secara sewenang-wenang.
UE memiliki kesempatan menunjukkan bahwa rule of law bukan slogan, melainkan kompas kebijakan. Mematuhi putusan, mengoreksi kebijakan, dan menguatkan arsitektur perdagangan global akan menjaga reputasi Eropa sekaligus memberikan kepastian bagi pasar. Indonesia siap menyambut kompetisi yang adil, memperluas pasar, dan mempercepat industrialisasi bernilai tambah. Kemenangan nyata lahir ketika hukum dihormati dan perdagangan bergerak di atas prinsip yang konsisten.
*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen dan Guru Besar pada Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)