LANGGAM.ID – Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB menekankan perlunya langkah pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan, khususnya upaya mitigasi yang berbasis riset. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BNPB Suharyanto dalam Konferensi Internasional Penanggulangan dan Mitigasi Bencana ke-3 atau 3rd ICDMM yang bertepatan dengan 16 tahun pascagempa Sumbar 30 September 2009 lalu.
Fenomena gempa bermagnitudo (M)7,6 pada 16 tahun silam menyebabkan dampak luar biasa terhadap masyarakat Sumbar. Katastrofe membekas dalam ingatan kolektif warga ketika ribuan orang kehilangan nyawa dan 135.000 rumah rusak berat. Bencana ini juga berdampak pada kehidupan masyarakat dan kerugian ekonomi hingga Rp22 triliun.
“Tidak hanya wilayah Sumbar yang rawan bencana gempa. Namun sekitar 81 persen wilayah di Indonesia rawan terhadap bencana gempa, sehingga perlu adanya penguatan mitigasi, terutama berbasisi riset,” ujar Suharyanto.
Suharyanto menambahkan beberapa kejadian gempa yang mengguncang sejumlah daerah sebagai sesar yang baru teridentifikasi, seperti sesar yang memicu gempa di wilayah Cianjur, Sumedang dan Poso.
Menurut Suharyanto, kondisi tersebut mendorong perlunya upaya mitigasi yang berbasis bukti ilmiah. Di sisi lain, upaya riset juga harus dilakukan secara kolaboratif dan adatif melibatkan unsur pentaheliks.
Pada kesempatan itu, Kepala BNPB juga menyampaikan tiga poin terkait dengan mitigasi berbasis riset. Pertama, penguatan riset kebumian untuk pemetaan risiko yang lebih detail.
“BNPB telah menggunakan hasil riset dari BRIN dan universitas untuk memetakan zona megathrust yang dijadikan dasar dalam menyusun peta evakuasi detail untuk 182 desa rawan tsunami di Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut, Suharyanto menyebutkan di tingkat pusat BNPB telah bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk memetakan zona megathrust. BNPB belajar dari pengalaman gempa dan tsunami Jepang pada 2011. Bangunan tahan terhadap gempa tetapi rusak terhadap terjangan tsunami.
“Mungkin yang perlu kita tingkatkan ke depan, di samping membangun rumah tahan gempa juga harus membuat rumah tahan tsunami,” ujarnya.
Kedua adalah pendekatan struktural berbasis rekayasa. Pada mitigasi jangka panjang untuk gempa dan tsunami megathrust, tata ruang, penguatan bangunan tahan gempa dan penyesuaian bangunan untuk lebih adaptif terhadap tsunami diperlukan untuk meminimalkan dampak bencana.
Ketiga, pendekatan non-struktural berbasis masyarakat dan teknologi. “Sekali lagi Saya ingin menekankan bahwa perubahan perilaku masyarakat bisa diakselerasi dengan teknologi termasuk pemanfaatan AI untuk simulasi bencana, evakuasi dan kedaruratan. Selain itu, aspek kearifan lokal—seperti "Rumah Panggung" di Sumatra barat—dikombinasikan dengan riset etnografi untuk adaptasi budaya yang relevan digunakan di era teknologi,” tambahnya.
Suharyanto mengatakan bencana urusan bersama, untuk itu mari bekerja dalam ritme yang sama, tidak sendiri-sendiri, sehingga tujuan bersama kita menuju resiliensi berkelanjutan bisa kita wujudkan. (fx)