Langgam.id – Kebebasan berpendapat kembali menjadi sorotan utama dalam dinamika hukum dan demokrasi Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND) menggelar seminar nasional bertajuk “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024 Kebebasan Berpendapat Tanpa Batas: Demokrasi Berkembang atau Anarki Digital”, yang menghadirkan pakar hukum terkemuka Prof. Mahfud MD.
Dalam forum yang dihadiri akademisi, mahasiswa, dan praktisi hukum tersebut, Prof. Mahfud MD menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah fondasi penting bagi negara demokratis seperti Indonesia.
Menurutnya, perlindungan terhadap hak warga negara untuk menyampaikan kritik, termasuk terhadap lembaga negara, merupakan bagian tak terpisahkan dari prinsip negara hukum.
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024 merupakan tonggak penting dalam memperkuat demokrasi. Isinya jelas, bahwa lembaga pemerintah, institusi, korporasi, atau kelompok dengan identitas tertentu tidak boleh mengadukan pencemaran nama baik saat dikritik warga," ujar Mahfud, Sabtu (27/9/2025).
Putusan tersebut dianggap sebagai upaya Mahkamah Konstitusi menjamin ruang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat tanpa takut dikriminalisasi, khususnya dalam konteks kritik terhadap instansi publik. Hal ini sejalan dengan semangat demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pengawas utama jalannya pemerintahan.
Dalam paparannya, Mahfud juga mengulas perjalanan panjang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menjadi dasar hukum dalam mengatur aktivitas digital masyarakat. Ia menjelaskan bahwa lahirnya UU No. 11 Tahun 2008 merupakan respons terhadap maraknya penyalahgunaan teknologi digital pada awal 2000-an.
“Di awal 2000 Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat dari segi digital. Transaksi digital, penipuan hingga fitnah bermunculan. Maka lahirlah UU ITE tahun 2008 di masa pemerintahan Presiden SBY. Namun, seiring waktu, UU ini mengalami perubahan demi menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat,” jelas Mahfud.
UU ITE telah mengalami dua kali revisi besar, yakni menjadi UU No. 19 Tahun 2016 dan terbaru UU No. 1 Tahun 2024. Namun, meski telah diubah, sebagian pasalnya tetap dianggap multitafsir dan membatasi kebebasan berekspresi, sehingga sering diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK No. 105/PUU-XXII/2024 pun hadir sebagai jawaban atas kegelisahan tersebut. Intinya, hanya individu yang secara pribadi merasa dirugikan secara langsung yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik. Bukan lembaga, institusi, atau kelompok profesi tertentu.
Mahfud menegaskan bahwa kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa batas, tetapi negara wajib melindungi ruang ekspresi warga agar tidak dibungkam oleh kekuasaan.
"Kalau rakyat tidak boleh mengkritik pemerintah, lalu bagaimana demokrasi bisa berjalan? Kebebasan ini harus dijaga, tentu dengan tanggung jawab dan etika," tegasnya.
Seminar ini menjadi ruang penting untuk mendiskusikan arah hukum digital Indonesia di tengah era kebebasan berekspresi yang terus berkembang. Fakultas Hukum berkomitmen untuk terus mengawal perkembangan hukum yang adil, demokratis, dan berpihak pada kepentingan publik.