Pada usia antara 12-14 tahun, sekitar tahun ‘46-‘48, Sobron Aidit terlibat menyembunyikan teks MADILOG ketika tantara merazia rumah yang dia tempati di Jakarta. Pemilik teks, Tan Malaka sendiri sudah pergi entah kemana. Demikian pula abangnya Sobron, Dipa Nusantara Aidit. Rumah itu telah mereka kosongkan beberapa jam sebelum tantara datang.
Menurut Sobron, bagian dari teks yang ditulis Tan Malaka itu dia sembunyikan sebagai pengganjal kaki lemari. Dia selamat lantaran mungkin masih dianggap anak-anak, tanpa pengawasan orang dewasa. Beruntung, Sobron lolos dari razia itu.
Hal itu pernah disampaikan Sobron secara langsung kepada saya lewat percakapan email kami di awal tahun 2000an. Saya mencoba melacak lagi percakapan itu, namun sepertinya sudah terhapus. Hampir seperempat abad usai obrolan itu, saya kembali teringat Sobron. Kala itu, dia Tengah mengelola Restoran Indonesia di salah satu pojok kota di Paris, Perancis.
Menurutnya, banyak tamu yang datang ke restoran sekedar bernostalgia. Tamunya terutama orang-orang Indonesia yang tinggal di berbagai negara di Eropa. Mereka disebut kaum eksil, orang-orang yang kewarnegaraannya telah dicabut Pemerintah Indonesia. Umumnya para eksil adalah pelajar, mahasiswa, dan delegasi yang dikirim Presiden Sukarno ke luar negeri. Ketika tragedi 1965 terjadi, mereka terombang-ambing hingga tidak bisa kembali karena dianggap terkait jaringan Partai Komunis Indonesia.
Sungguh saya ini dungu, email penting seperti itu tak lagi saya temukan dalam inbox saya. Saya tak mengingat detil kisah Sobron. Yang saya tahu, prahara tahun ’65 memaksa dia harus mendekam di China sampai tahun ’81. Selanjutnya dia ke Perancis mencari suaka, dan tahun ’93 barulah dia resmi mengantongi paspor negeri pusat Mode tersebut.
Namun yang sangat saya ingat adalah teks yang sempat dia sembunyikan. Teks serupa itu sempat saya baca tahun ’95-’97 berupa lembaran-lembaran terpisah dari hasil stensilan yang sudah buram. Teks lengkap MADILOG akhirnya bisa saya beli tahun ’99. Saya ingat persis, sampul muka buku itu berlatar hitam dengan foto Tan Makan di sebelah kiri, dan gambar otak manusia di sebelah kanan.
MADILOG; Materialisme, dialektika dan logika. Saya membaca membolak balik buku itu entah berapa belas kali, mungkin puluhan. Sulit sekali dimengerti. Sobron sempat membantu saya mencoba memahami isi buku itu.
Menurut Sobron, MADILOG membantu kita mengerangkakan pikiran. Buku ini menyajikan metode berpikir kritis yang ilmiah dan masuk akal.
Kendati saya terus membolak-balik MADILOG di sela jeda menanti email balasan dari Sobron, saya mulai memahami bahwa buku ini adalah cara Tan Malaka – orang Minagkabau itu – menolak cara berpikir mistik dan diganti dengan cara berpikir penuh ilmu pengetahuan, dapat dibuktikan, nyata dan tidak berandai-andai.
“Mistik menutup pintu buat pikiran. Ia memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai,” tulis Tan Malaka. Sungguh saya lama mencerna apa maksud kalimat ini.
Suatu ketika, di masa SMP, saya sempat merapal beberapa mantra yang katanya dapat memikat hati perempuan. Remaja seusia masih gandrung dengan hal mistis di sekitar kami. Pernah pula saya melihat mereka meramal nasib lewat bekas kopi di dalam gelas.
Saya menghapal mantra itu di luar kepala sambil membayangkan perempuan yang saya sukai. Namun apa kejadian, si perempuan tak pernah memberi perhatian lebih pada saya. Belakangan, saat sudah mulai dewasa, saya mengat kejadian itu dan senyum-senyum sendiri. Alangkah celakanya saya, kalimat mantra yang tak berarti itu saya percaya mendatangkan cinta.
Setelah membaca pikiran Tan Malaka, saya merasa bertambah hina. Mantra yang dongok itu telah ikut menguasai pikiran saya di masa puber.
Cara berpikir mistik ini sungguh jamak di Indonesia. Dunia perdukunan misalnya. Saya berkali-kali menonton Pesulap Merah mempermalukan para dukun. Dukun membohongi dengan cara-cara licik berkedok pemikiran metafisika.
Kritik Tan Malaka agaknya masih relevan dengan situasi kontemporer kita, dimana masyarakat masih saja terbuai dengan cerita-cerita klenik dan takhayul.
Hari ini, sebagian kita masih percaya jimat. Di beberapa tempat, saya bahkan menemukan orang-orang dengan lilitan kalung – yang entah terbuat dari apa – di leher, pergelangan tangan, di atas mata kaki, atau bahkan di pinggang. Mereka percaya jimat-jimat itu akan memelihara mereka dari sesuatu yang mencelakai.
Dulu di zaman masih ada Pekan Olah Raga dan Ketangkasan (PORKAS), selanjutnya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), sejenis judi yang dilegalkan pemerintah, banyak orang tergila-gila pada ramalam. Ada yang bertanya mimpi, ada pula yang mencatat plat kendaraan yang mengalami kecelakaan, bahkan ada yang datang ke kuburan-kuburanh yang dianggap keramat. Semua itu dilakukan untuk beroleh angka-angka yang akan dipasangkan pada judi tersebut.
Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Bahkan masih banyak yang menggunakan jimat sebagai pemikat pembeli, penunduk hati, dan sebagainya. Budaya kita yang jamak kerap kali terjerumus dalam situasi yang sungguh di luar nalar ini. Bagi saya, mistisme adalah candu yang meredam kemajuan berpikir, itu membuat kita mudah sekali percaya dengan segala hal yang belum tentu terbukti.
“Orang yang hidup dalam mistik, hidup dalam alam mimpi, tiada membedakan khayal dan kenyataan,” lanjut Tan Malaka.
Sekali lagi saya tertohok. Kalimat itu menyadarkan kedunguan saya. Bahwa takhayul memang betul-betul hidup di sini, di Indonesia. Banyak orang masih percaya mistik, bahkan tak jarang orang-orang melakukan santet, memasang susuk, memajang foto-foto yang dipercaya sebagai orang keramat, bahkan ritual-ritual pesugihan untuk mendapat harta.
Kebodohan kita bertambah-tambah lantara sejak dini kita diajarkan untuk selalu mencawan, tanpa bertanya. Kita terpenjara oleh sesuatu yang tak masuk di akal. Keluarga dan lingkungan bahkan mengajarkan kita untuk mempercayai sesuatu tanpa pernah ada kesempatan bertanya, kenapa kita percaya?
Karenanya kita butuh logika, kata Sobron, ini cara kita melawan dogma. Saya tak berani mengutip kalimat langsung Sobron, tapi setidaknya dia berkata begini: kalau anda tak pernah bertanya tentang segala sesuatu yang diajarkan pada anda, dan anda hanya menerimanya tanpa berani mengajukan pertanyaan – bukan bantahan –, maka pada saat itulah anda telah bergelimang dogma yang akan menyengsarakan hidup anda sampai mati.
Apa itu dogma? Singkatnya, dogma merupakan ajaran yang dianggap mutlak, tidak terbantah.
Mungkin ini berkaitan dengan agama, pikir saya. Tapi ternyata bukan itu yang dimaksud Tan Malaka. “Logika menuntut bukti, menimbang dengan akal sehat, bukan dengan waham dan kata orang,” tulisnya.
Logika menekankan akal sehat, bukan sekedar menyadur perkataan orang dan percaya buta atas saduran itu. Dua puluh tahun usai membaca Madilog, saya baru menyadari bahwa apa yang hari ini saya percayai sebagai agama adalah sesuatu yang sangat masuk akal, logis dan terbukti secara ilmiah.
Menurut Tan Malaka, logika adalah alat berpikir, barang siapa tidak mempergunakan logika maka ia akan sesat dalam jalan pikirannya.
Dalam situasi berlogika, saya sampai pada satu kesudahan; bacalah dan bertanyalah.
Seturut itu, pikiran saya kemudian membayangkan seorang Muhammad – semoga kesejahteraan dan keselamatan dilimpahkan pada beliau – yang mendapat perintah pertamanya di sebuah gua di gurun pasir di Arab sana, lebih dari 14 abad yang lalu. Perintah itu: bacalah!
Membaca bagi saya membantu mengasah logika. Saya menemukan banyak hal tersembunyi dari membaca. Lewat membaca, saya mengintip dunia dari lubang yang lebih besar, sehingga bisa-bisanya saya masuk ke lubang itu. Duh!